Momen 45 membuat Indonesia bebas dari penjajahan, penindasan, kekangan, rasa takut dan seterusnya. Alhasil, bangsa ini menjadi bebas untuk “Membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; Memajukan kesejahteraan umum; Mencerdaskan kehidupan bangsa; Dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Dan sekarang Indonesia memasuki era 2.0. Kebebasan tak lagi
semewah masa Medan Prijaji - 1907, surat kabar nasional pertama Indonesia. Dan
boleh jadi, kita tak lagi ingat soal momen kebebasan itu. Sebuah momen yang
harus diraih dengan otak, otot, keringat dan darah, jiwa dan raga.
Di era 2.0 ini, teknologi informasi menjadi piranti bagi
kebebasan. Kebebasan menjadi tersebar ke seluruh kehidupan. Lihat saja, dengan gadget
orang bisa akses internet kapan dan di mana pun. Kebebasan hadir dalam tiap
detik dan tiap senti kehidupan.
Dan barang siapa tak bisa hargai dengan pantas momen ini,
perlulah ia pergi ke China untuk merasakan pengalaman pembatasan informasi oleh
negara. Ya benar, belajarlah ke negeri China, agar sepulangnya kita
jadi ingat bahwa kebebasan itu perlu diperjuangkan.
Sampai ujungnya kita perlu khawatir, jangan-jangan ada titik
balik dalam kebebasan? Baudrillard pernah mengingatkan, “Makin banyak
informasi, makin miskin makna”. Lihat saja jepretan kamera digital atau hape
kita tak sebermakna jepretan pada rol film. Banyaknya teman fesbuk kita tak
seerat teman nongkrong.
Jika benar, coba ubahlah postulat itu menjadi, "Makin terbiasa hidup dalam kebebasan, makin tak terasa kebebasan adalah bermakna". Pada momen Agustus ini, berapa banyak dari kita bisa hayati apa itu kemerdekaan. Kamu bisa? []
Diterbitkan dalam Buletin Kopkun Corner Edisi 14 Agustus 2012
0 comments :
Posting Komentar