Meningkatkan Efisiensi, Skala Ekonomi dan Modal Sosial pada Persma
Oleh: Firdaus Putra,S.Sos.
Pengantar
Asumsikan budaya membaca di mahasiswa rendah. Di sisi lain, perputaran media oleh persma pada level buletin atau majalah mengalami inflasi. Dimana stok berlimpah namun anemo mahasiswa (baca: pasar) rendah. Akhirnya, beberapa buletin/ majalah persma kurang diminati meski dengan desain yang dinamis dan khas mahasiswa.
Pada titik lain, beberapa persma mengalami kesulitan pendanaan. Namun hal ini bisa ditutup oleh variabel dana kegiatan mahasiswa yang diperoleh melalui proposal kegiatan ke fakultas/ universitas. Karena persoalaan pendanaan inilah volume/ oplah terbitan biasanya bergantung pada kemampuan pendanaan sponsor.
Masalah yang lain, dalam konteks itu media persma seringkali tak habis terjual karena kurangnya anemo pasar. Memang “tidak ada” resiko rugi karena dana untuk mencetak berasal dari fakultas/ universitas. Hanya saja, perusahaan persma tak pernah dapat mengelola cashflow dari hasil penjualan dan pemasukan iklan secara berkelanjutan.
Arus kas bersifat insidental, menunggu pemasukan dari proposal dan pengeluaran untuk kegiatan. Akibatnya, perusahaan persma tidak pernah jejeg sebagai unit yang bertanggungjawab pada masalah pembiayaan penerbitan.
Pada konteks lain, jejaring persma antarfakultas bersifat insidental yang aktif pada saat menghadapi isu bersama. Modal sosial berupa jaringan, saling percaya, kerjasama tersebut tidak dipupuk secara serius dan berkelanjutan.
Dalam rangka menghadapi isu bersama, biasanya jaringan persma ini menerbitkan media tertentu dengan tingkat penggarapan tak seserius penggarapan media masing-masing. Itupun dengan oplah yang tak sebanding dengan rasio sasaran beberapa fakultas anggota aliansi persma tersebut. Jadi, jaringan antarpersma fakultas lebih nampak sebagai jaringan aksi insidental dibanding jaringan yang benar-benar dibutuhkan dan berdaya hidup.
Sedang pada konteks lain, selain memperoleh pembiayaan dari fakultas/ universitas persma-persma juga mengakses dana dari pihak lain seperti: jasa foto kopi, warung makan, kafe, distro/ oultet dan sebagainya. Perlu dipahami karena wilayah kerja yang sama, yakni lingkungan kampus, maka pihak-pihak sponsor yang mereka akses pun relatif sama. Misalnya: LPM Solidaritas, Ekonomi dan Hukum pasti akan mencari beberapa sponsorship sepanjang Jalan Kampus, HR. Boenyamin, Sumampir, Pabuaran dan mungkin Dr. Angka.
Paper ini berusaha memberi tawaran lain dalam rangka meningkatkan efisiensi pengelolaan dan penerbiatan media, modal sosial antarpersma dan skala ekonomi perusahaan persma agar dapat lestari dan jika mampu, mandiri. Paper ini tersusun berkat diskusi dengan Yogi Yanto dan Annisa Rengganis. Penulis ucapkan terimakasih kepada mereka berdua.
Efisiensi Pengelolaan Media
Setiap persma menerbitkan media selevel buletin atau majalah. Sasaran media tersebut adalah mahasiswa masing-masing fakultas. Misalnya, jumlah mahasiswa (aktif) FISIP sebanyak 1000-1500 orang, Ekonomi mencapai 3000-4000 orang dan Hukum sebanyak 1000-1500 orang.
Sebelum menerbitkan media tersebut mereka mengadakan rapat redaksi untuk membahas dan memilih isu apa yang akan diangkat. Selanjutnya awak persma disebar untuk menggali berita, menulis dan kemudian masuk meja redaksi untuk diedit. Saat para reporter ini turun ke lapangan, awak-awak yang lain mencari dana dari berbagai pihak. Sampai deadline tertentu, semuanya siap dan dicetak dengan oplah misalnya 1000 eksemplar.
Setiap persma melakukan proses yang nyaris sama seperti itu. Lantas pertanyaannya mengapa mereka tidak membuat media bersama? Misalkan, LPM Solidaritas, MEMI dan Pro Justitia yang merupakan rumpun fakultas sosial-humaniora hanya membuat satu buletin/ majalah yang berisi tentang berita dan sebagainya dari tiga fakultas tersebut. Kemudian buletin/ majalah masing-masing persma dinon-aktifkan.
Keuntungan dengan media bersama itu adalah pertama dari segi pembiayaan akan lebih terdukung dengan mengoptimalkan masing-masing sumber dana dari fakultas. Misalnya, persma FISIP alokasi dana penerbitan sebesar empat juta rupiah, Ekonomi sebesar enam juta dan Hukum asumsikan mencapai empat juta rupiah. Maka, total dana yang terkumpul mencapai 14 juta rupiah.
Dengan modal dana sebesar itu, maka media bersama tersebut dapat dicetak lebih dari 4000 eksemplar yang diperuntukan bagi tiga fakultas. Selain oplah lebih besar, biaya cetak menjadi lebih terjangkau dan jumlah halaman pun menjadi lebih tebal dengan isi yang lebih variatif.
Dengan isi media yang lebih variatif, maka dianggap mahasiswa (baca: pasar) akan lebih tertarik untuk membaca dan membelinya dengan harga yang pantas untuk buletin/ majalah setebal 100-120 halaman dengan desain dan cover yang eksklusif.
Skala Ekonomi Media
Dengan tingginya oplah media, maka peluang media tersebut menarik banyak iklan semakin tinggi. Dengan oplah misalnya 4000 eksemplar per terbit, maka posisi tawar media tersebut akan naik di mata pengiklan.
Hal ini juga memperhatikan bahwa sasaran persma masing-masing fakultas relatif sama. Dengan media bersama ini, maka pengiklan bisa memfokuskan dananya (baca: membersarkan alokasi biaya untuk iklan) pada media dengan oplah tinggi dan skala pasar yang lebih luas.
Media yang diterbitkan persma kadang tidak laku karena mungkin minat baca mahasiswa yang kurang di fakultas tertentu. Dengan adanya media bersama ini, maka akan muncul share pasar yang bisa saling menggenapkan. Misalnya, dari 4000 eksemplar LPM Solidaritas dijatah 1000 untuk mahasiswanya. Ternyata hanya terjual 500 eksemplar. Maka sisanya bisa dialihkan ke fakultas ekonomi yang jumlah mahasiswanya bisa banyak. Maka, kecil kemungkinan media tersebut tidak habis terjual.
Hal itupun memperhatikan faktor pemasaran yang dengan adanya media bersama tersebut maka tanggungjawab pemasaran dipikul oleh ketiga lembaga. Misal, awalnya LPM MEMI hanya mempunyai 15 awak, dengan adanya media bersama ini maka pemasar bertambah menjadi 30 yang diambil dari LPM Solidaritas dan Pro Justitia. Dengan semakin banyaknya awak pemasar, maka derajat keterjualan semakin tinggi.
Modal Sosial Antarpersma
Dengan adanya media bersama, tiga persma tersebut harus merumuskan politik redaksi bersama-sama. Dalam forum itu dengan sendirinya sharing isu fakultas, gagasan, model pendekatan, dan berbagai teknik penulisan lainnya. Sehingga jejaring antarpersma tersebut semakin kuat dan berlanjut bukan hanya saat ada isu bersama.
Modal sosial ini juga akan semakin memperkuat komunitas persma, sekurang-kurangnya pada tiga persma tersebut. Tiga persma tersebut lambat laun setelah terjalin rasa saling percaya maka dapat melakukan sharring jaringan antarsatu dengan lainnya. Tentu saja harus didasari dengan nilai kepercayaan bahwa kemanfaatan jaringan tersebut bukan untuk membesarkan persma tertentu, melainkan ketiga persma yang ada. Misalnya, jaringan alumni LPM Solidaritas dapat di-share ke LPM MEMI dan Pro Justitia yang tentu saja digunakan untuk membangun media bersama tersebut.
Modal sosial ini pada gilirannya dapat dikonversi menjadi modal intelektual sebagai pisau analisis dalam membedah isu-isu tertentu. Akhirnya, pendekatan yang digunakan akan multidisiplin. Misalnya, bagaimana isu POM atau BOPP ditinjau dari aspek nilai lebih pada layanan mahasiswa yang mungkin MEMI lebih fasih dibanding Pro Justitia. Sedangkan Pro Justitia dapat urun rembug pada posisi hukum POM atau BOPP. Di sisi lain, Solidaritas menyoal segi pelayanan dan/atau regulasi publik dalam konteks pendidikan. Dengan pendekatan multidisplin ini, maka proses pembahasan pada isu tertentu bisa lebih komprehensif. Jika tidak dapat dilaksanakan, awal-awal mungkin media bersama ini cukup digarap sebagai media tiga persma yang disatukan/ dibundel dengan beberapa pertimbangan di atas. Namun saya yakin melalui proses yang panjang akan lahir juga pendekatan multidisiplin pada isu-isu tertentu.
Beberapa Hambatan
Dalam merealisasikan media bersama ini, faktor yang kemungkinan menjadi penghambat adalah sebagai berikut:
1. Ego sektoral masing-masing persma dalam konteks eksistensi lembaga dan media. Logikanya antarpersma ada semangat untuk berlomba-lomba. Nalar ini akan sulit sekali saat masing-masing persma diminta menonaktifkan terbitan buletin/ media, dan hanya menerbitkan leaflet atau buletin yang lebih tipis halamannya. Dalam konteks ini dibutuhkan kesamaan pandangan bahwa perjuangan persma akan semakin efektif dan efisien jika ditempuh secara bersama-sama. Toh, ketiganya sama-sama memperjuangkan keterbukaan informasi bagi mahasiswa.
2. Perbedaan pendekatan dan politik keredaksian antarpersma yang dapat mengerucut pada sentimen ideologi atau konflik tertentu dalam memandang sebuah isu. Dalam konteks ini dibutuhkan kekenyalan dan toleransi sampai batas tertentu pada isu-isu yang menjadi polemik di antara mereka. Yang jelas melalui proses yang panjang ketiganya akan saling pengaruh-mempengaruhi pandangan sehingga perbedaan pendekatan atau politik keredaksian dapat dimimalisir.
3. Konsistensi untuk saling berkomunikasi dan bekerjasama. Karena pengalaman aliansi pers sebelumnya, proses komunikasi hanya terjadi saat membahas isu-isu bersama, selebihnya jalan sendiri-sendiri. Untuk menjaga dan mengawal komitmen ini maka perlu dibuat sebuah nota kesepahaman bahwa ketiga pers yang bergabung membentuk media bersama tersebut akan memperuntukan alokasi dana penerbitan media bagi media bersama itu.
Proses Membangun Media Bersama
Untuk membangun media bersama itu, perlu kiranya diadakan beberapa tahap sebagai berikut:
1. Sharring awal tentang keuntungan dan kelebihan membangun media bersama secara berlanjut.
2. Jika dianggap lebih menguntungkan dan bermanfaat, maka perlu diadakan lokakarya antarpersma yang setuju untuk membahas lebih serius.
3. Dalam lokakarya tersebut perlu ditunjuk fasilitator di luar persma yang hadir agar proses analisis lebih obyektif.
4. Dibutuhkan analisis SWOT terkait pendekatan konvensional, yakni penerbitan media sendiri-sendiri dan pendekatan baru ini. Dalam SWOT ini dibutuhkan kejujuran dan keterusterangan dalam berbagi data/ informasi tentang kondisi internal masing-masing persma berikut pengelolaan media mereka.
5. Perlu juga dibahas media bersama itu apakah hanya tiga media yang dicetak menjadi satu, atau sebuah media yang menawarkan pendekatan multidisiplin pada isu-isu tertentu.
6. Jika disepakati, perlu membuat nota kesepahaman sejauh mana kesepakatan-kesepakatan terjadi antarpersma tersebut termasuk juga mekanisme kerja dan sebagainya.
Demikian tawaran lain tentang pembangunan media bersama antarpersma yang mungkin secara teoritik dianggap lebih menguntungkan/ bermanfaat daripada pendekatan konvensional. Kekurangan dan kelebihan pendekatan ini lebih akan terlihat ketika ada beberapa persma yang mencobanya.
Perlu diingat, media bersama ini bukan berarti memerjer persma dan memberangus berbagai aktivitas masing-masing persma, melainkan melakukan proses kerjasama dalam konteks penerbitan media selevel buletin/ majalah untuk menarik sisi keunggulannya pada titik-titik tertentu. Semoga bermanfaat!
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar