Inilah “Gaya Krikitiuw”

Oleh: Firdaus Putra A.

“Krikitiuw…!”, seru Rangga menirukan Sule dalam lakon Opera van Java. Bersweater Che Guevara, Rangga tampak kontras dengan Fakhri yang berkaos Bart Simpson. Siang itu, tampilan dua anak belia ini terlihat mencolok di antara kerumunan belasan anak-anak SMA RHS, Megamendung Bogor.

Rangga dan Fakhri sedang menjalani hukuman. Rangga lebih suka sweater Che-nya ketimbang kaos biru-hijau-putih, seragam olahraga sekolahnya. Kalau Fakhri lebih suka Bart Simpson. “Makanya dijemur”, kata Rangga.

Meski memakainya, ia tak tahu siapa sebenarnya si Comandante itu. “Itu kan penyanyi?”, tegasnya dengan mata berbinar. Seperti halnya Fakhri, ia tak tahu siapa ikon Bart Simpson. Hal itu membuat Penulis merasa geli.

Rangga dan Fakhri adalah remaja yang hidup di kawasan Megamendung. Daerah yang hanya beberapa kilometer sebelum Puncak Bogor. Di akhir pekan, jalur itu dipadati warga Jakarta yang berlibur. Wajarlah, mereka tidak memahami ikon-ikon itu. Mereka hidup di kawasan pinggiran. Namun, Fakhri tahu arti “krikitiuw”. Seruan itu ditujukan untuk menggoda cewek.“Seperti sebuah siulan”, katanya.

Inilah bentuk serangan budaya pop lain. Tak sekedar ikon pop Che, mereka juga sudah kenal pornografi. Soal Miyabi yang tak datang ke Indonesia pun mereka up date. “Cuma Rp. 3.000 saya bisa lihat gambarnya dari warnet di sebelah sekolah”, kata Rangga.
Buat mereka, perempuan, alkohol dan rokok adalah kawan karib pergaulan. Misalnya, Fakhri dan Rangga merokok sejak kelas dua SMP. Rangga bahkan pernah kepergok merokok di sekolah. Ia ditempeleng, sekali oleh guru. Rangga tidak sakit hati, “Ya gimana, memang salah”, tuturnya.

Di malam Takbiran yang lalu, Fakhri mengajak Marni ke vila di Puncak Bogor. Dengan Rp 75.000, Fakhri berkencan. Sesekali waktu ia mengajak temannya, Wawan. Bersama Yati, mereka bertiga mengulanginya.

Ridwan, tukang ojek, sering memergoki anak SMA check-in di vila Puncak. “Di atas mas, banyak”, ujarnya ketika menunggu penumpang. Memang vila di Puncak sudah terkenal dengan modus seperti ini. Tak hanya soal seks, kawin kontrak dengan pria asing juga sudah santer terdengar.

Inilah “gaya krikitiuw”. Potret budaya remaja kontemporer. Imitasi dan asal pakai budaya populer menjalar ke SMA di Megamendung. “Budaya pop memiliki energi yang dahsyat dalam mengubah seluruh sistem tanda”, ujar Raudal Tanjung Benoa, pemerhati budaya pop. “Apalagi jika hal itu berlangsung tanpa kritik yang menyadarkan”.

Masih menurutnya, “Perayaan publik atas berbagai mode, trend, gaya hidup, selera konsumtif, citra, merk dan benda-benda, hanyalah perayaan tanpa kemenangan; kecuali korban”. Ironisnya, tren ini mulai merasuk ke Rangga dan Fakhri, potret masa depan Indonesia dari Megamendung, Jawa Barat. “Krikitiuw…!”, seruan itu terdengar lagi di lantai tiga. Entah siapa lagi, “pelaku/korbannya”. []

Note:
Tulisan ini adalah hasil reportase lapangan dalam rangka Camp Menulis Tempo Institute 22-25 Oktober 2009. Mengingat kisah nyata, dengan alasan tertentu nama sekolah dan seluruh nama subyek saya samarkan.
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :