Oleh: Firdaus Putra A.
“Dalam kelebihan dan kekurangannya, saya merasa bangga pernah bergumul erat sebagai putra beliau”. Kutipan itu pernah terlintas dalam “imajinasi nakal” pidato pemakaman ayah saya.
Pidato pemakaman di desa dan kota di Indonesia, sebagian besar membosankan. Diwakili oleh orang tertentu—biasanya sesepuh atau kyai—keluarga akan menyampaikan sambutan tertentu. Kalau almarhum Muslim, beliau akan membuka dengan berbagai “ayat kematian”. Di tengahnya, berbagai petuah suci tentang takdir Tuhan ini dieksplorasi secara normatif. Pada bagian akhir, atas nama keluarga beliau mohon maaf atas segala kesalahan almarhum. Tak lupa beliau mengingatkan masalah hutang-piutang almarhum ditanggung sepenuhnya oleh keluarga. Demikian biasanya pidato pemakaman yang sempat beberapa kali saya saksikan.
Pidato pemakaman normatif nan membosankan seperti ini tak beda jauh dengan pengajian mingguan di langgar atau masjid. Bahasanya cenderung melangit dengan berbagai cantolan ayat suci. Eksplorasi sisi manusiawi dari takdir dan teks terasa kurang bahkan kabur. Saya kira tradisi kita, Indonesia, lebih gemar melangitkan ritual itu ketimbang membumikannya dalam konteks almarhum sebagai manusia.
Bandingkan, misalnya dengan tradisi—maaf—Barat yang bisa kita saksikan di momen/film mereka. Pidato pemakaman, meski diwakili oleh orang lain yang bukan anggota keluarga, namun menyuguhkan kesaksian riil tentang hidup almarhum. Mereka tak segan mengingat masa kecil atau masa muda almarhum. Sesekali ada kisah konyol dalam pidato itu. Ya, manusia riil tak selamanya “lurus”, ada kisah konyol/lucu yang justru mengesankan.
Pidato nan hidup itu lahir barangkali karena si wakil keluarga pernah secara langsung berhubungan dengan almarhum. Tidak ada manipulasi kisah atau pemaksaan kesaksian. Pidato itu merupakan ekspresi ketulusan dalam momen penghormatan terakhir. Seorang teman memberikan kesaksiannya dalam perjumpaan hidup tertentu bersama almarhum. Seorang anak akan mengilasbalikan bagaimana sosok almarhum di tengah keluarga, sebagai ayah dan sebagai seorang teman. Inilah pidato yang tak harus sempurna. Memang bukan kesempurnaan isi, melainkan ketulusan ekspresi.
Suatu ketika saya membayangkan, “Saya masih ingat ketika beliau pulang ke Indonesia tahun 2004 yang silam. Saat itu beliau peluk dan cium saya. Ya, beliau rindu, begitupun saya. Dua tahun beliau di Madinah yang seperempat waktunya berada di penjara”. Tentu saja teramat berat merekonstruksi masa lalu dan menghadirkannya kembali dalam momen “yang tidak main-main” itu. Lalu saya lanjutkan, “Sungguh berat saya bayangkan bagaimana beliau bertahan di dalam jeruji penjara karena lalai saat mengemudi mobil. Beliu adalah seorang TKI yang berangkat ke negeri orang untuk menafkahi saya, mbak, mas serta ibu saya. Peristiwa itu tidak akan pernah terlupakan bahwa almarhum adalah seorang pahlawan bagi kami”.
Kesaksian seperti itu bagi saya lebih mewakili isi hati keluarga daripada petuah dengan puluhan ayat suci. Ada keingingan untuk mengapresiasi almarhum secara tulus menjelang dimakamkan. Kesaksian ini bukan kesaksian picisan yang bisa kita temukan di buku-buku kumpulan khotbah Jumat atau semacamnya. Ini merupakan kesaksian yang bertalikelindan dengan lintasan kehidupan almarhum.
Pidato pemakaman saat ini sekedar salah satu unsur prosesi pemakaman. Tidak ada kesan yang mendalam selain seabrek pesan dari agamawan. Boleh jadi hal itu karena masyarakat kita kurang pandai berbicara di depan publik. Segala ihwal harus diwakili demi kesempurnaan acara: pernikahan, kelahiran, sunatan, pemakaman, tahlilan, syukuran dan berbagai hajat lainnya. Dengan ringan sohibul bait, sohibul hajat, atau keluarga yang ditinggalkan memesan pidato pada kyai. Menuliskan nama lengkap di secarik kertas dan mempercayakan seluruhnya pada si kyai itu.
Jujur saya jengah. Jengah dengan pidato basa-basi. Saya menginginkan sebuah tradisi pidato yang membumi dan manusiawi.
Dan kalaulah boleh dalam sebuah imajinasi saya katakan, “Beliau adalah ayah yang penyabar dan perasa. Tak jarang saya lihat beliau menangis di waktu tertentu. Beliau adalah teman diskusi yang terbuka. Mau menghormati pendapat saya meski kadang tak sejalan dengan pikirannya. Beliau adalah teladan baik yang paling dekat dengan saya. Saya mengaguminya sebagai seorang ayah, teman dan sosok yang patut diteladani”.
Di akhir pidato tak perlulah mengulang ihwal utang-piutang yang masyarakat pasti memahaminya. Alih-alih, saya akan mengatakan, “Seperti kehidupan, kematian adalah anugerah. Beliau sejauh saya tahu, sudah menghayati anugerah itu dengan sebaik-baiknya. Semoga Tuhan Yang Maha Kasih menerima beliau di sisi-Nya. Alfatihah …”. Bila memungkinkan, saya kira tak ada salahnya anggota keluarga yang lain atau teman almarhum memberikan kesaksiannya.
Saya rasa pidato pemakaman seperti inilah yang akan membuat almarhum tersenyum bahagia di alam sana. Bukan pidato yang penuh “ayat kematian” yang sudah sering kita dengar dan maklumi bersama. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
5 comments :
KOMENTAR PEMBACA VIA FACEBOOK. Tulisan ini juga ada di Note Facebook saya.
Bayu Bergas
mgkn tak butuh pidato. pidato itu sendiri satu bentuk basa-basi.
Akhmad Saefudin
hemm, ingin sekali hadir dlm prosesi pemakaman ayahmu (mf, tak ad kbr ihwalny), hngga kau pmpin lsg ritualny, lalu pdato psaksian olehmu pula. dan, mski hnya skali bsua, ingin skali kuberikan psaksian atas almarhum..turut bduka, smg bkn basa bsi, bhwa kau kan mwarisi sgala sisi heroismenya...
Diaz 'ucrit' Kasparov
sebagian besar pidato pemakaman memang membosankan (dan ini relatif)...
tapi ini bukan berarti menunjukkan kalau masyarakat kurang pandai berbicara di depan publik.
karena esensi pemakaman itu sendiri adalah memakamkan orang yang telah tiada.
ketika hadir dalam upacara pemakaman tersebut, orang yang hadir 'dituntut' memberikan bentuk penghargaannya (biasanya dalam bentuk diam, berdoa, menyimak pidato tokoh keagamaan/orang yang ditunjuk pihak keluarga almarhum, serta berseragam hitam) sebagai wujud empatinya, dari sinilah sebenarnya membuat budaya 'kaku' pada upacara pemakaman tersebut.
sebenarnya ini menjadi pertanyaan kecil di otak saya juga,
karena setahu saya ketika hadir dalam upacara pemakaman (based on pengajian)...
sebaiknya menghibur orang-orang/keluarga yang ditinggalkan almarhum bukan justru menambah 'horor' upacara pemakaman tersebut.
kata kuncinya adalah ikhlas...
(",)
*nice note brad...
--- floppers-zine.tk ---
Dea Melina
Pertanyaanya, ini kisah nyata atau imajinasi?
Kedua, Ritual yg dilakukan oleh Indonesia ataupun bangsa barat menurut saya bagian dr keyakinan dlm mhadapi prosesi kematian. Indonesia dg ritual Islamnya, percaya bahwa 'ayat kematian' merupakan pengantar doa bagi yg telah wafat serta sbg pengingat kematian bgi yg menghadiri prosesi tsb.
Dilain pihak... , orang barat menganggap bahwa mengenang org yg telah wafat dlm bentuk pidato tsb dpt membahagiakan sang arwah dan sbg pembentukan memori seputar yg telah wafat kpd yg hadir dlm prosesi agar tidak melupakan yg telah meninggal.
Nothing's wrong with those things. Both of them have their own positives side. If you want your father's funeral more colorful not boring as your imagination, i think u should mix both of them.
Heart Pujiati
I'm sorry to hear that.
Suroto Ph
Mas Daus, apakah kmu ingin aku datang dlm pidato pemakamanmu kelak????...kalo ya, kmu buatkan dulu teksnya....biar aku gak canggung2 utk menertawakan kekonyolan selama dlm hidupmu....dan tenanglah di surga....pasti akn aku tambahkan masalah visi misi "we-press" yg kamu susun secara bombastis itu...hahahhaa...
Sari Handayani
Us, turut berduka..(ga bniat basa-basi).
Suroto Ph
orang2 yang komen disini mbok mbacanya [pada yg penuh..jangan hanya baca judul jadi ngerti...Masak ayahnya DAus yg jelas2 masih sehat walafiat dah dikira meninggal....kaco juga nih...hahahhhaaa
Mas Burhan
tolong jangan suruh aku buat teks pidato kematiannya suroto, aku akan sulit sekali membuatnya,.....please!!
Suroto Ph
kau ini memang wartawan tak berguna!
Sueb Wiranggaleng
tulisanmu bagus. baru kali ini aku baca agak penuh. jika fcbk saling tukar pendapat semacam ini-tulisan utuh tentang tema tertentu-aku yakin, tidak saja soal pidato, kecakapan lain terkait menyampaikan pikiran akan lebih baik lagi. selain itu, sikap: kita tidak jujur memandang kehidupan.
Firdaus Putra
@all: klarifikasi buat yang pada ngucapin duka cita, itu tulisan imajiner... pada ditarik ya... hahaha.
@suroto+mas burhan: weleh... podo2 tuwone masih saja ribut sapa yg bikin pidato kematian dulu, hahaha.
@sueb: bener kan kek... yg lomba ugm aku menang. sayangnya hadiahnya kecil. tapi syukur lah.
Suroto Ph
Daus> kau tak usah sok muda githu. wajah seriusmu itu telah mendorong ak utk secepatnya mengkonsep pidato...wkkkk.....(orang2 yg suka bercanda dgn kematian akan dibuat panjang umur)....pisss
Firdaus Putra
amien... tolong kalo sampeyan yang pidato, jangan lupa yang rada lebay ya... biar seru gitu... terus kalo aku yg mpidatoin sampeyan dulu... sampeyan request apa...? hahaha
Hasby Zamri
hahahaha, Mas Firdaus, baik tulisan maupun commentnya pd gokil2, aq pe ketawa baca nya,
Imajinasimu hbt Mas....
sempat2nya sampai ke pidato pemakaman segala,
gokil bgt dah ah,
:)
Biangkerok Satrio
masih inget seorang kawan musisi purwokerto yg meninggal tempo hari... kawan2nya membuat acara musik khusus untuk mengenangnya.. dan beberapa orang bertestimoni juga bercerita tentang momen2 bersama almarhum... sebuah even tandingan dari yg kamu maksud us..
Ya apa mau dikata, yang sesuatu yang namanya ritual di Indonesia sangat sulit untuk dirubah apalagi dihilangkan.
Tapi setahu saya (ga tau juga sih, hehehe)pernah di ajarin waktu masih sekolah agama ulu, kalau soal permasalahan hutang piutang memang diajarkan kaya gitu kan ????
Blognya tambah keren aja Mas...
sekarang sibuk apa mas ???
oh iya kalau ada lomba-lomba blog beri tahu donk mas !!! suka ga tau sih wkwkwkwk
Posting Komentar