Tentang Pengabdian

Oleh: Firdaus Putra

Saya lebih suka menyebutnya dengan “pengabdian” daripada “pemberdayaan”. Yang pertama mengisyaratkan bahwa pengabdi itu “lebih rendah” daripada yang diabdi. Yang diabdi tentu saja yang saya maksud adalah masyarakat. Oleh karenanya jadi benar, bahwa posisi masyarakat “lebih tinggi” daripada individu.                    

Sedangkan “pemberdayaan” mengesankan bahwa masyarakat itu “tak berdaya”. Dan posisi pemberdaya tentu saja jadinya lebih tinggi. Kalau kita translasi ke bahasa Inggris, jadilah pemberdayaan itu dari “yang powerfull kepada yang powerless”.                                                      

Nah dari kesadaran tentang posisi itu, proses selanjutnya adalah bagaimana mengenali masyarakat. Bagi yang merasa “lebih tinggi/ lebih tahu” akan membuat program ini-itu buat masyarakat. Namun boleh jadi masyarakat tak meresponnya dengan maksimal. Alhasil program itu mandek.                                                                                         
Saya pernah lihat kasus seperti itu. Di sebuah desa seorang dosen membangun ruang baca untuk masyarakat. Yang bersangkutan beri fasilitas ini-itu, program ini-itu. Sampai lima tahun, program tak berjalan. Ia bingung, kenapa program itu tak direspon masyarakat.                  

Dengan naif dia “salahkan” masyarakat. Menurutnya masyarakat desa itu belum moderen sehingga tak bisa merespon program seperti itu. Atau jangan-jangan, dosen itulah yang salah mengenali kebutuhan masyarakat?              
         
Ya. Salah mengenali kebutuhan itu sangat mungkin terjadi. Berangkat dari ruang kampus, yang bersangkutan membawa teori ini-itu untuk diujicobakan. Dan gagal!                      

Sebaliknya, pengabdi yang baik adalah yang memahami kebutuhan masyarakat. Langkah pertama tak perlu bicara soal teori dari bangku kampus. Sebaliknya banyak mendengarkan cerita masyarakat sendiri. Dari sanalah potret masalah muncul.                                            

Ini yang kita sebut dengan menghormati dan menghargai kearifan serta pengetahuan lokal. Tak bisa mentang-mentang kita jebolan bangku kuliah, lantas sok tahu bahwa masyarakat harus ini dan itu. Jika seperti itu, pastilah tak akan berhasil! []

Diterbitkan di Buletin Kopkun Corner Edisi 20 Februari 2013
    
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :