Oleh: Firdaus Putra
Jika ditanya, “Siapa kamu?” banyak orang menjawab, “orang
Jawa”, “orang Kristen”, “aktivis”, “mahasiswa” dan lainnya. Sedikit yang dengan
spontan menjawab “orang Indonesia”.
Pertanyaan itu memanggil ingatan tentang kedirian seseorang.
Dan banyak orang tentu lebih ingat pada sesuatu “yang dekat” dengan dirinya.
Ingatan tentang suku, agama, jenis kelamin atau kelas sosial tertentu. Dan
“Indonesia”, nampaknya sesuatu “yang jauh”.
Persoalannya Chris Barker bilang, identitas itu tak terberi
begitu saja, melainkan diciptakan. Identitas tak seperti ketika ayah-ibu
mewariskan tanah-rumah-deposito pada kita, misalnya. Namun sebuah aktivitas
aktif untuk mengingat diri kita bagian dari kelompok tertentu.
Modus seperti itulah yang bisa menjelaskan mengapa keragaman
suku, bahasa dan budaya bisa diikat dalam satu bangsa: Indonesia. Ben Anderson
menyebut ihwal itu sebagai imagined community atau “komunitas yang terbayang”.
Artinya, agar bisa menjawab “Siapa kamu?”, perlulah secara
sadar kita membayangkan Indonesia. Ia hidup dalam ingatan, yang karenanya tak
menutup kemungkinan meluntur.
Bayangkan bagaimana ironisnya bila “Siapa kamu?”, seorang
cewek menjawab, “Korean”. Lantaran begitu melekatnya ingatan tentang Korea
melalui drama-drama yang ia tonton.
Sekitar 20 tahun lalu, pemerintah Korea membangun strategi
khusus agar budaya Korea ekspansif ke negeri-negeri lain. Persoalannya bukan
bagaimana menutup diri secara naif dalam kondisi itu. Melainkan bagaimana agar
ingatan sebagai bangsa mengendap dalam kesadaran kita.
Mari kita tengok momen 28 Oktober. Mereka mengaku: bertanah
air Indonesia, berbangsa Indonesia dan menjunjung bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan.
Kita lihat identitas saat itu bekerja efektif melalui modus
“pengakuan”. Dan pengakuan adalah keinsyafan dan kesukarelaan untuk menerima
sesuatu. Jadi, siapa kamu? []
Diterbitkan dalam Buletin Kopkun Corner Edisi 16 Oktober
2012
0 comments :
Posting Komentar