Oleh: Firdaus Putra A.
Hari ini Ramadhan kedua (23/8). Sebenarnya tak ada cerita spesial. Tapi saya akan share saja kisah pramusaji (pelayan) rumah makan/ warung/ restoran. Kisah ini terinspirasi dari cerita Wahyu yang hampir dua bulan ini kerja di restoran cepat saji tertentu di Purwokerto.
Bagi yang merantau, saat buka puasa biasanya mencari makanan di warung/ rumah makan atau restoran cepat saji. Nah, kadang sebagai pembeli ego kita muncul layaknya seorang raja. Ingin cepat dilayani, dapat makanan dan menyantapnya. Persoalannya bukan hanya kita saja (saya atau Anda) yang menginginkan seperti itu, namun sebagian besar pembeli berpedoman demikian. Alasannya, "Pembeli adalah raja" dan "Pembeli sedang beribadah puasa". Ego secepatnya dilayani dan menyantap makanan itu menjadi berlipat ganda.
Sebagai pembeli, saat itu nampaknya kita lupa bahwa pramusaji (pelayan) juga seorang manusia yang kemungkinan juga seorang Muslim/Muslimah yang sedang berpuasa. Seringkali kita (pembeli) tidak sabar dan membentak atau menghardik mereka. Kita ingin secepatnya mengisi perut. Namun, apakah Anda tahu bahwa pramusaji akan berbuka--layaknya Anda--satu jam setelah hiruk-pikuk buka puasa itu selesai. Artinya, bagi pembeli mereka bisa menikmati waktu berbuka kurang-lebih pukul enam petang. Sedang bagi pramusaji, mereka baru berbuka sekitar pukul tujuh sampai tujuh lebih tiga puluh menit.
Ego pembeli yang meledak-ledak acapkali melupakan sisi kemanusiaan dari sebuah transaksi ekonomi. Di mata kita (pembeli), pramusaji lebih nampak sebagai "budak" daripada manusia yang sedang bekerja pada sektor pelayanan (jasa). Tambah lebih miris lagi, kadang beberapa tempat kerja tidak mempunyai komitmen kesejahteraan bagi karyawannya. Benar-benar tragis nasib mereka. Dihardik pembeli, juga dituntut (ditekan) oleh majikan.
Erich Fromm pernah mengatakan, "Manusia sering terjebak pada situasinya masing-masing". Maksudnya, daya empati kita tumpul karena kita tak pernah merasakan pada situasi semacam itu. Biasanya, kita baru bisa berempati setelah mengelami situasi yang demikian itu.
Nah, coretan ini saya kira bisa memberikan "situasi imajiner" bagi Anda (pembeli) bagaimana seyogyanya berhadapan dengan pramusaji. Terlebih di saat Ramadhan ini, dimana kita dituntut untuk lebih bersabar daripada bulan-bulan sebelumnya. Maka, kalau Anda menjumpai pramusaji yang tengah keteteran (red. terlalu sibuk) melayani banyak pembeli, tak elok jika Anda menghujadi dengan sinisme, lebih-lebih menghardiknya.
Petang tadi saya buka di Warteg Bu Dewi. Ramai sekali. Ada 10-15 pembeli memadati meja makan. Di sana ada 3-5 pelayan yang sibuk minta ampun. Saat hendak makan, saya bilang "Mbak saya makan dulu ya. Sampeyan minum dulu kek apa ngemil". Yang bersangkutan tersenyum, "Iya mas, nanti", sembari tangannya tetap cekatan menciduk nasi dan berbagai sayur-lauk pesanan pembeli lainnya.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar