Pinang itu dipanjat beramai. Ada beberapa hadiah menggantung di ujungnya. Tapi, sekali-kali ini bukan soal hadiah. Tujuh belasan, dengan berbagai renik kegiatan adalah soal waktu publik.
Waktu publik itu mempertemukan segenap warga. 17 Agustus memberikan ruang-waktu bagi warga berkumpul dan bersosialisasi. Dan kumpulan itu mengambil tema “Indonesia Merdeka”. Namun bukan tema itu intinya. Melainkan bagaimana tujuh belasan jadi bagian dari masyarakat dan mampu sejenak mengerem laju aktivitas regular.
Pada tanggal itu, setiap orang serasa keluar dari kebiasaan. Secara “resmi” orang boleh bermain. Boleh tertawa dan bersuka cita tanpa malu-segan. Bahkan, di beberapa desa/ kota, kegiatan didesain sedemikian rupa sehingga menggoyang pakem; sepakbola bapak-bapak memakai daster, lomba masak bapak-bapak dan sebagainya.
Tujuh belasan muncul sebagai lem sosial. Berkumpul antara tua, muda bahkan anak-anak dalam spirit yang sama: merayakan dengan penuh suka cita Indonesia Merdeka. Di sini orang benar-benar merasa bebas. Bebas untuk mengekspresikan kekonyolan dan ketololan dalam sebuah game seru.
Dan kita kembali diingatkan oleh Prof. Huizinga, bahwa bermain itu keluar dari hidup yang biasa. Bermain itu adalah menikmati diri sebagai kanak-kanak yang innocent.
Bermain, masih menurutnya, lebih tua daripada budaya itu sendiri. Jangan-jangan pada awalnya sekedar permainan. Permainan untuk merayakan kemenangan/ kesenangan. Kemudian terpola per tanggal 17 bulan delapan. Dan akhirnya lahir budaya “tujuh belasan”. Sebuah ruang-waktu publik yang mensahkan semua orang untuk bermain, tertawa, senang, riang; Sembari melupakan sebuah pertanyaan penting, “Setelah 66 tahun merdeka, bagaimana nasib kita?” []
Dimuat dalam Buletin Kopkun Corner Edisi 4 Agustus 2011, Indonesia Merdeka [download]
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar