Menghayati Ruang dan Waktu

Oleh: Firdaus Putra

Bus melintas persis beberapa sentimeter di sebelah kanan saya. Dan di kiri, mobil dengan kecepatan yang hampir sama seolah mengimbangi lajunya. Dan saya berada di antara dua makhluk besar itu.

Dalam kecepatan tinggi, saya sempat berpikir bagaimana kacaunya kita menghayati ruang dan waktu. Seharusnya saya menghayati sebuah ruang-waktu. Namun, dalam kecepatan tinggi itu, saya hanya sempat menghayati waktu minus ruang. Ruang berganti sepersekian detik di depan mata. Sehingga sulit mengatakan saya berada “dimana”.

Pada detik ke lima, saya sudah berada di depan mobil dan bus tadi. Saya tak lagi berada di antara ruang yang dihimpit mobil dan bus. Pada detik kesekian saya sudah berada di ruang yang nyaris lengang. Tak ada yang menghimpit lagi, yang ada adalah jalan raya sebagaimana mestinya.

Dalam sebuah perjalanan ruang menjadi kabur. Ruang menjadi serupa slide show yang diputar dengan kecepatan tinggi. Tak ada jeda atau spasi. Melainkan pergantian susul-menyusul antara satu dengan yang lain. Dan akhirnya menjadi tak cukup relevan menyoal ruang.

Dalam perjalanan dengan kecepatan tinggi itu, saya hanya mampu menghayati waktu. Bahwa satu detik dengan lima detik kemudian saya berada satu sampai dua kilometer jauhnya.

Waktu demikian dinamis. Ia terus berubah-bergerak. Waktu selalu meninggalkan “masa lalu”. Dan waktu selalu menyongsong “masa depan”. Kini hanyalah periode sementara dimana sedetik kemudian adalah “masa lalu”.

Sedangkan ruang, demikian statis. Ruang ia adalah momen yang ajeg. Sebuah rumah atau ruangan dalam makna harfiahnya masih akan terus berada di sana. Ia tak berganti secepat itu. Ruang bisa jadi masih sama dengan “dulu” atau “yang akan datang”.

Efeknya, waktu demikian meneror. Sedang ruang adalah momen kenyamanan. Berada di perlintasan waktu, manusia selalu terburu. Sedang di ruang, manusia berada di antara jeda atau spasi. Waktu demikian menghardik. Ia mendikte untuk suatu tindakan di hari ini atau esok. Sedangkan ruang, ia memberikan keleluasaan lebih bagaimana aktivitas dibentuk.

Menghadapi waktu serasa berhadapan dengan pedang algojo. Bahwa “yang lalu” tak akan bisa kembali. Sedang ruang, muncul seperti ibu yang merawat. Ia senantiasa berada di antara kita. Peluang menegosiasi waktu adalah kecil. Sedang ruang cukup luas untuk dinegosiasikan.

Perjalanan dengan kecepatan tinggi ke Brebes, 11 Agustus kemarin membawa saya pada sebuah penghayatan akan waktu. Bahwa sedetik kemudian kami berada jauh dari bus dan mobil itu. Dan sedetik jika terlambat, mungkin kami berada di bawah mereka. Sebuah momen yang benar-benar bisa membunuh dalam makna sebenarnya.

Benar jika pepatah Arab mencatat, “Waktu itu bagaikan pedang”. Karena waktu adalah sebuah momen dengan rentang hitungan detik atau bahkan sepersekian detik. Sedangkan ruang, ia dapat menunggu kita dengan sabar. Meskipun di antara itu, waktu dan ruang adalah kesatuan. Waktu-ruang adalah momentum yang senantiasa hadir bersamaan.

Benarlah bahwa kecepatan merupakan hasil bagi dari jarak per waktu. Dalam kecepatan tinggi, jarak yang sebenarnya merepresentasikan ruang dibelah, dicacah dan dibagi oleh waktu. []
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :