Hal itu terlewat begitu saja. Beberapa kali tersampaikan, tak jua terpahami. Ya, saat itu amarah dan rasa kecewa medominasi. Semua hal adalah kesalahannya. Bukan kesalahanku!
Saat amarah mulai reda, kuperiksa kembali apa-apa yang terucap. Dan itu, begitu memalukan. Tak sepantasnya kukatakan kata-kata kasar semacam itu. Apalagi kepadanya. Seorang perempuan yang begitu halus tutur katanya dan lembut perasaannya.
Pikiran jernih hadir. Dan kuingat kembali sekuel pertengkaran itu. Oh, my God! Aku keterlaluan. Kutimpakan semua kesalahan padanya. Itupun seandainya kesalahan. Atau sesuatu yang menurutku salah dan bisa jadi tidak.
Aku pikir aku pengecut untuk menerima kenyataan. Aku menyalahkannya tanpa mau tahu situasi yang dia alami. Dan itu, saat aku tahu, membuatku malu dan begitu menyesal.
Dalam kejernihan pikiran kubuka beberapa pesan-pendeknya satu bulan lalu. Dan jelaslah fakta di sana, ia mengalami situasi yang sulit. Ia tidak sedang memperumit keadaan. Melainkan ada kondisi obyektif yang membuatnya sulit menemuiku.
Sebenarnya beberapa kali ia sudah sampaikan, namun tak kugubris. Dan pesan-pendek itu, betul-betul jelas isinya; orang tua tak mengizinkan. Dan kalimat itu, ia ulangi pada siang saat kami bertengkar; menunggu izin orang tua.
Sekarang rasa sesal memenuhi hatiku. Tambah saat kuingat ia menangis begitu rupa dan ketakutan bukan main atas kemarahanku. Rasanya, aku telah berbuat dzolim padanya. Aku berbuat yang tak seharusnya ia terima; menyalahkannya.
Tangis itu masih kuingat betul. Tangis seseorang yang begitu mencintaiku dan terkerangkeng keadaan. Sebuah tangis yang tak pasti dialamatkan ke siapa? Ke mana? Ke apa? Tangis yang tak terpermanai yang menempatkan dirinya bagai seorang tersesat di tengah labirin piramida.
Ia tak tahu jalan keluar. Ia berputar-putar di dalamnya. Ia meratap pada dinding. Ia teriak kuat-kuat pada dinding batu itu. Tapi naas, dinding tak bergeming dan ia hanya bisa menunggu saat juru selamat datang.
Ia selalu berharap dalam doa. Terus, terus dan terus berharap. Semoga keadaan akan berubah.
Dan aku, siang itu, tak mendengar ratapannya di dinding piramid. Justru, aku bagaikan dinding di sebelahnya yang menghimpit sedikit demi sedikit posisinya. Betapa bodohnya diriku tak pernah memahami situasinya.
E.C., maafkan kebodohanku. Aku menyesal telah marah dan menyalahkanmu. Dan, kupahami sekarang, itu bukan kesalahanmu! Jangan bersedih dan tetaplah berdoa, semoga keadaan berubah. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar