Oleh: Firdaus Putra A.
Seperti kalian, saya pernah mengikuti training ESQ. Saya angkatan ke-14. Bedanya, kalau tak salah, kalian membayar Rp. 320.000 sedang saya Rp. 1000.000 untuk kelas dosen dan guru. Syukurnya, saya digratiskan oleh pihak ESQ Purwokerto. Saat itu, hanya saya sendiri peserta training yang berstatus mahasiswa.
Saya pikir tak ada perbedaan materi yang saya peroleh dengan materi training kalian. Tekniknya pun sama. Kalian masih ingat, LCD layar lebar, ruang yang dingin dan temaram, juga sound system yang menggelegar itu, masih ingat kan? Suasana seperti itu juga yang ditangkap oleh Daromir Rudnyckyj, antropolog dari University of Victoria. Dalam artikelnya dia melukiskan, “The sound in the hall was sometimes elevated to ear-splitting volume and the lights in the room were manipulated to maximize the dramatic effects of the points made. Further, the air conditioning was turned to its lowest setting”.
Saya rasa kalian juga masih ingat dengan “Selamat Pagi!”, atau “Bersenang-senang…”, “Satria ESQ”, dan banyak salam/ jargon lainnya. Nah, pada kesempatan kali ini saya ingin mengajak kalian “bersenang-senang” dalam tamasya pemikiran.
Oh iya, kalian merasa asing kah dengan judul di atas? Judul itu tersusun dari dua frasa utama, “ESQ Training” dan “Spirit Neoliberalisme”. “ESQ Training” saya yakin kalian sudah paham. Lantas apa itu “Spirit Neoliberalisme”? Kata “neoliberalisme” beberapa bulan terakhir sangat booming di media. Oke, saya ingatkan sedikit, saat SBY menggandeng Budiono isu neoliberalisme santer dituduhkan pada Budiono.
Sederhananya, neoliberalisme bisa disamakan dengan perdagangan bebas. Ketentuannya, tarif (bea-cukai) nol persen. Pertukaran barang-jasa-modal terjadi lintas negara dengan sedikit/ bahkan tanpa kontrol negara. Selain itu, ada juga kebijakan neoliberal, misalnya menghapuskan subsidi BBM, tarif dasar listrik, kesehatan, dan pendidikan. Juga ditandai dengan adanya privatisasi (swastanisasi) berbagai bidang yang termasuk “hajat hidup orang banyak” seperti air, listrik, telepon, minyak bumi dan sebagainya. Lantas kenapa “neoliberalisme” begitu buruk citranya? Karena, neoliberalisme pada dasarnya hanya menguntungkan negara-negara maju, di sisi lain membuat negara berkembang menjadi semakin miskin. Itu sederhananya, kalau kalian ingin lebih, silahkan googling saja “neoliberalisme”.
Kemudian apa hubungannya training ESQ dengan spirit neoliberalisme? Saya akan kutipkan sambutan Ary Ginanjar saat training ESQ pada Mei 2004 di Krakatau Steel (KS), “Ladies and gentlemen ... our faith in Allah is the key to all the problems that we face in this global era! This era has brought the elimination of import tariffs on steel. For humans it is darkness, but for Allah it is light. Because the elimination of tariffs is a blessing from Allah! The reduction of import tariffs to zero per cent is a blessing from Allah!” Untuk mempermudah pembacaan, coba kalian ganti “the elimination/reduction of import tariffs” dengan “pasar bebas”, maka pada kalimat terakhir, “… Pasar bebas merupakan berkah dari Allah!”.
Melalui ESQ training, karyawan Krakatau Steel diyakinkan bahwa pasar bebas—yang kemudian memprivatisasi KS—merupakan berkah dari Tuhan. Oleh karenanya, karyawan harus menerima itu sebagai tantangan. Meskipun, faktanya pasar bebas dengan berbagai privatisasinya justru mengancam kesejahteraan pekerja, sebut saja sistem tenaga lepas (outsourcing). Kerelaan karyawan menerima sistem pasar bebas, privatisasi dan tenaga lepas itu selanjutnya dianggap/ diklaim sebagai bentuk “other-worldly salvation”, sebuah bentuk “keselamatan bagi dunia lain” yakni akhirat.
Kemudian, karyawan diarahkan bahwa kerja di KS sama dengan kerja untuk Tuhan, “…they work for God”, itu kata Rinaldi yang adalah saudara Ary Ginanjar. Sehingga, seorang karyawan harus bekerja dengan giat, disiplin, tepat waktu, bertanggungjawab, dan tidak korupsi karena pada dasarnya ia sedang beribadah kepada-Nya. Poinnya, dengan ESQ karyawan dibentuk agar berperilaku dan bekerja dengan baik, demi perusahaan/ Tuhan.
Mari saya ajak kalian “bersenang-senang” lagi dengan otak-atik kata. Apakah sama maksud antara dua frasa ini, “bekerja dengan baik” dan “bekerja baik”? Menurut saya berbeda, entah menurut kalian. Yang pertama berarti bahwa sebagai karyawan, mahasiswa, pelajar, atau pegawai pemerintah kita semua dituntut untuk bekerja sesuai aturan yang ada. Lebih lengkapnya, kita dituntut untuk bekerja dengan sebaik-baiknya dengan cara mematuhi aturan/ perintah yang ditetapkan. Sedangkan yang kedua, kita dihadapkan pada keadaan dimana ada kebaikan dalam sebuah pekerjaan. Artinya ada nilai yang perlu kita pertimbangkan terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu (penj. kerja).
Pada yang pertama, saya kira robot—maaf kalau terlalu kasar—lebih mungkin bekerja dengan baik daripada manusia. Lihat saja, robot tidak perlu bertanya atau mempertanyakan mengapa ia harus bekerja pada sistem tenaga lepas, PHK buruh, gaji rendah dan lain sebagainya. Ia cukup bekerja dengan baik sesuai perintah/ aturan yang ada. Sedangkan yang kedua, hanya ditemukan pada manusia dimana ia bisa berpikir sebelum bekerja apakah hal itu, misalnya, sistem tenaga lepas, PHK buruh, gaji rendah itu baik atau tidak?
Nah, dengan mendasarkan bahwa kalian belajar untuk Allah atau bekerja untuk Allah, maka kalian cukup mengikuti berbagai aturan/ norma/ perintah yang ada. Sekali-kali, karena “our faith in Allah is the key to all the problems” tidak perlulah kalian bertanya mengapa aturan atau sistem itu muncul dan diberlakukan. Kalian, dalam bahasa kasar saya, cukup “do the order!” (kerjakan perintahnya!).
Saya ingin mengajak kalian “bersenang-senang” sekali lagi. Dulu pada abad 16 ada gerakan “etika Protestan”. Saya terangkan sedikit, etika Protestan merupakan sebuah perilaku praktis/metodis seperti disiplin waktu, gemar menabung, sederhana, dan bekerja giat. Basis asumsi gerakan itu bahwa manusia yang dipilih oleh Tuhan, adalah manusia yang sejahtera di dunia. Sehingga masyarakat Protestan kala itu menerapkan sungguh-sungguh beberapa etika di atas. Dampaknya, karena masyarakat giat bekerja dan gemar menabung serta hidup sederhana, timbulah akumulasi modal (capital). Dalam risetnya kemudian Weber menyimpulkan bahwa etika Protestan berhubungan dengan spirit kapitalisme. Hasil riset itu dibukukan dengan judul “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” yang juga sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Dalam artikelnya, Daromir membedakan antara etika Protestan dan spirit kapitalisme dengan ESQ dan spirit neoliberalisme. Perbedaanya kata dia, “This relationship (penj. Etika protestan dan spirit kapitalisme) was contingent and unintentional. In contrast, spiritual reformers in contemporary Indonesia (penj. ESQ training) make the link between corporate success and religious piety in the present. This relationship is not contingent, but by design”. Maksudnya, hubungan antara etika protestan dengan spirit kapitalisme merupakan sebuah dampak yang tidak disengaja (contingent and unintentional). Sebaliknya, hubungan antara ESQ dengan spirit neoliberalisme merupakan sesuatu yang didesain secara sengaja.
Sebelum kalian masuk ke UNSOED, saya pernah berdebat panjang lebar dengan alumni ESQ. Ada 5-6 tulisan tentang analisis saya terhadap ESQ yang bisa kalian baca di www.firdausputra.co.cc. Saya juga menyoroti masalah mahalnya harga training itu. Bayangkan Rp. 320.000 kali mahasiswa baru UNSOED sebanyak 5000 orang, maka akan diperoleh Rp. 1.600.000.000 (Satu milyar enam ratus juta rupiah). Angka yang fantastik, bukan?
Dari tamasya pemikiran di atas, saya termasuk orang yang tidak terlalu berharap dengan training ESQ. Tenang saja, kalian tidak perlu takut karena telanjur mengikutinya. Melalui poling (terbatas) yang sempat saya lakukan, banyak mahasiswa yang mengatakan bahwa efek training itu hanya bertahan tujuh hari dan paling lama satu bulan. Hanya ada beberapa mahasiswa saja mengatakan efek training itu masih terasa sampai sekarang. Sekarang, mari kita buktikan, selama dan sejauh apa efek training itu bagi kalian. Maaf, kalau tamasya ini justru menganggu keyakinan kalian dan tidak menyenangkan lagi. []
* Rencana akan dicetak dan dipublikasikan di buletin WE-Press untuk mahasiswa 2009.
Referensi:
Daromir Rudnyckyj. 2009. “Spiritual Economies: Islam and Neoliberalism in Contemporery Indonesia” pada jurnal Cultural Anthropology. The American Anthropological Association.
____________. 2009. “Market Islam in Indonesia” pada jurnal Journal of the Royal Anthropological Institute. Royal Anthropological Institute.
Max Weber, 2002. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Diterjemahkan oleh Yusup Priasudiarja dengan judul asli The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Pustaka Promethea.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 comments :
mas firdaus salam jumpa kembali,
lama yah kita tidak berdiskusi/berdebat malah, hehe
saat ini saya sudah tidak aktif lagi di ESQ. bukan karena sebab khusus, memang saya memberi kesempatan untuk adik2 mahasiswa untuk berregenerasi.
Dari sudut pandang saya yang sudah tidak aktif, saya bisa menilai ESQ secara lebih fairly. yah, fair, tidak subyektif, lebih obyektif. walau mungkin tidak seobyektif cara pandang mas firdaus terhadap gerakan 165 ini.
Mas, kali ini saya tidak sedang mengajak berdebat, berdiskusi juga tidak. sekiranya berkenan, saya ingin sekali panjenengan memenuhi permintaan saya.
Untuk menambah wacana saya tentang ESQ secara obyektif, bagiamana kalau panjenengan memposting satu tulisan tentang ESQ, yang bukan hanya menyoroti satu point utama saja, seperti tulisan terbaru ini kan titik fokusnya pada "bagaimana ESQ mengemban misi meloyalkan karywan terhadap perusahaannya".
Bagaimana mas? membuat tulisan tentang ESQ, tentang susunan materinya, ide penataan konsep trainingnya, perjalanan pertumbuhan lembaganya, persebaran alumninya, penghargaan2 yang diterima ary ginanjar, kontroversinya dengan abu sangkan, pembentukan yayasan wakaf 165 yang sudah hampir 1 triliun perolehannya (ada di republika), pembangunan menara 165, serta pesan2 terselubung ary ginanjar yang mungkin hanya orang2 analistis seperti anda yang bisa menangkapnya.
mas, masih menyimpan nomor saya. kalau sudah diposting, saya dikabari ya. atw saya kan juga sewaktu2 selalu membuka blog panjenengan.
Salam.
Rizky Dwi Rahmawan
(12.izky@gmail.com)
saya tunggu mas, semoga bisa mencerahkan saya dan banyak pembaca nantinya
terima kasih tanggapannya mas rizky... akan saya usahakan. namun biasanya nemu idenya spontan. tulisan ini saja dapat idenya saat seorang dosen sedang kuliah s3 di ausie dan dia mengkaji soal spiritualisme (untuk disertasi) . nah saya diskusi ma dia--juga sosal esq--terus dia kasih saya beberapa artikel tentang spiritualisme.
kalau tulisan seperti itu jadi, nanti saya kabari mas.
begini mas, bukan dalam posisi njenengan kontra ESQ dan saya pro. dalam konteks sama2 kritikus saja, karena saya juga seorang yang sangat mengkritik banyak sikap, ucap dan kebijakan SBY.
kalo saya mengkritik SBY, itu karena sikap, ucap dan kebijakannya saya nilai melalaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin terhadap rakyatnya.
Nah, kalau seseorang mengkritik Ary Ginanjar dengan ESQ sebagai produknya? tanggung jawab mana yang beliau lalaikan? saya rasa yang beliau punya hanya tanggung jawab sosial terhadap masyarakat bangsanya saja.
justru dalam pandangan fair saya bila saya melihat dalam kacamata saya sebagai orang biasa diluar ESQ, bukankah Ary Ginanjar melah membawa maslahat bagi masyarakat bangsanya? mengenalkan konsep baru, pengetahuan baru dan model pemaparan baru.
Nah, kalau subyek kritik Mas Firdaus adalah spiritualitas? seyogyanya jangan ESQ dijadikan sentralnya, apalagi ESQ diangkat dalam konteks yang tidak substansi.
Bukan sedang berdebat lho ini mas. Tapi kalo saya boleh mengkritisi sistematika berpikir njenengan terhadap ESQ, kok seperti memandang sebelah mata kasarnya... tidak pada aspek fundamentalnya. Misalnya, dulu ketika njenengan selesai ikut training, njenengan memposting sebuah tulisan, disitu mengangkat tentang topik trainer, Mas Fadli Mudhas saat itu memaparkan tentang teknik senyuman yang jauh dari ketulusan.
Hm, tapi kenapa pada bahasan yang sama tidak diangkat di tulisan njenengan tentang bagaimana trainer menjelaskan substansi suara hati, kemudian split personality dan hal-hal mendasar lainnya.
Jadi, kritik saya untuk njenengan adalah, njenengan membuat tulisan dengan mengumpulkan sisi2 yang mendukung saja. Sisi2 lain yang dikhawatirkan melemahkan tidak dilibatkan.
Tentu, itu hak panjenengan. Tapi sebagaimana Ary Ginanjar membuat konsep materi dan metode penyampainannya bernama training ESQ, sebagaimana njenengan memposting tulisan di www.mengintip-dunia.blogspot.com dan sebagaimana saya berkomentar disini, semuanya membawa dampak.
Kalau Ary Ginanjar membawa dampak positif bagi bangsa ini, setidaknya berupa tambahan wawasan tentang ESQ dan model penyampaian yang lebih bersahabat dan dinamik, tentu sudah selayaknya njenengan iri pada beliau, membuat satu karya yang berorientasi pada maslahat, bukannya mudharat.
Artinya, jangan sampai tulisan njenengan malah melahirkan kecemasan, bukannya pencerahan.
Nuwun, tentu njenengan lebih dapat menangkap ruh dari tulisan2 saya, tidak sekedar memahami rangkaian huruf2nya saja.
Selamat berbuka puasa
begini mas, apa masalahnya "pasar bebas"? toh dengan pasar bebas yang kompetitif, kita bisa meneguk untung. di sana ada para pekerja juga yang akhirnya bisa menafkahi keluarganya. dengan bekerja pada sektor kapitalis pun, dunia ini masih berjalan dimana ada pemilik/majikan dan buruh.
nah ada sebagian orang yang melihat sistem kapitalisme itu tidak adil. jam kerja yang tidak manusiawi, jaminan kesehatan, jaminan sosial, keterasingan dalam kerja karena atmosfir kompetisi dan seterusnya. sebagian orang ada yang berpikir bahwa masih ada alternatif di luar kapitalisme.
lantas apa hubungannya dengan pidato ary ginanjar di krakatau steel? menurut saya, ary ginanjar menutup pemahaman para pekerja bahwa ada alternatif sistem selain kapitalisme. saya sebut, ary ginanjar melakukan mistifikasi. proses pasar bebas dengan berbagai konsekuensi--tenaga lepas, phk, kompetisi, monopoli, dst--seharusnya bisa dipikirkan dalam dimensi kemanusiaan. nah, dengan klaim bahwa pasar bebas merupakan berkah dari tuhan, proses berpikir ulang itu menjadi terhenti.
nuwun sewu, dalam bahasa kasar saya, dalam konteks seperti itu ary ginanjar nampak sebagai "tukang stempel" para pemilik modal yang berakibat tumpulnya--dalam bahasa marx--kesadaran kritis masyarakat. mistifikasi yang dilakukan ary ginanjar yakni membawa persoalan duniawi ke ranah ukhrawi yang akhirnya menutup perdebatan lebih jauh. pekerja yang hendak menuntut kelayakan kerja sesuai kualitas hidup layak membentur klaim sakralitas "berkah tuhan". dan ini menurut saya membahayakan.
nah bagaimana kalau diturunkan ke konteks mahasiswa? saya khawatir bahwa nalar kritis mahasiswa juga terbentur klaim sakral itu.saya sepakat bahwa belajar memiliki unsur ibadah, namun perlu juga diperhatikan bahwa menuntut hak agar kehidupan menjadi lebih baik juga termasuk ibadah karena bergerak pada dimensi hifdzul nafs (menjaga diri agar tidak binasa).
misal pada kasus komersialisasi pendidikan, saya khawatir dengan berbagai klaim transenden tersebut mahasiswa menjadi tidak berani mengungkap praktek-praktek komersialisasi pendidikan yang berjalan sistematis. jangan dibayangkan hanya masalah penyimpangan keuangan dll, namun lebih mendasar dari itu, apakah sistem yang berlaku itu tepat atau tidak.
kalau njenengan ingat soal pemiskinan sistematik, nah saya khawatir dengan nalar esq yang seperti itu akan melahirkan pengkerdilan sistematik nalar kritis mahasiswa. hal ini bekerja pada level state of mind.
saat menulis ini saya belum mempunyai analogi pada kasus/masalah lain. insyaallah akan saya pikirkan.
oh iya, memang tulisan saya bukan sekedar keisengan menulis melainkan sedikit-banyak merupakan representasi sikap. sehingga kalau lahir keresahan, menurut saya tidak masalah, sekurang-kurangnya memberi spasi untuk kita berpikir sejenak atau berpikir ulang. madlorot atau maslahat saya kira perspektifis jadi masih sangat debatable.
untuk memfokuskan diskusi kita, saya ingin mengajukan pertanyaan, bagaimana posisi ary ginanjar atau paradigma esq membaca pasar bebas?
nuwun mas.
menarik-menarik.. wah seraya diajak jalan2 menyelami lautan lain yang jarang saya jamah nih kalo membaca tulisan panjenengan...
oke, paragraf terakhir saya save dulu ya, buat pe er...
trus juga mas, saya ingin nanya juga, nalar ESQ yang njenengan maksud, apakah sudah merepresentasikan nalar esq yang sepenuhnya... maksudnya begini, apakah nalar esq yang panjenengan citrakan dan dikuatkan dengan pidato Ary Ginanjar sudah dikomparasikan, sudah di testing testing dengan pidato Ary Ginanjar lainnya, atau pemikiran2 beliau lainnya...
ini bukan konteks saya lagi mbelani satu pihak loh ya... saya ta sinau saja dari analisi panjenengan, oleh karena itu saya harap panjenengan proporsional dalam menganalisis nalar secara menyeeeeluruh, tidak pada sisi sisi tertentu sadja
Posting Komentar