Oleh: Firdaus Putra A.
Seminggu lalu seorang teman dari Jakarta, kebetulan wartawan singgah di kos. Kami ngobrol sampai larut soal tulis-menulis. Ada satu konsep yang sampai sekarang masih aku ingat “ekonomi kata”. Maksudnya bagaimana menggunakan kata secara ekonomis (hemat) saat menulis. Menurutnya saya termasuk orang yang boros kata. Kalimat panjang-panjang. Ya seperti sekarang ini.
Tentu saja, saya menulis tanpa beban. Tidak ada batasan jumlah kata atau halaman. Semaunya, secapainya dan serampungnya. Tapi, katanya lagi, pembaca mudah bosan dengan gaya tulisan seperti itu. Cobalah perpendek, ringkas dan berhemat dengan kata. Carilah diksi atau frasa yang padat namun kaya makna.
Sebenarnya saya mulai menyadari kekurangan itu. Apalagi saat bertemu dengan kawan Jajang Januar yang tulisannya padat. Dia menulis dengan serius. Setiap kata, frasa dan irama, benar-benar diperhatikan. Beda dengan saya, asal nulis. Jujur saya iri pada Jajang. Ia benar-benar penulis.
Selain soal “ekonomi kata”, teman wartawan itu juga cerita soal “mengail dengan judul”. Maksudnya buatlah judul semenarik mungkin. Orang akan penasaran dengan judul itu dan akhirnya dia mau membaca tuntas tulisan kita, itu maksudnya. Menurutnya, judul-judul tulisanku belum bisa “mengail” pembaca. Judul itu terlalu datar.
Dulu saya sempat bilang, saya akan membuat judul hanya dengan dua-tiga kata. Ya, benar, saya coba meniru Catatan Pinggir (Caping) ala Goenawan Mohammad. Misal, judul satu kata, itupun bahasa asing, nama orang atau nama tempat. Tapi, kata dia, kapasitas saya berbeda dengan GM. Caping sudah mempunyai trackrecord, sedang saya belum. Caping dengan judul seperti apapun akan tetap dibaca orang karena ditulis GM. Beda dengan saya. Benar juga, mau tak mau bayang-bayang penulis masih melekat pada karyanya.
Teman itu menambahkan lagi soal tulisan dan data. Katanya, manfaatkanlah data yang ada. Tak perlu jauh-jauh, cukup tanya Paman Google. Semuanya tersedia, mudah dan cepat. Sajian serta analisa data dalam tulisan akan membuat tulisan kita berbobot dan tak sekedar common sense. Selain itu, pembaca juga akan memperoleh sesuatu—dia sebut prinsip fungsionalitas—dari tulisan kita.
Diskusi malam itu cukup membekas. Sekurang-kurangnya, saya sedikit “takut” untuk menulis. Takut kalau tulisan saya masih saja sama, tak ekonomis, tak mampu mengail dan tak padat data. Sampai akhirnya saya kembalikan lagi ke khittahnya, menulis merupakan proses. Jadi tak perlulah bertakut-takut ria. Tetap menulis dan sampai saatnya kelak, tanpa disadari mungkin saya bisa lebih ekonomis daripada dia. Meski tulisan saya pasti tak bisa lebih jenaka dan menyegarkan daripada dia. Its by process, gitu aja kok repot! []
PS: Terimakasih buat Muh. Nur Rochmi atas diskusinya malam itu. Saya akan terus berlatih dan menulis. Saya tunggu bukunya.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 comments :
terkadang menulis menjadi susah kalo tidak ada inspirasi yah ?
menulis aja susah apalagi omong..hehehe...
Setuju mas Firdaus, menulis itu adalah hasil olah pikiran yg dituangkan. Jd aku pikir, menulis yg bagus ya yg mengalir dari diri kita. Sama aja kyk ngomong. Ada org yg bisa ngomong panjang lebar, yg ceriwis, tp ada yg singkat dan padat. Yg terpenting adlh isi dan kualitas yg ditulis/diomongin. Kalau isinya bagus, biar panjangpun pasti akan diikuti trs. Kalo isi ga menarik, biar cuma 5 baris, org akn males bacanya.
Setuju ttg judul hrs mengail pembaca. Trs usahakan membuat baris pembuka tulisan menarik dan mengundang ingin tahu.
Salam kenal ya dr sesama penulis yg lg belajar...
Menulis bebas lebih menyenangkan. Otak kanan bicara baru, otak kiri memeriksa. Tulis dan edit :). tapi, saya pandai cakap tak serupa buat.
Penulis yah? salam kenal...
Gak menarik nulis tulisan yang cma dibaca pembaca...
dgn tulisan...
aku jg ingin mengajak pembaca untuk berfikir...
Posting Komentar