Oleh: Firdaus Putra
Saya mulai sadar tentang hari ulang tahun ketika SMP dulu kala.
Sebelumnya tak pernah ada ucapan atau perayaan khusus. Tentu berbeda
dengan yang sedari kecil ulang tahunnya senantiasa dirayakan keluarga.
Dan semuanya mengarah pada makna bahwa perayaan ulang tahun merupakan
momen sosial, bukan individual. Adanya perayaan mengandaikan adanya
orang lain.
Saya jadi ingat film Into The Wild. Film berdasar kisah nyata ini berakhir tragis. Kisah ini tentang seorang pemuda broken home.
Ia tinggalkan keluarganya, melakukan petualangan, bermukim dari satu ke
komunitas yang lain. Sampai akhirnya ia merasa perlu hidup di Alaska
untuk mencari makna hidup.
Di Alaska, hutan itu, ia hidup sendirian di dalam mobil karavan yang lama ditinggal pemiliknya. Berbekal peralatan survival ia bertahan. Hari-harinya ia isi dengan membaca buku dan menulis diary.
Dan suatu ketika ia sakit. Sendirian di tengah hutan ia cari tumbuhan
yang bisa ia makan. Naasnya, ia salah memilih dan makin membuatnya
sakit. Pada malam itu, ia merasa waktunya sudah habis. Ia buka buku
harian dan tuliskan sesuatu, “Kebahagiaan akan terasa jika dibagi dengan orang lain”. Ia titikkan air mata.
Dan bagi saya, perayaan ulang tahun menjadi paripurna hanya jika dibagi dengan yang lain.
Kebahagiaan baru terasa saat seorang teman, kekasih atau sahabat
berucap selamat. Tanpanya kita merasa sendirian dan kesepian. Momen ini
juga mengingatkan pada kita dimana jabang bayi lahir dengan dikelilingi
sanak keluarga. Sedari awal kita lahir, kita tak sendirian.
Saya mulai merasakan perayaan ulang tahun yang lengkap saat kuliah dulu. Ada roti ulang tahun, ada iringan happy birthday dan
tak ketinggalan kado kejutan. Semuanya nampak mirip di film-film yang
saya tonton. Ya, sebuah imitasi budaya: dari Eropa ke kelas menengah
Indonesia dulu kala dan sampailah ke kampung saya. Proses ini tentu
sudah berjalan ratusan tahun lamanya sejak masa Belanda. Dan, kita
menerimanya sebagai bagian dari budaya kita.
Saya tak akan
berdebat soal orisinalitas, asal-muasal, karena lebih penting bagi saya
adalah maknanya. Momen itu memberi ruang penyegaran pertemanan antar
sahabat. Saling ucap selamat memberi pesan, “Hai… saya ingat kamu, kamu hari ini ulang tahun, bukan? Selamat ya!” Dan syukurlah, saat ini kita hidup di zaman social media. Piranti-piranti seperti facebook, twitter, friendster dan semacamnya dengan baik hati beri tahu siapa saja yang berulang tahun.
Di
sisi lain, momen ini memberi ruang permenungan; Usia kita bertambah,
alih-alih usia kita berkurang. Saya pikir itu soal sudut pandang yang
digunakan. Dan saya lebih suka menyebut usia bertambah daripada
berkurang. Ini seperti tes psikologi dasar, “Adakah gelas di atas meja separuh isi atau separuh kosong?”
Orang
bilang bertambah usia belum tentu makin dewasa. Karena dewasa adalah
soal pilihan. Sedang di sisi lain, soal dimana lingkungan juga
merangsangnya bersikap dewasa. Namun apa sesungguhnya dewasa? Karena
sampai sekarang, di usia saya yang mendekati kepala tiga, saya akan
nampak kembali kanak-kanak saat melihat kucing. Ya, benar. Saya akan
gendong, belai dan ajak dia ngobrol. Saya merasa punya
keintiman tersendiri dengan hewan ini yang membuat saya lupa, saya sudah
dipanggil Om oleh keponakan. Lalu apa itu dewasa?
Dulu
ketika keluarga saya dalam kesulitan ekonomi, saya pernah usulkan untuk
tak lanjutkan kuliah. Saya bilang biarlah saya kerja dan tahun depan
mulai kuliah. Saat itu ibu saya menangis. Saya rasa saat itu saya
bersikap dewasa dengan mengusulkan hal itu. Meskipun kemudian usul itu
tak terwujud dan saya tetap kuliah. Jadi saya pikir dewasa adalah soal
sensitivitas dalam merespon situasi. Sejajar dengan makna berempati pada
keadaan tertentu.
Sedang soal kucing, saya pikir itu
adalah insting infantil (kekanak-kanakan) yang masih mengendap dalam
diri saya. Yang mana ia keluar pada situasi tertentu, saat bertemu
kucing. Dan saya rasa tiap orang punya insting itu. Tengok saja seorang
ayah yang gemar pelihara burung, ikan dan lainnya. Atau juga saat ia
menikmati memancing di sungai. Atau lihatlah tingkah pola orang tua kita
saat reuni dengan sahabat masa mudanya. Saya yakin insting infantil itu
akan merembes keluar. Insting itu tak perlu dihilangkan. Justru itulah
insting yang innocent, polos seperti anak kecil yang membuat hidup kita jadi berwarna dan mempesona.
Di zaman social media ini sebagian orang bersungguh-sungguh memantau wall facebook-nya
untuk melihat berapa banyak dan siapa saja teman, relasi, kolega yang
berucap selamat. Saya khawatir jangan-jangan ini adalah sindrom
narsisme. Sebuah hasrat ingin diperhatikan dan merasa pantas diberi
perhatian karena sedang ulang tahun. Dan saya pikir lepaskan hasrat itu,
biarlah semuanya berjalan alamiah. Tak perlu berharap lebih, cukup
sekedarnya. Karena momen ulang tahun bukan soal berapa banyak atau siapa
saja yang mengucapkan. Melainkan momen dimana ada seorang teman dengan
tulus mendoakan kebaikan untuk kita di masa depan.
Dan
saya termasuk orang yang meyakini bahwa doa adalah energi positif yang
mendukung hidup kita. Doa merupakan pengharapan tentang kebaikan di masa
depan. Soal harapan, ada kisah klasik tentang lilin. Ada empat lilin
tengah berbagi rasa. Lilin Damai, “Aku merasa sendiri, manusia menyia-nyiakanku”. Padamlah lilin itu. “Manusia tak mengenalku lagi. Hidup mereka sungguh gersang”, ujar Lilin Iman. Dan padamlah dia. “Di negeri-negeri lain, orang selalu dekat padaku. Namun di sini, aku tercampakkan”, kata Lilin Cinta dengan menangis. Padamlah dia.
Kemudian lilin terakhir berkata, “Hai,
bukankah dunia dan manusia berjalan begitu rupa? Kadang di atas, kadang
di bawah. Kadang baik, kadang menyimpang. Kadang benar, tak sedikit
salah. Dan aku akan berdoa semoga dunia dan manusia menjadi lebih baik”.
Setelah Lilin Harapan menyelesaikan kalimatnya, cahaya kembali
memancar dari ketiga lilin yang lain. Lilin Harapan memberi energi yang
melampaui masa lalu, kini dan depan. Ketiga masa itu itu ramu jadi satu
dalam sebuah pengharapan “menjadi lebih baik”.
Joyeux Anniversaire,
kata orang Perancis. Selamat ulang tahun. Semoga sehat selalu, sukses
mencapai cita-cita, berkah dalam hidup dan bisa bermanfaat bagi banyak
orang. Semoga Tuhan memberkati. Amien. []
-
Blogger Comment
-
Facebook Comment
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 comments :
Posting Komentar