The Day of Music

Oleh: Firdaus Putra

Saya akan ajak Anda ke era 70an dimana Yesterday, Let it be jadi lagu favorit masa itu. Era itu kita kenal sebagai New Age. Era dimana individualisme akut dan masyarakat mengalami kegersangan secara sosial pun spiritual. Dan The Beatles, pelantun Yesterday itu, adalah anak zaman New Age.    
                                                   
Lagu-lagunya bernuansa kebajikan, spiritualisme dan reflektif. Memang betul, mereka ingin mengembalikan kegairahan hidup pada kedalaman makna. Bukan sekedar lagu pop picisan.         
                                                        
Di Indonesia boleh jadi visi The Beatles paralel dengan lantunan Ebiet G. Ade, Iwan Fals, Efek Rumah Kaca dan lainnya. Lantunan mereka tentu jauh berbeda dengan band-band popular kenamaan hari ini; Yang meminjam bahasanya Efek Rumah Kaca, “Cinta Melulu”.                               

Ya, sebagian besar lagu popular bolak-balik hanya bicara soal cinta. Cinta yang romantis, yang melo, yang tragis, yang nakal. Dan pendengarnya, jadi ikut-ikutan lebay. Ada semacam citra cinta yang mereka kejar. Cinta bertabur bunga, berwarna pink dan beraroma mawar. 

Tentu ini berbeda dengan misalnya lagu-lagu Jepang yang beraliran naturalisme. Lantunan musiknya membawa kita pada kesadaran mikro dan makro kosmos. Pada harmoni alam semesta yang mana manusia hanya bagian kecil darinya.                                                                 

Itu juga berbeda dengan Imagine yang masyhur itu. Lennon, melalui Imagine-nya menancapkan visi tentang
kearifan hidup, spiritualisme dan harmoni.                  

Ini memang soal selera atau tren yang berkembang di masyarakat. Masalahnya tren tak pernah muncul begitu saja. Tren ibarat potongan kain yang dibentuk penjahitnya.    

Siapa penjahit itu? Ya, para production house mayor label. Jadilah tren senantiasa menjajakan kelenakan, keasyikan dan kenikmatan. Agar orang mau dengar, mau beli dan industri jalan terus.                       

Soal The Beatles, sedikit orang tahu bahwa ada Adorno di belakangnya. Pemikir dari Frankfurt School Jerman itu turut membidani lahirnya karya besar mereka. Jadilah karya itu meaningfull, penuh makna. Tidak seperti hari ini, dangkal dan banal. []         

Diterbitkan di Buletin Kopkun Corner Edisi 21 Maret 2013 
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :