Ihwal Romantis


Oleh: Firdaus Putra

Akan kukisahkan padamu seperti apa itu romantis. Kucatat manuskrip ini di bawah pengaruh Ode To Joy dan Fur Elise-nya Beethoven. Kuputar keras-keras pada earphone hingga penuhi gendang telinga dan seluruh memoriku. Dan sayangnya, aku tetap gagal rangkai metafor untuk sebuah puisi. Aku lebih bisa berpanjang-lebar dalam kata.

Kuakui saat mencatat ini aku betul-betul mabuk kepayang. Ya sebuah momen ekstase tentang perasaan yang tak terpermanai itu. Rasa yang begitu membahagiakan, hingga aku bisa lupakan segala ihwal. Rasa yang membuncah begitu saja. Dan tangan ini, hanya ikuti aliran rasa itu.

Aku bisa rasakan sesyahdu apa Beethoven saat pimpin orkestra mainkan Ode To Joy. Kusaksikan, dalam film itu, dikawal Anna Holtz (Diane Kruger), matanya memejam-membuka ikuti gerak Holtz. Dan tangan itu, begitu lincah menjulur-julurkan tongkat konduktor. Di panggung itu, di depan ribuan mata, ia begitu agung.

Aku lebih suka memadukan ihwal romantis pada kesyahduan dan keagungan. Sedang Google, lebih sering menampilkan gambar erotis, seduktif saat kumasukkan kata “romantis”. Aku rasa itu berbeda antara romantis dan erotis. Romantis menarik perasaan terdalam kita keluar dan membuncah dari dada. Sedang erotis, adalah tampakan artifisialnya saja. Tampakan yang sangat permukaan, badaniah mungkin sifatnya.

Aku selalu syahdu dan takjub memandang sosok berlatar laut luas. Atau sabana hijau dengan biru langit di atasnya. Aku sangat bersyukur, teknologi saat ini memungkinkan orang berbagi momen-momen indah, syahdu dalam hidup mereka. Dan… mencicipi sedikit momen itu, meski hanya lewat gambar atau musik, adalah anugerah yang indah.

Kadang kusengaja selancar di antara mozaik-mozaik kenangan teman di facebook. Coba untuk cicipi remah-remah kenangan mereka. Seringkali remah itu muncul di sosok perempuan. Romantis bagiku akan dekat dengan keanggunan. Pose itu, senyum itu, rambut itu, pakaian itu, latar itu adalah satu kesatuan.

Anggun, bagiku dekat dengan “yang tenang”. Pose yang sederhana. Senyum yang alamiah tak berlebihan. Pakaian nan wajar dan tak harus seksi. Latar yang agung. Itulah keanggunan. Sebuah keadaan yang tenang, yang tak menggodaku berpikir nakal. Sebaliknya, senantiasa mendorongku menerawang jauh pada latar nan agung.

Namun aku ingat juga pada Scott Peck, seorang psikolog, dalam bukunya The Road Less Traveled, ia bilang, jebakan paling menyakitkan adalah cita tentang cinta romantis. Sebagai seorang praktisi yang sering menangani masalah rumah tangga, ia bilang cita ideal cinta romantis sering menghempaskan individu pada lautan penderitaan. Romantisme menurutnya sekedar cita ideal. Ia tak mewujud pada kenyataan.

Boleh jadi benar, karena buku itu lahir dalam konteks masyarakat Amerika. Beberapa film dengan suguhan hampir sama pernah kutonton. Sebut saja, Eat, Pray, Love (2010), dibintangi Julia Roberts. Atau yang lain seperti Lost in Translation (2003), dibintangi duet Bill Murray dan Scarlette Johanson. Ada juga yang cukup vulgar, The New Age (1994). Beberapa film itu tampilkan soal kegersangan ragawi. Sebuah titik nadir banalitas cinta. Dan melalui film itu, misalnya pada Eat, Pray, Love kita diajak kembali mencari rasa terdalam dari cinta kasih.

***
Aku suka dengan teks. Teks lebih mungkin menyampaikan kedalaman rasa dibanding lisan. Aku masih alami zaman dimana cinta-kasih terajut melalui merpati pos. Dan lewat lembaran-lembaran kertas itu, aku bisa lukiskan tentang rasa rindu, tentang betapa sayangnya aku padanya dan kisah-kisah kecil lainnya. Tentu berbeda dengan pesan pendek atau SMS yang seringkali sekedar obrolan terpenggal-penggal. Atau bicara face to face, yang sering buat lidahku kaku dan gagu. Teks, selain musik dan gambar, bagiku adalah wadag untuk rasa.

Dan aku kadang berpikir bahwa bahasa lisanku adalah teks tak tertulis yang kuucapkan. Di sana kata lebih mudah kurangkai. Diksi lebih banyak variasi. Frasa bisa kugubah sesuka hati. Dan melaluinya, bukan hanya pesan yang kusampaikan, namun juga kesan. Pada kesan inilah rasa bermain. Tentang cinta, sayang, rindu, simpati, hormat, benci, jengkel, kecewa dan banyak lainnya.

Namun di beberapa momen, kadang teks tak mampu wakili rasa. Saat seperti itu aku hanya terpekur diam menghayati sang realitas. Tak terkecuali soal momen romantis. Selalu saja ada yang luput untuk kulukiskan tentangnya. Momen itu begitu tak terhingga dalam rasa, hingga diam adalah cara yang pantas untuk menerimanya.

Dan sampai kututup manuskrip ini, tak mampu juga kulukiskan dengan tepat seperti apa itu romantis. Hanya bisa kusuguhkan beberapa kata: syahdu, agung, anggun dan indah. Dan kukira para seniman, penyair lebih mampu menggambarkannya. Dan aku, ingin singgahi Paris atau Venecia agar bisa cicipi seperti apa itu romantis. []

Jika berminat bisa unduh Fur Elise dan Ode To Joy di bawah ini:
http://beemp3.com/download.php?file=9819301&song=Beethoven+-+Fur+Elise (piano)
http://www.4shared.com/get/FiTV1ynf/Ode_to_joy_piano_the_oneill_br.html (piano)

Ilustrasi foto: http://500px.com/photo/10960157 oleh Clay Bass
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

2 comments :

nadiaananda mengatakan...

Makasih,, akhirnya tahu juga deh aku maksudnya.. :)

Mang Uem mengatakan...

i like this