Oleh: Firdaus Putra A.
Malam ini saya sampai pada titik permenungan soal relasi antara laptop, hotspot dan reproduksi kelas sosial. Konteks renungan ini tentu saja bukan pada seluruh pemilik laptop dan pengakses hotspot dimanapun berada, melainkan pada konteks mahasiswa dan fasilitas kampus khususnya di Unsoed. Meski demikian, sampai batas tertentu saya kira tidak menutup kemungkinan untuk menarik ruang generalisasi pada kampus-kampus lainnya.
Sekitar satu tahun belakangan mahasiswa Unsoed yang memiliki laptop meningkat tajam paralel dengan tersedianya fasilitas publik berupa hotspot area. Sekarang ini, sebagian besar fakultas di Unsoed sudah menyediakan hotspot area yang bisa diakses secara bebas oleh mahasiswa. Frekuensi akses semakin banyak dan sering paralel dengan kebijakan hotspot area 24 jam nonstop dan ditambah beberapa kafe di sekitar Unsoed menyediakan fasilitas serupa. Saya belum mempunyai data yang pasti terkait tingkat pembelian laptop oleh mahasiswa Unsoed. Namun, salah satu notebook center tak jauh dari Unsoed lebih banyak menyediakan laptop dengan harga yang relatif terjangkau, 4-7 jutaan. Saya yakin penyediaan produk dengan kualifikasi dan harga tertentu itu melihat fakta bahwa mahasiswa sebagai salah satu pasar strategis.
Beberapa teman saya jumpai saat ini sudah melengkapi dirinya dengan laptop. Mulai dari yang berukuran 14” sampai ukuran mini 8”. Indikator lainnya secara kasat mata bisa kita lihat di kantin kampus dan gedung-gedung tertentu yang saban siang sampai malam dipenuhi oleh mahasiswa berlaptop. Termasuk di dalamnya saya sendiri yang senantiasa mengakses hotspot area kampus di Unsoed.
Pada titik demokratisasi informasi, tentu saja fenomena tersebut perlu kita apresiasi secara positif. Laptop dan hotspot membuat mahasiswa senantiasa bisa mengakses informasi kapan dan di manapun mereka berada. Selain itu, free hotspot area dengan sendirinya mempertinggi frekuensi aksesibilitas mereka terhadap source yang tak terbatas itu.
Pada sisi lain, fenomena demokratisasi informasi itu sayangnya tidak dibarengi dengan demokratisasi teknologi informasi berupa laptop. Saya kira dalam konteks demokratisasi sampai batas tertentu kesetaraan akses sudah bisa diwujudkan. Namun, tidak boleh kita lupakan bahwa kesetaraan akses tersebut masih bersifat potensial, belum aktual. Faktanya, meski saya tidak mempunyai data yang pasti, lebih besar jumlah mahasiswa tak berlaptop daripada yang berlaptop. Artinya, kesetaraan akses belum terdistribusi dengan merata.
Saya tidak akan memasuki perdebatan antara jumlah mahasiswa berlaptop dengan yang tak berlaptop, namun lebih akan menukik tajam pada masalah reproduksi kelas sosial pada ranah akademis. Tentu saja, ulasan ini akan lebih dekat ke arah Bourdieu-an daripada Marxian. Bourdieu dengan baik menjelaskan masalah habitus, ranah dan modal. Tiga anasir itu bertalikelindan dan saling berdialektika satu sama lain dan mendisposisi individu pada ranah tertentu.
Mari kita simak baik-baik ilustrasi berikut. Tanpa didasari data, saya bisa mengajukan fakta bahwa mahasiswa berlaptop berasal dari keluarga yang secara sosial-ekonomi relatif mapan. Sedikit menyederhanakan, mahasiswa berlaptop saya klasifikan pada kelas menengah-atas. Berbeda dengan itu, mahasiswa tak berlaptop cenderung dibesarkan di keluarga menengah-bawah. Pada titik ini, habitus mendisposisi mahasiswa dengan modal tertentu yakni modal ekonomi.
Aksesibilitas terhadap internet antara mahasiswa berlaptop dan tanpa laptop tentu saja lebih tinggi yang pertama. Dengan laptopnya (modal) membuat mereka mampu melipatgandakan modal yang lain dalam ranah tertentu. Misalkan, dengan semakin seringnya mahasiswa tersebut mengakses internet, maka ia menguasai, mengontrol dan bahkan mengendalikan informasi. Pada ranah ilmiah (kampus) tentu saja hal ini sangat signifikan mendukung aktivitas akademik mahasiswa bersangkutan. Informasi tak terbatas dari internet dapat ia akses paralel dengan tersedianya waktu luang, kenyamanan akses dan sebagainya dengan laptop dan fasilitas hotspot gratis.
Pada sisi lain, habitus mahasiswa tanpa laptop mereproduksi mahasiswa tersebut pada kelas sosial tertentu.. Kekurangan modal (ekonomi) tidak memaafkannya untuk memperoleh fasilitas gratis, justru sebaliknya ia harus membayarnya dalam bilik-bilik warnet kelas ekonomi yang kecil dan pengap. Sejurus dengan itu, frekuensi akses internet kalah jauh dibanding dengan mahasiswa berlaptop. Mahasiswa tanpa laptop harus secara sadar mengatur dan mengelola besaran biaya untuk mengakses internet di warnet berbanding dengan biaya makan, jajan, foto kopi materi dan kebutuhan lainnya.
Dalam konteks itu, pelipatgandaan modal simbolik-intelektual pada mahasiswa berlaptop dan tanpa laptop berjalan secara timpang. Tidak ada kesetaraan dalam hasil meskipun kesempatan untuk mengakses terbuka secara luas dan non-diskriminatif. Ujungnya, demokratisasi informasi tanpa dibarengi dengan demokratisasi penguasaan dan pemilikan teknologi informasi hanya akan mendaurulang siklus ketimpangan sosial yang sudah ada.
Analisis Bourdieu berada di antara tegangan kreatif agen-struktur yang ingin menolak keagenan yang luar biasa a la Weber dan determinisme struktural a la Durkheim dan Marx. Nah, saya kira dalam tegangan kreatif itu juga siklus daur ulang kelas sosial bisa diantarai dengan keagenan dan di sisi lain kebijakan struktural. Menurut hemat saya, dalam rangka menyeimbangkan perebutan modal/ kuasa simbolik-intelektual pada ranah akademis, mahasiswa tanpa laptop harus secara konsisten dan kontinyu mengakses perpustakaan kampus yang menyediakan source (buku) secara gratis. Hal ini tentu saja berangkat dari asumsi bahwa dewasa ini internet kompatibel dan sangat menunjang dunia pendidikan. Sehingga kekurangmampuan mengakses informasi melalui internet bisa dikejar dengan banyak membaca buku di perpustakaan.
Selain itu, pada level struktural, nampaknya perlu dirumuskan secara sistematis dan berkelanjutan agar setiap mahassiwa mempunyai laptop sebagai pra-syarat demokratisasi informasi. Hotspot bak kolam ikan yang dijejali jutaan bahkan milyaran bit-bit data, namun tanpa kail (laptop) kolam ikan hanya berhenti sebatas asesoris penghias halaman rumah (kampus). Kebijakan kepemilikan laptop—atau bisa juga dekstop dengan catatan didukung modem, LAN, dll—saya rasa bisa diusahakan dengan memungut sedikit biaya dari mahasiswa saat pertama kali masuk ke Unsoed. Sisanya, Unsoed bisa menggandeng vendor-vendor besar seperti Acer, Thosiba, Compaq, Dell, Sony dan lain sebagainya dalam kerangka corporat social responsibility (CSR).
Melalui dua pintu itu, keagenan dan kebijakan struktural, saya kira demokratisasi informasi dan teknologi informasi akan sangat mendukung dunia pendidikan dan membuat mahasiswa sebagian dari educated people yang pada gilirannya akan memperbesar volume masyarakat sipil di Indonesia. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 comments :
keren mas analisanya..... salam kenal
Ure Brilliant Firdaus!
Pasar Modal yang efisien dalam kondisi free market idea adalah yang memberikan peluang akses Informasi yang sama kepada para investor atau para pelaku pasar dalam pengambilan keputusan investasinya.
Lantas bagaimana dengan Kampus? Dapatkah menyelenggarakan pendidikan dengan menyediakan kesempatan yang sama bagi para mahasiswa untuk mengakses informasi layaknya pasar modal yang efisien?
Itulah salah satu tantangan bagi pihak struktural kampus...
nice infooo....=)
nice info..
Posting Komentar