Vietnam, Kota yang Lusuh (Bagian 3 dari 3)



Oleh: Firdaus Putra
Vietnam, perjalanan terpanjang yang pernah saya lakukan. Saya dan Mas Rahab menempuh paling tidak 24 jam melalui darat. Kami berangkat dari Lao pakai Sleeping Bus. Bus seperti ini kali pertama saya lihat. Tempat duduk itu memanjang dan jadilah tempat tidur.

Sayangnya fasilitas bus ini tak selengkap NCA. Tiket dijual 240 ribu kip atau 25$. Sebelumnya kami cek pesawat, Vientien-Hanoi, terpaut 132$, tentu angka yang signifikan, bukan?

Sebagian besar penumpang adalah penduduk lokal Lao atau Vietnam. Hanya ada 8 turis asing, dua di antaranya adalah kami. Kami duduk dekat dengan mereka semua. Lelaki depan kami dari Irish Island, part of UK. Di depannya ada Mira dan temannya, sarjana bisnis dari Frankfurt, Jerman. Sedang sebelah kami, laki-laki dan perempuan, dari Australia. Saya tak yakin mereka couple, karena tak terlihat romantika mereka berdua. Lalu di belakang kami ada tiga pemuda Chili.


Perjalanan malam itu dimulai pukul tujuh tepat. Kami lalui hutan dan semak-semak bagai jalan raya trans di Sumatera. Pukul satu dini hari kami sampai di perbatasan Lao-Vietnam. Saya keluar, Mas Rahab tidur. Udaranya begitu dingin. Beberapa terbangun untuk buang air kecil atau sekedar merokok.

Pukul enam pagi kami dibangunkan petugas bus untuk urus imigrasi. Dengan malas-malasan saya bangun, Mas Rahab sudah 30 menit lalu di luar. Perbatasan itu begitu sempurna, diapit dua bukit dan jalan sepenuhnya ditutup dengan palang pintu besi. Kantor buka dan kami urus imigrasi. Tak banyak pertanyaan dan mudah.

Ternyata bus kami sudah di pintu masuk Vietnam. Hanya ada delapan orang turis asing yang tersisa, termasuk saya. Kami jalan kaki sejauh 5 km ke sana. Di perjalanan inilah kami saling sapa. Sampai saya bilang ke pemuda Australia, "It is easy for you, because your step is long. And me, is difficult", dia pun tertawa melihat saya terengah-engah di tengah jalan. Lalu saya kembali lempar joke ke kelompok kami, "We are like illegal immigrant, walking crossing the border".

Di perbatasan Vietnam, petugas imigrasi nampak tegas. Dengan seragam coklat-hijau itu, mereka nampak kurang ramah. Kami kaget, tas kami dikeluarkan semua dari bagasi bus. Petugas bus yang tak bisa bahasa Inggris bingung saat kami tanya kenapa ini terjadi. Ternyata semua tas harus dipindai. Nampaknya kebijakan imigrasi Vietnam lebih ketat di banding Lao. Bus yang kami tumpangi di periksa bagian dalamnya. Anjing menyalak-nyalak membuat tak nyaman. Dan, tak terjadi apa-apa.

Sebelum berangkat, petugas imigran masuk ke bus dan memeriksa satu per satu paspor penumpang. Tak hanya itu, mereka juga periksa kolong bawah tempat tidur kami. Saya pikir mungkin sering terjadi penyelundupan orang atau barang antar negara ini.

Waktu banyak habis untuk tidur. Sekali bangun saat bus berhenti di rumah makan atau toilet. Namun turis asing selain kami itu sangat menarik, semuanya membaca buku. Pemuda Irish membaca ebooknya di tablet. Salah satu pemuda Chili nampaknya menulis catatan perjalanan di buku losleaf. Dan dialah yang menginspirasi saya untuk menulis catatan perjalanan di Blackberry.

Di perjalanan saya dan Mas Rahab banyak diskusi soal pertumbuhan ekonomi Vietnam. Trennya memang naik pada tahun-tahun terakhir ini. Namun jejak-jejak masa tak enak Vietnam masih membekas di bangunan rumah-toko penduduk. Semuanya terlihat lusuh bagai ditinggal pergi 5-10 tahun.

Tak banyak warna menawan di sana, rumah, bangunan, gedung itu monoton dengan warna kusam. Sedikit kuning, biru, merah, oranye. Hanya keindahan hijau yang terlihat di hamparan padi. Selebihnya abu-abu warna semen pada tembok.

Pukul 11.30 kami sarapan. Saya dan Mas Rahab pesan rice and fish. Harganya 60 ribu dong. Di samping kami, Mira dan temannya, tanya ini-itu soal harga. Di tangannya ada beberapa lembar 5 dan 1 dolar. Nampaknya mereka selektif dan berhemat soal makan. Saya duga karena mereka akan melakukan backpacker di 5 negara beruntun: Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia dan Singapura.

Sarapan pagi itu saya lahap habis. Selain karena lapar juga karena rasanya seperti masakan Indonesia.
Bersambung … (Sambil mengingat-ingat. Hehehe.)

Sebelumnya:
"Laos, Mekong yang Kering"
"Thailand, Dini Hari Ramai"
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

1 comments :

Eva mengatakan...

asti sangat menyenangkan sekali gan,, jadi pengen trafeller juga,,