Oleh: Firdaus Putra
There is nothing
permanent except change, kata Heraclitus, 500 tahun SM. Menariknya, tak
semua perubahan berimbas baik. Namun tanpa perubahan, apa yang baik tak mungkin
terwujud. Itulah premis soal perubahan. Ada resiko di sana. Bukan semata
slogan, melainkan kalkulasi kenyataan dan harapan.
Persoalannya, banyak orang lebih suka kemapanan. Perubahan
jadi sejenis ancaman atas zona nyaman. Karena memang begitulah perubahan, tak selalu
janjikan keselamatan. Ia tak mewujud bagai Ratu Adil, melainkan laku yang butuh
keberanian dan ketekunan. Keberanian pada saat awal melemparnya dan ketekunan
untuk mewujudkan sesuai tahap-tahapnya.
Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya, Re-Code Your Change DNA,
beri rambu-rambu soal ini. Katanya orang harus berpikir terbuka terhadap
pengalaman atau hal-hal baru (openness to experience). Selain pikiran, juga
harus ada keterbukaan hati dan rasa (conscientiousness). Lalu ia sarankan soal
keterbukaan terhadap orang lain, kebersamaan dan hubungan sosial (extroversion).
Kemudian dia menambahkan, perubahan butuh sikap agreeableness.
Yakni sikap terbuka pada kesepakatan, tidak melulu memilih konflik. Dan
terakhir, ia katakan bahwa kita perlu terbuka pada tekanan (neuroticism).
Justru seringkali tekanan membuat energi kreatif keluar. Ada plesetan yang
bilang, “Iso jalaran songko kepepet”. Bisa jadi ada benarnya.
Pada level individu, seringkali perubahan berjalan alamiah,
nampak mengalir begitu saja. Sampai-sampai, ia lupa dirinya sudah berubah.
Makanya orang butuh cermin. Cermin itu bisa sahabat pun musuh.
Sedang di level lembaga, biasanya ada mekanisme untuk
lakukan perubahan. Misalnya saja, Pemilu, sistem demokrasi dan lainnya.
Di sisi lain, ikhtiar perubahan butuh ke-mauan. Bisa jadi
orang mampu, tapi tidak mau. Ini soal krenteg atau niat yang mana tahap sulit
selanjutnya adalah soal komitmen dan konsistensi. Change, memang tidak mudah,
tapi harus! []
Diterbitkan di Kopkun Corner Edisi 10, April 2012
0 comments :
Posting Komentar