Oleh: Firdaus Putra A.
Buku ini tebal, sangat tebal. Pada halaman akhir 1329-1330 Ajip Rosidi, penulis buku ini, menjelaskan kalau harga normal otobirografinya mencapai Rp. 300.000. “Karena harga itu terlalu mahal buat kebanyakan pembeli”, katanya, “maka kami mengikuti saran Saudara Parakitri T. Simbolon agar mengusakan subsidi silang dengan menawarkan kepada sejumlah orang yang bersedia membeli edisi khusus dengan harga khusus (yang lebih mahal) sehingga cetakan pertama buku ini dapat dijual dengan harga Rp. 95.000 per eksemplar”.
Sebenarnya saya tak berpikir untuk membeli buku tebal ini. Awalnya tujuan saya ingin mengambil “Bentara” yang merupakan kumpulan esai-esai kolumnis-esais nasional pada harian Kompas. Sesampai di Jogja Agency Purwokerto (JAP), salah satu toko buku di lingkungan kampus UNSOED, saya justru tertarik dengan judul “Hidup Tanpa Ijazah”.
Beberapa menit saya menimbang-nimbang di antara tangan kanan-kiri, di antara “Bentara” atau “Hidup Tanpa Ijazah”. Sayangnya, buku tebal ini masih tersampul plastik. Sedang si penjaga toko, tak tahu persis isinya. Sebelum menetapkan pilihan, saya putuskan untuk ke warnet yang letaknya persis di depan JAP. Saya googling. Masuklah saya ke blog Ajip Rosidi. Bersyukur juga ada beberapa penggalan isi buku ini. Selintas saya baca, dan akhirnya saya putuskan mengambil buku ini dengan harga Rp. 76.000.
Beberapa halaman saya baca, isinya lebih seperti sejarah kehidupan penulis. Narasi yang begitu detail tentang perjalanan karir Ajip Rosidi sebagai seorang sastrawan, seniman atau budayawan. Narasi itu ditulis dengan gaya bahasa bercerita. Sangat mengalir. Seperti membaca novel yang diplot pada seting tempat tertentu, rumah Ajip. Sampai sekarang saya belum tuntas membaca buku itu.
Dulu sering saya bergumam diri, untuk apa gerangan seseorang menulis otobiografi? Kok kesannya narsis sekali? Saya temukan jawabnya pada hal. 1 di buku itu, “Dengan membaca kenang-kenangan itu niscaya akan tergambar jugalah langkah-langkah yang saya tempuh selama hidup. ...Entah sebagai sahibbulhikayat entah sebagai cermin dalam memandang masa lampau seseorang ketika menghayati peristiwa yang ternyata membawa perubahan dalam kehidupan bersama yang biasa disebut sejarah, sehingga dapat membandingkannya dengan pengalamannya sendiri atau pengalaman orang lain yang sudah pernah dibaca atau diketahuinya”.
Sebagai seorang yang lahir pada 1938, selain sebagai seorang sastrawan-budayawan, Ajip tentu termasuk saksi hidup rentetan sejarah “babad tanah” Indonesia di zaman awal kemerdekaan. Ya, dalam buku itu coretan sejarah Indonesia timbul-tenggelam pada setiap kisah. Sekilas membaca buku ini, jelas kehidupan Ajip sebagaimana kehidupan kebanyakan manusia. Misal bagaimana pertama kali ia dekat dengan Soekarno (lingkaran kekuasaan Indonesia) yakni pada sebuah pameran buku di Decca Park Jakarta.
Dengan lembut Ajip menggunakan sudut pandang orang pertama “Aku”, bukan “Saya” yang saya tengerai ingin menempatkan kisah itu dalam sudut pandang subyektif si penulis terkait penghayatannya terhadap peristiwa tertentu. Dengan “Aku” itu justru Ajip bisa bebas mewartakan kisah-kisah lalu yang telah menjadi kenangan. Meski pun ia yakin bisa jadi sudut pandangnya akan ditolak oleh orang lain yang mempunyai penghayatan lain pada peristiwa yang sama. Ajip sadar, bisa jadi buku itu membangunkan macan yang sedang tidur. Dengan rendah hati ia berpesan alangkah baiknya kalau banyak orang menulis otobiografi, sehingga penghadiran yang lengkap terhadap suatu peristiwa bisa lebih memungkinkan.
Berhenti pada kalimat itu, saya menjadi ingat “Final Cut”. Film ini berkisah mengenai program pengingatan bagi mereka yang telah meninggal (in memoriam). Di saat pemakaman hadirin akan ditunjukan melalui layar lebar bagaimana sepak terjang si almarhum mulai lahir sampai meninggal. Hal ini memungkinkan dengan adanya teknologi implantasi rekaman yang ditanam pada otak kita. Selepas meninggal, implan itu akan diangkat dan kemudian diedit. Editor (cutter) akan menggolongkan berbagai aktivitas serta menyeleksi mana yang perlu diingat oleh keluarga, rekan sejawat dan seterusnya, dan mana yang perlu bahkan harus dibuang. Dalam konteks seperti ini juga, mungkin kita tetap perlu kritis pada setiap otobiografi. Saban penulis, seperti editor pada film itu, pasti akan menyeleksi mana yang pantas, perlu dan harus diwartakan dan mana yang tidak.
Pada kesempatan lain, saya membayangkan buku setebal itu tak akan banyak menghabiskan space di flashdisk atau hardisk komputer kita. Saya taksir buku setebal itu mungkin hanya memakan 5-10Mbyte volume piranti penyimpanan data. Angka yang kecil bukan dibanding file musik atau video? Nah, saya kira blogger bisa membuat catatan lebih panjang, lebih tebal daripada buku itu. Sekurang-kurangnya, seorang blogger tak terbebani dengan pikiran Ajip di awal tulisan tentang ongkos cetak yang mahal. Hanya dengan memanfaatkan vendor-vendor gratis, blogger bisa menulis, merekam, mengambil dan mengumpulkan gambar sampai maksimal satu gigabyte seperti fasilitas yang disediakan Blogger.com. Dengan adanya blog, saya rasa setiap orang akhirnya mempunyai kesempatan dan fasilitas yang luas untuk membuat otobiografi seperti yang Ajip pesankan.
Terakhir, saya memang sedang tidak bermaksud menyuguhkan resume buku tebal ini pada Anda. Saya hanya ingin mewartakan bahwa di luar sana ada buku dengan judul “Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam Dalam Kenangan” dalam rangka 70 tahun Ajip Rosidi. Saya harap setelah membaca coretan ini, Anda membeli dan membacanya. Kemudian, tulislah ringkasan buku itu dan saya akan sangat senang sekali kalau Anda mengizinkan saya untuk membaca ringkasan ceritanya. Anda tertarik meringkasnya? []
PS: Buku itu diterbitkan Pustaka Jaya-Jakarta, cetakan pertama Januari 2008—saat Ajip ulang tahun ke 70. Memberi sambutan Arief Budiman menulis “Ijazah dan Keberhasilan” pada hal. vii di Melbourne, Oktober 2007.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar