Hantu Puncak Datang Bulan

Soal Andi Soraya Telanjang
Oleh: Firdaus Putra A.

“Jangan diliat porno atau tidaknya, tapi kualitas akting pemainnya”, ujar Andi Soraya salah satu pemeran film “Hantu Puncak Datang Bulan”, seperti dikutip oleh Astaga!com Lifestyle on the Net. Film dengan judul aneh itu hanyalah satu dari sekian banyak film hantu-hantuan atau horor komedi di Indonesia. Isi film terkadang asal. Tidak terlalu serius dan hanya mengejar sensasi dengan tempelan judul yang aneh.

Coba perhatikan beberapa judul film berikut: Jeritan Kuntilanak, Hantu Binal Jembatan Semanggi, Toilet 105, Hantu Aborsi, Susuk Pocong, Darah Janda Kolong Wewe, Eee… Hantu, Hantu Mupeng, Suster Keramas dan seterusnya. Garis besar cerita berbagai film hantu itu seringkali sama. Maklum, mungkin stok hantu di Indonesia terbatas: pocong, kuntilanak, wewe, dan sejenisnya. Tak ada elaborasi baru yang lebih kreatif.

Berbagai penampakan hantu dalam film itu ditampilkan secara vulgar. Bandingkan dengan misalnya film horor Final Destination 1-4. Spirit tentang kegaiban ditampilkan dengan sangat apik melalui kecerobohan-kecerobahan yang manusiawi. Namun justru dengan penampakan semacam itu, penonton dibuat ngeri dan harap-harap cemas. Ironisnya, sekedar make up pun hantu-hantuan Indonesia kadang tak seseram yang kita bayangkan. Tak ada proses dramatisasi yang begitu dramatis atau surealis. Justru yang kita tangkap tampilan-tampilan yang compang-camping.

Dalam sebuah kesempatan Andi berujar bahwa kemauannya untuk akting topless (telanjang bagian atas) ia akui belajar dari film-film Barat. Namun apakah ketelanjangan dalam film “Hantu Puncak Datang Bulan” sejajar/ sepadan dengan ketelanjangan Kate Winslet dalam “the Reader”? Tentu jauh sekali, bukan? Meski dalam “the Reader” Kate sampai memperlihatkan dada, bagian belakang tubuh dan lainnya, namun ketelanjangan itu begitu polos. Berbeda dengan itu, “Hantu Puncak Datang Bulan” menawarkan ketelanjangan yang banal/ vulgar.

Ketelanjangan itu begitu rupa diumbar dalam konteks cerita yang dibuat-buat. Ketelanjangannya lebih mendekati film biru daripada drama percintaan di “Titanic” atau “the Reader” itu. Ada usaha untuk memaksakan ketelanjangan di film itu yang sebenarnya tak ada efek afeksi dari rangkaian cerita. Pengumbaran adegan semi telanjang/ telanjang ini banyak terjadi di film-film hantu, horor, komedi di Indonesia. Selalu saja, entah sutradara atau produser, menawarkan remah-remah adegan ranjang di sana-sini.

Saya mengira ada usaha untuk meniru gaya “American Pie” dengan komedi seksnya. Hanya saja, berbagai aturan, norma dan nilai di Indonesia tak bisa menerima itu sebagai film bioskop. Jadilah, berbagai remah-remah ranjang merembes di film hantu-horor-komedi. Rembesan-rembesan ini yang sebenarnya dijual sebagai penglaris dalam film tersebut.

Dulu adegan ranjang merembes ke film-film kolosal seperti Arya Kamandanu dan sebagainya. Meski intensitasnya tidak teralu jauh, namun adegan mesra semacam itu cukup menghibur dan dinantikan oleh para penonton “layar tancap” di desa-desa. Bedanya, adegan mesra dibingkai dalam kisah drama yang tak terlalu kasar. Singkatnya, memang tepat memasukan adegan itu pada snapshot tertentu. Sehingga adegannya terasa mengalir dan tidak dipaksakan.

Soal penggarapan, ada satu contoh yang menarik pada adegan Kate telanjang di depan bocah sekolahan itu. Bila jeli, bulu ketiak Kate dibiarkan lebat. Tentu saja sutradara sangat jeli memperhatikan konteks sejarah, sosial-budaya dimana kisah film itu digelar, yakni tahun dimana Nazi berjaya. Detail semacam ini sering luput dari sutradara tanah air.

Dalam konteks adegan telanjang di film, saya bisa memberikan dua analogi yang berbeda: telanjang yang polos seperti telanjangnya orang desa yang tengah mandi di sungai. Sedangkan yang kedua, telanjang yang vulgar seperti penari striptis di atas panggung. Meski sama-sama telanjang, keduanya tentu memuat nilai yang berbeda.

Nah, analogi seperti itu bisa digunakan untuk membaca adegan (semi) telanjang dalam film-film Indonesia. Ia lebih seperti penari striptis yang begitu rupa menggoda penonton agar birahi daripada kepolosan tubuh bak orang desa mandi di sungai.
Untuk mengetahui lebih jauh polemik ketelanjangan Andi Soraya silahkan klik Astaga!com Lifestyle on the Net. []

Sumber gambar: dari www.astaga.com
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :