Oleh: Firdaus Putra A.
Ada tiga lakon dalam novel itu, Harris, Mayang dan Topan. Mereka tiga sekawan semenjak kanak hingga dewasa. Seperti masa kanak lainnya, Mayang demen pengantin-pengantinan. Si Harrislah yang jadi pengantin pria-prian. Sedang Topan, sebagai penghulu dan penyedia berbagai perlengkapan pengantin-pengantinan. Begitulah, Fira Basuki membuka novelnya dengan kisah kocak itu. Tiga anak kecil yang bermain-main dengan kesakralan.
Saat mereka bertiga sama dewasa, pengantin-pengantinan menjadi nyata bagi Harris dan Mayang. Ia menikah dengan pangeran itu, pangeran yang baik terhadap dirinya. Sayangnya, si pangeran pujaan hati tak mengerti betul perasaannya sebagai perempuan. Salah satunya, perasaan perempuan saat di ranjang. Mengeluh pada angin, Mayang mengatakan:
Angin, angin.
Jangan sampaikan.
Pada ia atau yang lain.
Aku bermain sendirian.
Duduk di lantai.
Ditemani kegelapan.
Bermesraan.
Sendirian.
Dengan tangan.
Milikku sendiri, yang perempuan.
Kesepian.
Keinginan.
Diwujudkan.
Tanpa bantuan.
Harris mengalami kenangan buruk pada ibunya yang adalah perempuan. Dan ujungnya, Mayang menjadi momok menakutkan bak monster saat bersama di ranjang. Berkali-kali trauma ini muncul. Mereka berdua memutuskan untuk berlibur memperingati setahun pernikahan. Ke Bali lah mereka berlibur.
Topan, teman masa lalu yang tak pernah hadir tiba-tiba muncul. Ia seorang fotografer. Ia selalu mengikuti angin takdir yang entah membawanya kemana. Sampai-sampai ia ikuti gerakan angin yang membawanya bersama Harris dan Mayang ke Yogyakarta dan Banyuwangi.
Mayang masih sering berbisik kepada angin. Ia lantunkan isi hati seorang perempuan yang terlambat menyadari semuanya. Ya, ia terlambat menyadari bahwa dirinya mencintai Topan, bukan Harris. Juga keterlambatan untuk mencurahkan perasaan itu ke Topan, bukan Harris.
Novel itu menjadi kian menarik ketika ternyata Topan juga merasakan hal serupa. Ia mencintai Mayang. Memang ia pernah berkali-kali bercinta dengan perempuan, namun hatinya tak pernah hadir. Hanya tubuh, seks tanpa jiwa dan rasa. Hatinya masih tertancap pada Mayang seperti saat SMA ia begitu rupa berjuang mencari telur katak untuk mengobati Mayang yang bisulan.
Di Banyuwangi perasaan mereka semakin kental. Ingin rasanya Topan menjamah Mayang, namun tertahan. Cincin Mayang bak dinding yang memagari tubuh itu. Ya, ia menanggung kegetiran. Tepatnya cinta yang getir. Cinta yang tak memiliki.
Hari-hari di sebuah villa di Banyuwangi membuat Harris gelisah dan semakin curiga. Klimaksnya konflik itupun tak terhindari. Harris naik pitam pada Topan. Ia maki istrinya dan temannya itu. Tak tinggal diam, Mayang buka mulut dan membuat Harris menggigil di sudut ruangan.
Bak keluar dari sebuah terapi jiwa, Harris menjadi sembuh dari traumanya. Ia mampu menjamah dan memuaskan Mayang. Meski akhirnya, Mayang tetap memendam getir. Ya, kegetiran karena keterlambatan menyatakan perasaannya pada Topan. Sedang sekarang, Topan akan kembali pergi entah kemana angin membawanya.
Mayang berada dalam dilema antara kesetiaan dan kebebasan. Di antara pangeran dan kesatrianya dia tersenyum dalam getir. Ya, setangkup roti isi selai ia berikan ke Topan untuk terakhir kalinya. Di sanalah cinta itu berada, dalam sebuah roti.
Novel ini merupakan adaptasi dari film dengan judul yang sama besutan Garin Nugroho. Dalam film itu, Mayang diperankan oleh Rizky Theo, Harris oleh Adjie Massaid dan Topan oleh Tio Pakusadewa. Film ini dan/atau Garin memperoleh penghargaan:
- Citra, FFI 1991, untuk film, Artistik, Etiding, Musik, Fotografi
- Penghargaan FFAP 1992 (Seoul) untuk Sutradara pendatang baru
- Piala H. Antemas, FFI 1992, untuk Film Unggulan Terlaris 1991-1992
- Unggulan, FFI 1991, untuk Sutradara, Cerita, Suara
Novel ini renyah dibaca dengan alur yang tidak membosankan. Karena tak terlalu tebal, novel ini bisa habis sekali baca. Kisahnya bisa jadi realistik dengan sedikit bumbu di sana-sini. Bagi penikmat novel, tak ada salahnya mencicipi ulang novel keluaran tahun 2005 ini. Siapa tahu, Anda menjadi ingin menikmati setangkup roti selai nan manis, namun juga getir.[]
PS: Novel ini pemberian dari Dian Anggita, seorang ibu muda penikmat seni dan sastra, tinggal di Jakarta. Terima kasih bu atas buku-bukunya. Semoga semuanya tuntas saya baca dan resensi.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 comments :
Dimana sekiranya bisa mendapatkan buku ini ya? dicari dimana-mana tidak ada,
tertarik untuk membacanya hmm
Posting Komentar