Akar sejarah Hari Ibu di Indonesia lebih menarik dibanding
di Eropa, misalnya. Di sebagian Eropa, Mother’s Day merupakan pengaruh dari
tradisi Yunani pada pemujaan Dewi Rhea, ibu segala dewa.
Sedang di Indonesia, sejarah hari ibu terkait erat dengan
perjuangan perempuan dalam kemerdekaan republik ini. Sampai akhirnya pada 1959,
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden No. 316, bahwa 22 Desember sebagai Hari
Ibu.
Sedari awal tonggak peringatan Hari Ibu di Indonesia
bernuansa publik, bentuk penghormatan terhadap para pahlawan seperti: Cut Nyak Dhien, Kartini, Maramis,
Sartika dan sebagainya .
Ini berbeda dengan Eropa yang lebih bernuansa mitis dan sarat pemujaan.
“Ibu” dalam momen itu lebih ditempatkan sebagai aktor sosial
daripada balutan romantisme penuh kasih sayang. Sialnya, banyak peringatan
salah kaprah yang menempatkan “Ibu” sebagai sosok biologis; Manusia yang
melahirkan anak, menyusuinya, mengelola rumah tangga dan seterusnya.
Dalam kesejarahan itu, sebenarnya peringatan Hari Ibu tak
berbeda dengan Hari Pahlawan. Sosok yang terlibat aktif dalam proses
pembentukan dan pembangunan bangsa.
Lucunya, Hari Ibu saat ini sama dengan lomba masak dan macak.
Peran penting “Ibu” sebagai aktor sosial justru dipasung dalam peran-peran
rumah tangga.
Pada 22 Desember yang akan datang itu, saya lebih tertarik
menonton ulang Veronica Guerin daripada Mom Never Dies. Film yang pertama
berkisah jurnalis perempuan (Guerin) yang memerangi bandar narkotika di Irish,
Ireland. Sedang film kedua, drama Korea yang menggambarkan sosok ibu (Miss Lee)
yang kesepian di akhir hidupnya.
Kedua film itu bisa membuat penonton menitikkan air mata.
Bedanya, yang pertama kita jadi haru pada kiprah Guerin yang membuatnya
terbunuh saat tugas. Sedang yang kedua, kita akan haru pada keluasan hati
seorang ibu.
Diterbitkan di Buletin Kopkun Corner Edisi 18 Desember 2012
0 comments :
Posting Komentar