Saya lebih suka menyebutnya dengan “pengabdian” daripada
“pemberdayaan”. Yang pertama mengisyaratkan bahwa pengabdi itu “lebih rendah”
daripada yang diabdi. Yang diabdi tentu saja yang saya maksud adalah
masyarakat. Oleh karenanya jadi benar, bahwa posisi masyarakat “lebih tinggi”
daripada individu.
Sedangkan “pemberdayaan” mengesankan bahwa masyarakat itu
“tak berdaya”. Dan posisi pemberdaya tentu saja jadinya lebih tinggi. Kalau
kita translasi ke bahasa Inggris, jadilah pemberdayaan itu dari “yang powerfull
kepada yang powerless”.
Nah dari kesadaran tentang posisi itu, proses selanjutnya
adalah bagaimana mengenali masyarakat. Bagi yang merasa “lebih tinggi/ lebih
tahu” akan membuat program ini-itu buat masyarakat. Namun boleh jadi masyarakat
tak meresponnya dengan maksimal. Alhasil program itu mandek.
Saya pernah lihat kasus seperti itu. Di sebuah desa seorang
dosen membangun ruang baca untuk masyarakat. Yang bersangkutan beri fasilitas
ini-itu, program ini-itu. Sampai lima tahun, program tak berjalan. Ia bingung,
kenapa program itu tak direspon masyarakat.
Dengan naif dia “salahkan” masyarakat. Menurutnya masyarakat
desa itu belum moderen sehingga tak bisa merespon program seperti itu. Atau
jangan-jangan, dosen itulah yang salah mengenali kebutuhan masyarakat?
Ya. Salah mengenali kebutuhan itu sangat mungkin terjadi.
Berangkat dari ruang kampus, yang bersangkutan membawa teori ini-itu untuk
diujicobakan. Dan gagal!
Sebaliknya, pengabdi yang baik adalah yang memahami
kebutuhan masyarakat. Langkah pertama tak perlu bicara soal teori dari bangku
kampus. Sebaliknya banyak mendengarkan cerita masyarakat sendiri. Dari sanalah
potret masalah muncul.
Ini yang kita sebut dengan menghormati dan menghargai kearifan serta pengetahuan lokal. Tak bisa mentang-mentang kita jebolan bangku kuliah, lantas sok tahu bahwa masyarakat harus ini dan itu. Jika seperti itu, pastilah tak akan berhasil! []
Diterbitkan di Buletin Kopkun Corner Edisi 20 Februari 2013
0 comments :
Posting Komentar