Oleh: Firdaus Putra
Eddington terus menanya efek gravitasi matahari pada alam semesta. Pada 1919 ia naik ke bukit di Afrika Selatan memotret gerhana matahari. Sebelumnya, ilmuwan Inggris ini intensif bersahabat pena dengan Einstein. Hasilnya, temuan Newton dulu kala terbantah oleh teori Einstein. Dan Eddington lah yang membuktikan secara empiris teori ilmuwan Jerman itu.
Itu terjadi karena dia berani keluar dari zona nyaman. Zona nyaman itu sejenis keadaan tanpa rasa cemas. Keluar dari zona nyaman sama halnya siap menghadapi masalah, resiko, beban dan sebagainya yang berujung pada berlipatnya rasa cemas.
Namun, kesiapan menghadapi rasa cemas itulah titik pangkal perubahan. Perubahan, kata ahli manajemen Peter Drucker, selalu munculkan turbulensi/ goncangan. Orang tak suka dengan goncangan. Ada shock di sana-sini. Mulai dari pola, aturan sampai budaya kerja, misalnya. Alergi pada goncangan ini buat orang lebih memilih nempel terus pada pola lama.
Pantikan perubahan seringkali bukan soal ada tidak adanya visi. Visi bisa bejubel banyaknya. Namun soal berani tidaknya hadapi resiko. Leader akhirnya tak sekedar pandai bermimpi. Namun berani realisasikan impian itu.
Untuk buktikan impiannya, Eddington ajukan proposal riset pada Dewan Ilmuwan di universitasnya. Debat sengit dan emosional terjadi. Pasalnya, saat itu Inggris dan Jerman sedang perang. Benar-benar pilihan tak populer, bukan?
Saat pidato pengukuhannya, beberapa ilmuwan senior menyambut sinis. Mereka walk out dari mimbar akademik itu. Sudah terbukti benar pun, Eddington masih terima sinisme. Dan tentu saja, proses perubahan akan penuh dengan hal seperti itu; Tahap-tahap mencemaskan yang memang harus dilalui.
Dan orang muda kita, bukan disiapkan hadapi kecemasan, justru diajari, “Tinggalkan semua beban, ayo jalan. Mumpung kita masih muda, santai aja”, kata Silver Queen lewat Si Kotak Ajaib. []
Sumber: Kopkun Corner Edisi VI November 2011 [klik di sini]
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar