Oleh: Firdaus Putra A.
Temanku, Imam namanya sekarang menjadi seorang donwline MLM merek dagang tertentu. Sebelumnya saat aku masih di Purwokerto, dia mengirim pesan singkat dengan nada provokatif. Kurang-lebih gabunglah dengannya untuk memperoleh penghasilan sampai dua juta. Beberapa hari kemudian dia mengirim pesan singkat yang lain, dia bilang akan membimbingku agar bisa menjadi agen yang baik. Beberapa pesan singkat itu belum membuatku muak, hanya sedikit tersenyum miris.
Hari ini, saat aku berada di Pekalongan aku memberi kabar kepulangan dan keinginan untuk bertemu. Ya bertemu teman lama, teman SMP dan juga SMA, semacam nostalgia atau silaturrahmi. Aku kirim pesan menanyakan apakah dia sedang di rumah. Dia bilang sedang dinas malam. Kemudian dia katakan lagi, nanti ke Hotel Syariah Pekalongan saja sembari ikut pertemuan MLM itu. Oh, sudah sebegitunyakah dia, sampai-sampai tak ada alokasi waktu khusus untuk menemui seorang teman lama?
Tadi pagi dia kembali mengirim pesan, intinya dia akan menjemputku dan mengajakku ke Stookis Pekalongan. Ya, kembali lagi mengajakku ke pusat MLM-nya. Dan sampai titik inilah aku mulai muak dengan sikapnya. Aku hanya membalas dengan mengatakan harus mengantar nenek pergi ke suatu tempat, sekedar melarikan diri dari sang misionaris baru itu.
Akhirnya kukirim pesan ke Yuta, teman kami berdua. “Kamu rasakan sekarang Imam berubah? Hufh, jadi agen MLM. Kayaknya dia gak ada waktu buat main. Masak aku pingin main malah diajakin ke Stookis. Ya apalagi kalau gak mau diprospek MLM”. Yuta membalas, “Hu’um pas ama aq juga gitu kok”. Kubalas lagi, “Kapan waktu kamu bilang gih, ada waktunya ya buat main. Kalo kayak gini kan aku dilihatnya sebagai calon konsumen dengan segepok duit bak belian di mata dia. Memuakkan”.
Ya, sekarang aku “kehilangan” seorang teman. Ia telah bulat-bulat ditelan mulut MLM. Dengan polos dan lugunya ia menyebarkan virus itu berharap downline semakin banyak dan berbuah rupiah. Dengan innocentnya dia perlakukan aku sebagai “mangsa” yang tak mengindahkan tali persahabatan.
Oh Imam, sahabatku, ada saatnya kita kerja. Di lain waktu ada saatnya bersua teman dalam perjumpaan yang hangat tanpa motif ekonomis apapun. Ada kalanya mencari konsumen-downline, namun ada waktunya juga untuk memurnikan silaturrahmi. Jujur aku kecewa denganmu. Seakan kita tak pernah saling kenal, seakan semuanya sekedar masalah uang.
Imam yang baik, aku tak berharap kamu baca coretan pedas ini. Tapi jikalau suatu tempo secara tak sengaja kamu membacanya, maafkan aku, aku tak suka dengan sikapmu seperti itu. Imam temanku, hidup tak sekedar uang. Ada nilai yang jauh lebih berharga dari itu. Sayangnya kamu justru merusak modal sosial, persahabatan, silaturrahmi kita dengan hasrat ekonomis itu. Moga lambat-laun kamu menyadarinya. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar