Oleh: Firdaus Putra A.
Kadang sesuatu yang remeh membuat hidup atau pandangan kita berubah. Beberapa bulan yang lalu saya habiskan buku antologi cerpen Jumpha Lahiri yang berjudul “Interpreter of Maladise” atau Penerjemah Luka. Salah satu daya tarik cerpen itu terletak pada kekuatan narasi yang detail, dan sederhana. Cerpen itu tak menyuguhkan narasi yang jauh dan muluk, tapi realitas yang dekat dan terjamah. Sehingga meski seting seluru cerita berada di Amerika, Inggris dan negara Eropa lainnya, saya sebagai pembaca di Indonesia bisa mengimajinasikan bagaimana detail peristiwanya. Menurut saya, cerpen ini ditulis dari sudut pandang seorang imigran yang mengalami keterasingan hidup di rimba modernitas. Sebagian kisahnya berakhir dengan pilu dan pesimistik. Lantas apa hubungannya dengan “mimpi saya selanjutnya” seperti pada judul di atas?
Selama mendekati masa lulus, saya tak pernah bermimpi untuk melanjutkan studi S2. Tentu saja alasan klise, masalah biaya. Rencana yang sudah saya bangun adalah bekerja di NGO/LSM di Ibu Kota. Mengapa Ibu Kota? Mungkin seperti para pemudik yang saban tahun menggantungkan mimpinya pada Jakarta, namun saya mempunyai alasan sedikit lebih kuat, bahwa kapasitas saya akan lebih berkembang di kota itu. Dialektika hidup serta berbagai fasilitas dan jejaring yang ada, saya rasa bisa membesarkan kapasitas. Itu rencana awal.
Nah, setelah membaca cerpen itu sebagai klangenan, sekarang saya jusru terobsesi untuk studi ke luar negeri, Amerika, Inggris, Eropa atau Australia. Alasan rasionalnya, tentu saja kapasitas akan semakin besar dibanding di Indonesia. Selain itu, banyak tawaran beasiswa dari berbagai lembaga atau kedutaan tertentu. Sedangkan alasan non-rasionalnya, saya ingin melihat dan merasakan langsung detail peristiwa yang dinarasikan Jumpha Lahiri melalui cerpen itu. Ya, sesederhana itu.
Suatu tempo saya terima informasi dari millist teman-teman Yogyakarta. Intinya ada beasiswa tertentu yang menawarkan 23 kursi namun sampai tanggal itu hanya ada delapan orang saja yang mendaftarkan diri. Saya pikir peluang itu cukup besar. Sehingga suatu malam saya niatkan dalam hati bahwa rencana saya ke depan adalah mencari beasiswa S2 ke luar negeri. Saya share juga ke Wahyu dan bahagianya bahwa ia tak keberatan. Lantas saya SMS Ibu di Pekalongan. Ibu membalas dengan nada pesimis, “Dos kalo mimpi ya jangan tinggi-tinggi. Luar negeri kan untuk orang kaya. Nanti stress lho! Tapi ibu doakan semoga kamu bisa”.
Tenang saja, obsesi saya tak surut kok dengan SMS itu. Dengan SMS itu saya menjadi tahu tragika orang miskin, bahwa untuk bermimpi pun mereka takut bukan main. Lantas apa yang masih tersisa jika untuk bermimpi pun kita tak berani? Nothing!
Baru kemarin saya menyelesaikan novel “The Alchemist” karya Paulo Coelho versi Inggris. Dalam novel itu saya temukan mantra yang nampaknya perlu senantiasa saya teguhkan, “When you want something, all universe conpires to help you achieve it”. Kalau kamu menghendaki sesuatu, maka seluruh alam akan berkonspirasi membantumu untuk memperolehnya. Novel ini menceritakan bagaimana seorang penggembala kambing yang bermimpi menemukan harta karun yang terpendam di Piramida Mesir. Dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang Raja. Si Raja itulah yang memberikan “mantra” itu kepada si pemuda. Si Raja berpesan bahwa adalah orang yang berbahagia ketika ia mampu merealisasikan “Personal Legend”nya. Sedangkan untuk merealisasikan “Personal Legend” itu, setiap orang harus mampu membaca dan mengetahui adanya “omens” atau pertanda.
Saya rasa mantra “When you want something, all universe conpires to help you achieve it” paralel dengan mantra “man jadda wa jadda” dalam tradisi Islam. Sehingga, mimpi saya studi S2 ke luar negeri saat ini merupakan sesuatu yang menurut saya terjangkau dan harus diusahakan.
Dulu saya bermimpi untuk bekerja di NGO/LSM, namun saat ini saya lebih bermimpi melanjutkan studi S2 ke luar negeri. Rencana ke depan, saya akan mengikuti kursus bahasa Inggris agar bisa mengantongi setifikat TOEFL sekurang-kurangnya 550 dan bisa bercas-cis-cus ria dengan bahasa Inggris.
Lantas apa “omens” yang bisa saya baca saat ini? Sekurang-kurangnya bahwa kebetulan (coincidence) saya mempunyai dan membaca novel “The Alchemist” ini yang membangkitkan keberanian saya untuk bermimpi. Englishman, salah satu tokoh dalam novel itu, mengatakan bahwa “luck” dan “coincidence” merupakan kata yang berkelindan. Kebetulan juga novel ini diberi oleh seseorang yang pernah studi di Shiffield – Inggris dan yang bersangkutan juga menceritakan bagaimana studi di sana.
Tanda lainnya, saat ini saya mulai menyukai bahasa Inggris dan tiba-tiba saja saya percaya diri bahwa saya mampu berbahasa Inggris, sekurang-kurangnya pasif, untuk saat ini. Dulu saya sangat paranoid terhadap literatur Inggris, namun sekarang menurut saya hal itu adalah tantangan. Tentu saja dengan kepercayadirian untuk mau bercas-cis-cus (conversation) dan keuletan/ ketelatenan untuk membuka kamus dan menganalisis sistematika kalimat (grammar), suatu tempo saya bisa!
Setelah melihat berbagai kemungkinan yang ada, saat ini saya selalu mensugestikan diri bahwa “Sometime, I believe that I can go to abroad”. Proses auto sugesti semacam ini akan mengendap ke alam bawah sadar saya dan akan menggerakan seluruh kesadaran saya untuk mewujudkan mimpi tersebut. Ujungnya saya berharap the dream cames true, meski entah kapan. Mari bermimpi! []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar