
Kuhisap sebatang rokok kuat-kuat. Hisapan demi hisapan sembari menunggu kabar. Waktu nampaknya berjalan demikian lambat. Tentang destinasi perjumpaan. Di sebuah lipatan ruang-waktu, Kemang Pratama, 8 Desember 2010.
Ingin kuyakini dan terus meyakini, kamu akan datang. Bertemu denganku, walau hanya sekejap. Berjabat tangan dengan hormat. Menatap mata dengan lekat. Dan memeluk dengan erat. “Hi, akhirnya kita bertemu”, seruku dan kamu bersamaan.
Ingin kuharap dan terus berharap, kamu lekas sehat. Menyongsong kisah tentang hari esok. Tentang hidup yang saling melintasi. Melintasimu dan kamu melintasiku. Tentang lintasan yang tak pasti dimana ujungnya. Tapi, let it flow. Biarkan saja itu mengalir. Jika benar, alam raya akan memberi jalan. Tanpa kita duga, tanpa kita sangka. Ya, seperti keacakan alam yang mempertemukan kita di episode kehidupan.
Tapi, jangan-jangan alam tidak mengacak. Alam sedang menjawab keinginanku-keinginanmu. Alam mempertemukan kita dalam kemiripan frekuensi pikiran. Tentang imaji-mimpi-asa. Tentang keinginan menjalani hidup dengan penuh pesona. “Tuhan tidak bermain dadu!”, kata orang. Ini bukan kebetulan.
Dalam bagian per bagian ini adalah acak. Namun dalam gambaran besar, ada pola di sana. Chaos theory melihat ada pola dari lemparan dadu. Sebuah keacakan dalam pola. Sebuah pola yang acak. Ya, pola adalah keteraturan. Tentang sesuatu yang berulang.
Berulang kali kamu telepon aku. Berulang kali kutanyakan ihwal dirimu. Berulang kali kita chatting. Berulang kali kita raba, adakah peluang bersama? Ya, berulang kali (pola) meski dengan tempo yang tak tentu (acak).
Ingin kudengar dan terus kudengar suara indahmu. Melantun syair-syair berbahasa Mandarin. Meski ku tak tahu pasti apa terjemahnya. Namun, intonasi-bahasa tubuh mu memberi tahu apa maknanya. Sampai titiknya kamu bilang, “Lagu ini tentang penantian 100 tahun”.
Aku jadi ingat kisah penantian si anjing Hachi, Hachiko tepatnya. Dengan setia ia menunggu tuannya Profesor Eisaburo Ueno selama sembilan tahun. Selalu di waktu itu, waktu pulang kerja, Hachi menunggu di depan stasiun Shibuya – Jepang. Selepas meninggal dibuatlah patung untuk mengenangnya. Dengan terisak kucatat itu dalam benak, kesetiaannya melintasi waktu, 1923-1932. Saat itu kuberjanji, jika sampai di Jepang akan kutengok patung itu. Ingin kukenang makhluk Tuhan itu. Ingin kususuri jejaknya di sekeliling Shibuya Train Station.
Dan di angka ini, delapan atau hachi , kamu mengajakku bersua. Adakah tanda penantian 100 tahun? []
PS:
Attribute to E.S.
1 comments :
wah, mas firdos, bisa mellow juga. hehehe
Posting Komentar