Oleh: Firdaus Putra
Di antara pemimpin perdana negeri ini, Bung Hatta adalah
seorang pejuang sekaligus pemikir. Tak sedikit buku yang ia tulis. Salah
satunya soal “Pengantar ke Jalan Ekonomi Sosiologi”. Dulu buku ini adalah
pegangan mata kuliah Sosiologi Ekonomi.
Memang beliau sangat concern pada masalah pendidikan. Jika
masih ingat, salah satu debat antara beliau dengan Bung Karno, juga pada isu
itu. Bung Hatta ingin rakyat cerdas dulu baru merdeka. Sebaliknya, Bung Karno
bilang, yang penting merdeka dulu baru upayakan pendidikan untuk mereka.
Sampai titiknya, Bung Hatta juga pernah bangun gerakan
politis yang bermuara pada Pendidikan Nasional Indonesia alias PNI. Dalam
pandangannya saat itu, partai bukan semata soal politik, tapi juga media
pendidikan. Serpihan-serpihan ini menunjukkan komitmen beliau pada pendidikan
bukan angin lalu.
Sedang di koperasi, langgamnya pun sama. Bung Hatta pernah
bilang, “Bukan koperasi namanya jika tak ada pendidikan perkoperasian di
dalamnya”. Suara ini sudah muncul sebelum republik ini jejeg berdiri. Pandangan
ini senafas dengan bangunan Rochdale 1844 sebagai koperasi pertama yang
menyaratkan adanya pendidikan.
Kemudian soal pendidikan, diteguhkan kembali pada sidang ICA
di Inggris 1995, yang menjadikan pendidikan sebagai prinsip kelima koperasi.
Pertanyaanya mengapa?
Jika disederhanakan, nalar koperasi itu adalah rem dari
kerakusan nalar kapitalistik. Orang didorong untuk tolong-menolong. Orang juga
diajarkan untuk berdisiplin diri menata masa depan. Jika boleh dikata, hal-hal
itu tak terlalu beda dengan seruan agama (minus doktrin Ketuhanan).
Koperasi beroperasi di atas doktrin adiluhung. Dan di atas
ajaran-ajaran yang mendorong kebaikan bagi semua orang. Sebuah greget untuk
jadi “malaikat”.
Lantas bagaimana agar ajaran itu membumi? Ya, benar kata Bung Hatta, pendidikan kuncinya! []
Diterbitkan di Buletin Kopkun Corner Edisi 11 Mei 2012
0 comments :
Posting Komentar