Oleh: Firdaus Putra A.
“Hidup yang tak diperiksa, adalah hidup yang tak pantas didiami”.
(Socrates)
Mungkin benar apa kata Socrates di atas, “Hidup yang tak diperiksa-dipikirkan, adalah sebuah kehidupan yang tak pantas didiami”. Inilah tradisi yang dikembangkan kaum shopis Yunani dulu. Bagaimana realitas yang sempat mampir perlu, bahkan harus, diperiksa-dipikirkan agar tak sekedar lewat tanpa bekas. Apapun itu!
Memeriksa-memikirkan kehidupan sejatinya adalah bagaimana mendayagunakan akal-budi manusia untuk memahami realitas/ peristiwa. Sedangkan seorang penulis bak “Sembari belanja, menyegarkan mata di mall”. Sembari berpikir, ia menuliskan buah pikirannya itu. Dua aktivitas terlampaui dalam sebuah aktivitas yang padat energi dan makna.
Sepintas tentang Menulis
Pada mulanya menulis esai itu adalah rasa gelisah. Gelisah terhadap apa yang dicerap si penulis. Entah realitas faktual atau imajiner. Realitas itu kemudian ditanya atau dipertanyakan, “Kok begitu se?”. Sederhananya, penulis memulai dengan rumusan pertanyaan. Misalnya, “Mengapa seperti itu se?”. Dari sanalah alfabet a-z terangkai menjadi kata, kalimat, paragraf dan sebuah tulisan utuh.
Semua yang dibutuhkan penulis sudah tersedia. Huruf sudah ada dari peninggalan budaya sebelumnya. Gagasan, bisa ditemukan saat mencerap realitas. Kemampuan menulis, sudah dilatih-ditradisikan semenjak sekolah dasar hingga kuliah. Lantas, apa yang masih kurang sehingga sedikit orang yang (bisa) menulis (esai)?
“Orang itu hebat”, katanya, “ia dapat memikirkan apa yang tak terpikirkan orang lain”. Ya, di sanalah akar mengapa sebagian orang bisa menuliskan sesuatu dan sebagian yang lain tidak. Seorang penulis, karena terbiasa dalam olah pikir, ia bisa menemukan ide meski bak jarum di antara tumpukan jerami. Ia memiliki sensitivitas lebih di banding yang lain. Ia perasa, sehingga sesuatu yang subtil (lembut) pun, dapat ia rasakan. Sesuatu yang rumit, dapat ia urai. Hal yang nampak gamblang, dapat ia pertanyakan dua sampai tiga kali.
Sensitivitas seperti itu bukan suatu kemampuan yang terberi, melainkan terlatih. Orang yang biasa menerima realitas sebagaimana adanya, maka ia cenderung kurang sensitif. Sebaliknya, orang yang terbiasa dengan kecurigaan, keraguan dan sebagainya akan cenderung sensitif. Di benaknya, realitas tidak diterima bulat-bulat sebagai sesuatu yang taken for granted. Alih-alih menerima atau menolak, jauh sebelumnya ia pertanyakan realitas tersebut.
Alhasil, tak ada keluhan dimana seorang penulis kehabisan ide, karena pada dasarnya realitas kehidupan merupakan stock of knowledge yang melimpah-ruah. Dengan sensitivitas yang tinggi, penulis mampu merasa apakah suatu hal laik tulis atau tidak. Dalam artian, apakah sudut pandang, pendapat yang ia tulis adalah biasa saja atau justru merupakan mutiara pemikiran yang brilian. Inilah yang kemudian membuat seorang penulis perlu mencari angle dari realitas yang akan ia urai.
Bak penembak, penulis akan mencari titik tembak yang ngena. Dengan perhitungan arah mata angin, kecepatan, kelembapan udara, jarak dan sebagainya, penulis akan mencari angle yang tepat sehingga buah pikirnya menjadi laik baca. Tulisan yang biasa saja (familiar) dari segi isi atau bahasa, akan membuat pembaca bosan. Tulisan yang normatif, cenderung menjadi tulisan yang biasa saja. Bahkan parahnya, tulisan yang normatif secara psikologis cenderung bernuansa menggurui.
Untuk itu, penulis perlu melakukan de-familiarisasi. Yakni membuat ide yang biasa menjadi “tak biasa”. Juga membahasakan dengan cara yang “tak biasa” pula. Yang pertama menyangkut isi, yang terakhir masalah pengemasan. Ayam goreng sudah lama dikenal masyarakat, namun “kentucky” membuatnya terasa lain. Di sinilah masalah pilihan kata, susunan frasa atau kalimat menjadi penting diperhatikan.
Isi atau pesan tulisan merupakan ejawantah dari olah pikir penulis. Sedangkan kesan dari cara pengemasan, merupakan kreativitas penulis dalam mengubah alfabet a-z menjadi merdu berirama, kadang jenaka bahkan kadang miris. Pantaslah kiranya jika disebut menulis merupakan kerja intelektual dan kreatif!
Soal Isi atau Pesan
Sebagai aktivitas intelektual, tidak ada batasan tema atau topik dalam menulis. Semua hal, selama masih terpikirkan dapat ditulis. Bahkan, setan serta berbagai dedemit: kuntilanak dan teman-temannya, bisa ditulis. Hanya saja, saban orang memiliki kepedulian yang berbeda, yang akan membimbingnya menekuni tema tertentu: sosial, politik, ekonomi, budaya dan seterusnya. Tentu saja, ini butuh proses!
Isi atau pesan esai sendiri berangkat dari sudut pandang penulis. Tidak mesti melulu subyektif. Meski berangkat dari sudut pandang tertentu, seorang penulis bisa melakukan proses inter-subyektivikasi. Sebagai individu, ia dapat membayangkan diri berada pada posisi/ kondisi/ situasi individu lainnya. Proses empati bekerja di sini. Meski menggunakan kata ganti orang pertama, seperti: aku atau saya, isi dari sebuah esai dapat diamini oleh segenap pembaca karena pembaca bisa menghayati situasi tersebut.
Proses subyektif ini kadangkala justru melahirkan gagasan-gagasan brilian. Dalam subyektivitas, penulis tidak akan terbayang-bayangi figur lain. Juga tak ambil pusing dengan berbagai literatur. Ia bisa berpikir out of the box karena telah menyingkarkan box-nya.
Berbeda dengan itu, artikel ilmiah cenderung terperangkap dalam box. Berbagai catatan kaki serta daftar pustaka bak penjara yang mengkerangkeng pikiran. Penulis terbebani dengan kecemasan, “Apakah ada teori yang mengatakan demikian?”, maka sebelum selesaipun, ia sudah kepayahan dengan berbagai referensi.
Jika diibaratkan penelitian, maka menulis esai seperti penelitian lapangan (grounded research) yang tak terlalu menghiraukan tinjauan pustaka berupa jibunan teori dan pendapat ahli. Alih-alih mengekor pada teori tertentu, penelitian lapangan seringkali menemukan teori baru. Sedangkan menulis artikel, ibarat penelitian dalam rangka uji-hipotesis. Kecil kemungkinan ia dapat keluar dari teori atau pendapat ahli. Justru hipotesis di awal penelitian harus ia bangun dari sebuah teori untuk kemudian (biasanya) meneguhkan ulang teori itu. Yang pertama berpikir dengan logika induksi, yakni berangkat dari kasus per kasus. Sedangkan yang kedua berangkat dari teori.
Meski demikian, tidak dilarang dalam sebuah esai mengutip pendapat ahli, teori atau literatur tertentu. Namun perlu diingat, dalam menulis esai yang lebih dibutuhkan adalah bagaimana kemampuan penulis membangun batu bata argumentasi agar rumusan masalah yang diajukan terjawab dengan logis dan rasional. Oleh karenanya, menulis esai cenderung demonstratif-naratif.
Sampai sejauh itu, bila memang dibutuhkan untuk mengutip, maka kutipan yang dimaksud adalah dalam rangka membantu proses pembangunan batu bata argumentasi. Kutipan semacam ini biasanya berisi tentang analisis terhadap masalah tertentu. Seorang penulis meminjam kutipan itu karena ia yakin analisis dari kutipan itu lebih sistematis, padat makna, atau bombastis dan seterusnya. Yang jelas, tidak haram menaruh kutipan di dalam sebuah esai dengan catatan tidak over dosis!
Untuk lebih memudahkan pembaca memamah lembut sebuah esai, biasanya penulis akan mensistematiskan tulisannya menjadi tiga bagian pokok: pengantar (latar belakang), uraian (pembahasan) dan kesimpulan (penutup). Tim riset Kompetisi Esai Tempo Institute, pernah merilis bahwa dari 1000 peserta (mahasiswa) 85% tulisan mereka tidak utuh. Artinya, ada 850 mahasiswa yang menulis esai dimana ada pengantar namun kurang di uraian. Atau juga, uraian cukup bagus namun tidak ditutup dengan kesimpulan yang tegas. Dalam rangka menghindari ketak-utuhan tulisan biasanya penulis membuat semacam outline. Apa rumusan masalahnya, kemudian apa poin-poin pembahasannya dan terakhir kesimpulan apa yang akan diajukan.
Sistematika penulisan merupakan bentuk konkret dari cara berpikir penulis. Semakin sistematis, maka cara berpikir yang bersangkutan sistematis pula. Sedangkan jika melompat-lompat bak katak, maka cara berpikir yang bersangkutan juga seperti katak. Atau bolehlah bak belalang, boleh juga kanguru!
Selain dengan outline, usaha mensistematiskan tulisan bisa juga melalui mapmind (peta pikiran). Dalam tradisi gerakan, saat proses analisa sosial (ansos) hal ini lazim digunakan. Kelebihannya, mapmind bak sebuah gambar yang elok dipandang dan tak membosankan seperti halnya outline. Bisa juga membingungkan bagi yang tak tahu akar keberangkatan bahasan. Namun ini sekedar pilihan cara, keduanya bisa digunakan, asal biasa.
Tentang Kesan atau Kemasan
Mengingat kesan merupakan domain rasa, maka pantas, enak atau indah tidaknya dapat didekati dengan rasa. Misalnya contoh ekstrem, lebih enak mana menggunakan kata “ke belakang” atau “buang air”? Pertama ini menyangkut masalah pilihan kata atau diksi. Realitas yang biasa saja bisa menjadi “luar biasa” tergantung kata yang digunakan. Sebaliknya, peristiwa yang “luar biasa” menjadi biasa saja dengan cara penyampaian/ pengemasan tertentu.
Kesan dalam tulisan perlu dikelola karena hari ini terlalu banyak tulisan berjejalan di ruang baca kita. Ada koran, majalah, buku, televisi, situs dan seterusnya yang menawarkan hal yang mungkin sama, namun dengan cara penyampaian yang berbeda. Tujuan mengelola kesan tentu saja dalam rangka memenangkan ruang baca, agar tulisan kita dibaca dan diminati. Ini adalah tujuan fungsional dari olah kesan.
Di sisi lain, cara penyampaian sampai batas tertentu akan memanipulasi realitas yang sesungguhnya. Misalnya, “Polisi mengamankan aksi demonstrasi mahasiswa dengan membuat barikade”. Berbeda kesannya dengan “Polisi mendampingi aksi demonstrasi mahasiswa dengan membuat barikade”. Yang pertama mengesankan bahwa aksi mahasiswa perlu diamankan yang tentu saja berasosiasi dengan demonstrasi mahasiswa seringkali ricuh. Sedangkan yang kedua, polisi nampak sebagai pengayom masyarakat yang senantiasa membantu masyarakat beraktivitas. Inilah efek politis dari olah kesan ini.
Dalam dunia jurnalistik pilihan kata menjadi sangat berarti—bahkan bisa berimplikasi hukum. Eriyanto dalam Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik Media Massa, membedah dengan baik konstruksi ideologi dan politik media massa (baca: tulisan) misalnya dengan melihat proses labelling (pelabelan/ pendefisian situasi dengan menggunakan kata tertentu). Oleh karenanya, olah kesan haruslah didasari dengan keinsyafan etik bahwa sebisa mungkin penulis menghadirkan realitas sebagaimana adanya meskipun itu mustahil! Setiap realitas yang ditulis, maka sejatinya merupakan hasil penafsiran si penulis. Senada dengan itu, Edward Said mengatakan bahwa setiap proses penafsiran adalah proses ideologis yang penuh dengan keberpihakan si penafsir (baca: penulis).
Namun tak perlulah berpucat pasai sehingga enggan atau takut menulis. Selama seorang penulis jujur dalam mengapresiasi realitas, maka cara penyampaian menjadi masalah nomor sekian. Ironisnya, tradisi Jawa lebih menitikberatkan pada cara penyampaian pesan daripada isi pesan itu sendiri. Sehingga sindrom ini perlu juga tetap diwaspadai, siapa tahu kita semua sudah kadung njawani.
Selain masalah diksi, perlu kiranya kita belajar dari Axe, “Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya …”, dimana pembuka tulisan yakni judul, kalimat serta paragraf pertama akan sangat mempengaruhi pembaca apakah meneruskan atau membuang tulisan kita. Lebih enaknya, jurus pembuka kalimat atau paragraf pertama ini kita sebut dengan lead.
Lead itu bak desain atau warna dari suatu produk. Itulah yang pertama kali dilihat orang sebelum membeli Mie Sedap Rasa Soto. Oleh karenanya, bukalah sebuah tulisan dengan cara “tak biasa”. Pilihlah sebuah judul, kalimat pembuka yang menggedor, membuat penasaran atau “menjebak” pembaca. Jika pembaca mungkin belum tergedor dengan judul, maka gedorlah dengan kalimat pada pararaf pertama. Jika belum bisa juga, maka coba pada paragraf kedua. Jika belum juga, maka belajar menulislah yang giat!
Sungguh baik Goenawan Mohammad mau berbagi jurus lead melalui Seandainya Saya Wartawan Tempo. Ada banyak lead, bisa dipilih satu per satu jika cocok dan pas di saku: lead ringkasan, lead bercerita, lead deskriptif, lead kutipan, lead bertanya, lead menuding langsung, lead menggoda, lead nyentrik dan lead kombinasi. Di antara itu semua, yang paling mudah adalah membuat lead kutipan, misalnya seperti pada bagian awal paper ini. Letak titik tembaknya adalah kita mengutip suatu kalimat yang menarik/ padat makna atau dari seorang tokoh. Selain itu juga lead bertanya, misalkan, “Apakah Anda termasuk perempuan pemakan mentimun?” Efek lead bertanya ini membuat pembaca penasaran dan meneruskan ke paragraf selanjutnya untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan itu.
Setelah lead, maka mulai tulislah paragraf-paragraf selanjutnya. Agar enak dibaca, tulislah dengan bebas dan leluasa. Kalau merasa terbebani, acuhkan saja berbagai aturan ejaan. Lebih enak lagi, gunakan bahasa bertutur, yakni seperti orang bercerita. Gaya bahasa bertutur ini tentu saja tidak terlalu taat aturan. Jika memang harus taat, karena kita orang yang beriman dan beramal saleh, maka editlah setelah tulisan itu selesai. Sesuaikan gaya bahasa yang terlalu “liar, nakal dan binal” itu untuk menghormati aturan ejaan.
Sesampai paragraf akhir, perlu kiranya pembaca digedor ulang agar ia tersadar dari hayalan/ lamunannya karena takjub membaca tulisan kita. Bagian ini perlu ditulis semenarik lead. Usahakan bukan nasehat-nasehat basi. Bila perlu cukup dengan kalimat tanya yang kembali membuat pembaca penasaran. Yang jelas, jangan biarkan mood pembaca hilang saat membaca paragraf terakhir yang menampakan penulis sudah kehabisan kata-ide, atau terburu-buru ingin “ke belakang”!
Belajar Menulis
Poin-poin di atas hanyalah teori tentang menulis (esai). Sayangnya, tak seperti ujian yang hanya hafal teori kita bisa lulus, menulis dibutuhkan kecakapan. Artinya, menulis merupakan sebuah praktek, pengalaman dan jam terbang. Ia merupakan proses. Penulis besar seperti Andrea Hirata, Goenawan Mohammad, Pramoedya Anantatoer tidak sekonyong-konyong hebat. Mereka juga berangkat dari proses belajar.
Agar proses belajar itu lebih enak, mungkin perlu sesekali kita menjadi komentator ulung sebagai penulis pemula. Artinya, hal apapun yang pernah lewat di kehidupan sehari-hari harus kita komentari. Tentu saja, komentar itu ditulis di atas secarik kertas atau melalui tuts-tuts keyboard. Mungkin awalnya, komentar kita terkesan terlalu subyektif, kekanak-kanakan atau kocak. Namun lambat laun komentar itu akan semakin jejeg logikanya, rapet batu bata argumentasinya dan tidak sepet cara penyampainnya.
Sebagai katalisator, banyak membaca adalah rekomendasi pertama. Dengan banyak membaca maka perbendaharaan kata kita akan semakin banyak. Selain itu, cara berpikir kita akan semakin jejeg karena proses membaca merupakan dialektika antara pikiran kita dengan pikiran orang lain. Meski tidak disadari, saat itu kita sedang mengadu argumentasi secara membatin. Juga dengan banyak membaca kita bisa belajar mengadaptasi gaya menulis orang lain. Berangsur-angsur kita akan menemukan gaya penulisan kita sendiri. Beginilah belajar, bak anak kecil yang berangkat dari proses imitasi. Selebihnya, sangat dianjurkan kita berkreasi, misalnya, “lemon tea susu madu” yang mensintesiskan empat unsur berbeda. Atau bisalah kita cari racikan-racikan lain. Bisa juga saat salah meracik, jadilah brownies, kue yang sedap dan enak yang awalnya salah masak, bukan? []
_____________________
Untuk dipresentasikan pada Diklat Jurnalistik IMM STAIN Purwokerto, Sabtu, 23 Januari 2010.
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 comments :
Turorial yang sangat jernih sekali, pak.
Saya sangat terbantu dan tercerah dengan isi artikel anda. Kebetulan saya saat ini lagi coba-coba belajar menulis. Browsing2 Eh, saya mendapat wawasan dari tulisan anda.
oleh kerena itu dengan tulus hati, saya ucapkan terima kasih.
jika tidak keberatan bisakah saya lebih mendalami pembelajaran saya lewat tulisan anda yang lain? atau bisakah saya menjadi sahabat pena anda? berikut email saya: jerrysulap@gmail.com
salam,
Jerry Gogapasha
www.komsensus.wordpress.com
Posting Komentar