Oleh: Firdaus
Putra, S.Sos.
Adakah koperasi sebuah ideologi? Atau koperasi merupakan
perwujudan kasat mata ideologi tertentu? Dan masihkah relevan menyoal ideologi
setelah beberapa dekade lalu Daniel Bell menganggap ideologi sudah mati?
Rangkaian pertanyaan ini pantas kita ajukan sejauh kita definisikan ideologi
sebagai perangkat nilai, cita-cita tatanan masyarakat yang hendak dicapai.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga berfungsi membangun cara baca yang lebih
komprehensif terkait permasalahan koperasi, negara dan kapitalisme.
Sejarah dan
Ideologi Koperasi
Moda produksi kooperatif, yang meletakkan nilai kerjasama
sebagai fundamennya, sebenarnya sudah mulai muncul di abad 17. Misalnya John
Curl dalam Fol All The People,
menemukan moda produksi kooperatif di Amerika pada abad itu. Namun banyak
praktisi dan ilmuwan melihat The Rochdale Pioneer di Inggris sebagai koperasi
moderen pertama di dunia pada abad 18. Moderen dalam konteks ini maksudnya moda
produksi kooperatif dikelola dengan cara-cara moderen: administrasi, pencatatan
keuangan, pembangunan organisasi dan seterusnya.
Pada abad 18, Robert Owen, Louis Blanc, Saint Simon, Proudhon
dan tokoh lainnya, di waktu dan tempat berbeda, melakukan eksperimen sosial
tertentu. Sebutlah Owen, pemilik pabrik dan borjuis di masanya, membangun New
Harmony dan New Lanark di Amerika (1825-1827). Owen melihat kondisi buruh yang
sudah kerja keras 16 jam sehari tak juga sejahtera.
Kondisi kemiskinan dan eksploitatif itu juga direkam oleh
David Lafargue dalam bukunya Hak untuk
Malas. Lafargue mengisahkan bagaimana buruh bekerja dari pagi sampai malam
dalam kondisi pabrik yang tak pantas. Bagi perempuannya, mereka tak bisa
merawat anak-anaknya dengan baik. Kekurangan makan dan pakaian sering terjadi
meski di musim dingin. Bahkan tak jarang mereka harus jalan kaki puluhan
kilometer pulang ke rumahnya menerobos salju.
Itulah gambaran singkat kapitalisme jilid perdana saat
revolusi industri berlangsung. Melihat kondisi itu, Owen melihat akar
masalahnya terletak pada kepemilikan pabrik dan sistem kerja. Bertahap Owen
mengubah kebijakan jam kerja menjadi 10-11 jam sehari. Ia juga mendirikan
sekolah bagi anak-anak buruh yang bekerja di pabriknya. Sampai titiknya, ia
menghendaki buruh ikut memiliki pabriknya. Gagasan radikalnya ditentang
pemerintah dan pemilik pabrik lainnya. Akhirnya eksperimen Owen menemukan jalan
buntu. Pada titik itulah, Owen sudah menancapkan visi kehidupan yang sama
sekali baru: sosialisme. Yang mana salah satu premisnya adalah pemilikan pabrik
(alat produksi) secara kolektif.
Pada 1844, ketika industri melahirkan PHK, 28 buruh
pabrik berinisiatif mendirikan toko bersama. Toko kelontong yang menjual
sembako itu dikelola dengan cara koperasi. Toko itulah yang dikenal sebagai The
Rochdale Pioneer, koperasi konsumsi pertama di dunia. Tentu saja mereka
terilhami oleh eksperimen Owen tentang moda produksi kolektif. Pada pidato di
forum anggota, Ketua Rochdale saat itu mengapresiasi pengurus lainnya dengan
mengatakan, “Kalian adalah seorang
kooperator dan sosialis!”.
Gagasan dan praktik Owenian tersebut kemudian tersebar ke
berbagai negara, termasuk Jerman, Uni Soviet dan seterusnya. Jadilah Robert
Owen dikenal sebagai Bapak Sosialisme, Bapak Koperasi dan Bapak Serikat Buruh.
Dan hal itu tercatat sebagai tonggak sejarah perkembangan gerakan koperasi
sekaligus serikat buruh.
Dengan melacak sejarah koperasi sebagaimana di atas, maka
bisa kita simpulkan bahwa ideologi koperasi adalah sosialisme. Namun ada
sebagian orang menganggap bahwa koperasi merupakan ideologi terpisah yang
berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme. Tentu saja hal itu keliru. Koperasi
merupakan moda produksi/ konsumsi anak kandung dari ideologi sosialisme.
Sebagai pembanding, Perseroan Terbatas (PT) merupakan anak kandung ideologi
kapitalisme.
Deideologisasi
Koperasi
Sebagai anak kandung sosialisme, maka organisasi-usaha
koperasi seharusnya berlandaskan nilai-nilai sosialisme. Dalam era moderen, International Cooperative Alliance (ICA)
mendefinisikan nilai itu seperti: keadilan, menolong diri sendiri,
swa-tanggungjawab, demokrasi, persamaan dan persaudaraan. Nilai tersebut
kemudian diturunkan menjadi prinsip tujuh koperasi: 1. Keanggotaan bersifat
terbuka dan sukarela; 2. Pengendalian secara demokratis oleh anggota; 3.
Partisipasi ekonomi anggota; 4. Otonomi dan kebebasan; 5. Pendidikan, pelatihan
dan informasi; 6. Kerjasama antarkoperasi; 7. Kepedulian terhadap komunitas.
Tujuh prinsip tersebut yang memberi kerangka operasional koperasi.
Lalu bagaimana realitasnya? Sebagian besar koperasi di
Indonesia dan sangat mungkin di beberapa negara lainnya, mengenali koperasi
hanya sebagai badan usaha. Cara kerja koperasi pun nampak seperti perusahaan
swasta kapitalistik yang berorientasi pada pemupukan profit. Bahkan banyak
badan hukum koperasi disalahgunakan sebagai usaha perseorangan. Sampai titiknya
para praktisi koperasi tak bisa membedakan secara tajam antara koperasi yang
bervisi sosialistik dengan misalnya PT yang bervisi kapitalistik.
Mengapa dan sejak kapan hal itu terjadi? Menariknya sejak
perkembangan awal koperasi di Indonesia, Soekarno pernah mencurigai gerakan
koperasi tersandera dalam sistem kapitalisme. Ia mengatakan, “Zich nestelen in het kapitalisme”. Gerakan
koperasi tak lagi menjadi perwujudan ideologi sosialisme justru sebaliknya
bersarang nyaman dalam kapitalisme.
Sehingga tak mengherankan manakala hari ini kita lihat
koperasi semata sebagai badan usaha. Ibnoe Soedjono dalam buku kecilnya, Membangun Koperasi Mandiri dalam Koridor
Jatidiri, juga melihat kelemahan koperasi saat ini yang lebih menonjol sebagai
perusahaan semata daripada perhimpunan. Alhasil, ideologi itu hilang dan
menyisakan bentuk perusahannya saja. Seperti raga yang ditinggalkan jiwanya,
terjadilah apa yang namanya deideologisasi koperasi.
Gerakan koperasi Indonesia mengalami deideologisasi
secara akut pada zaman Soeharto. Dimana koperasi digunakan pemerintah sebagai
alat negara. Sebagai alat negara, maka koperasi harus dinetralkan dari dimensi
ideologisnya. Mengingat dimensi ideologi koperasi (baca: sosialisme) akan
membawa pada aktivitas ideologis yang bermuara pada cita-cita sosio-politik dan
ekonomi-politik yang lebih luas. Dan tentu saja hal itu akan berbenturan dengan
Pancasila a la Soeharto yang
berorientasi pada pembangunan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi, bukan
pemerataan. Koperasi yang netral tersebut kemudian diisi dengan nilai yang
sifatnya lebih utilitarian: kesejahteraan anggota.
Alhasil, gerakan koperasi di Indonesia tidak mempunyai
perspektif makro ekonomi-politik terkait dengan kapitalisme yang menggurita dan
eksploitatif. Koperasi yang netral tersebut dikerdilkan hanya menyoal
kesejahteraan anggota. Dan pada titik itu, koperasi menjadi aktor yang
memoderasi eksploitasi di perusahaan-perusahaan swasta/ negara dengan munculnya
koperasi fungsional seperti koperasi karyawan, koperasi pegawai dan sebagainya.
Efek eksploitasi sistem kapitalisme diredam dengan membangun koperasi
simpan-pinjam: yang anggotanya bisa menutup masalah ketidaksejahteraan (gaji
rendah) dengan cara kredit. Koperasi konsumsi: yang anggotanya bisa mencukupi
kebutuhan dengan harga lebih murah bahkan bisa hutang terlebih dulu.
Koperasi yang netral tersebut menjadi abai terhadap
sistem besar kapitalisme dan apa-apa yang diusahakan justru menjadi bemper dari
efek eksploitasi sistem. Tak mengherankan jika sebagian gerakan kiri dan/ atau
Marxis, melihat secara sinis gerakan koperasi. Dengan layanan-layanan yang
hanya berorientasi pada kesejahteraan anggota, koperasi justru telah menjadi
katup-katup penyelamat kapitalisme.
Lantas bagaimana ideologi koperasi versi ICA? Saya
melihat bahwa saat ICA mendefinisikan koperasi sebagai kumpulan orang guna
mencukupi aspirasi dan kebutuhan sosio-ekonomi-budaya anggotanya, juga terjebak
pada proses deideologisasi. Mengingat cita-cita ideologi seharusnya tak hanya
pada ruang sosio-ekonomi-budaya semata, melainkan juga wilayah sosio-politik
dan juga ekonomi-politik. Melalui definisi tersebut, ICA mengkerdilkan medan
perjuangan koperasi. ICA membatasi ruang gerak koperasi dan akhirnya membuat
tumpul gerakan koperasi. Tak ada lagi semangat sosialisme yang paripurna dan
hal itu terjadi melalui demarkasi domain sosio-ekonomi dengan domain
ekonomi-politik. Jadilah lagi-lagi koperasi sebagai sekedar alat netral tak ubahnya
seperti rasio kritis yang dilepas dari visi emansipasi dan berubah menjadi
rasio instrumental seperti telisik Adorno dan Horkheimer, Madzhab Frankfurt.
Tentu saja hal ini bisa dimaklumi dengan melihat ICA
sebagai organisasi induk koperasi dunia yang beranggotakan lintas negara. Di
sisi lain sebagai organisasi masyarakat sipil yang keanggotaan individualnya
(anggota koperasi seluruh dunia) mencapai 3 milyar penduduk dunia. Dengan
melihat kapasitas organisasi sebesar itu, pasti terjadi peraturangan ideologi
dan kepentingan antar negara anggotanya. Dan tentu saja pilihan yang rasional
adalah dengan menetralkan koperasi. Sehingga sedikit saya jumpai
publikasi-publikasi ICA yang mengupas sejarah dan akar ideologi koperasi secara
utuh. Misalnya saja, dalam situs resmi ICA, tidak satupun kata sosialisme
muncul, bahkan ketika membahas Robert Owen.
Rekonstruksi
Ideologi Koperasi
Untuk keluar dari jebakan deideologisasi tersebut, kita
perlu merekonstruksi ideologi koperasi agar berlandaskan pada visi sosialisme
paripurna. Perlu kita ingat, bahwa akar sosialisme merupakan perdebatan panjang
antara dua kubu utama. Pertama, kubu Sosialisme Utopis atau Fabian yang
didalamnya termasuk Owen, Proudhon, Simon dan seterusnya. Kedua, kubu
Sosialisme Ilmiah yang didalamnya ada Karl Marx, Frederich Engels, Peter
Trotsky dan seterusnya. Kedua kubu tersebut mempunyai kesamaan dan perbedaan.
Kesamaannya terletak pada cita-cita masyarakat sosialis. Perbedaannya terletak
pada dimensi di bawah ini:
Perbedaan
|
Sosialisme
Utopis
|
Sosialisme
Ilmiah
|
Metode
|
Eksperimen sosial melalui komunitas kecil dan membesar
sesuai dengan kinerja dan waktu (evolutif).
|
Doktrin perlunya revolusi proletar, merebut alat
produksi dan kemudian produksi diselenggarakan melalui koperasi.
|
Pola
|
Dari atas ke bawah, bergantung pada figur tententu.
|
Dari atas ke bawah, bergantung pada pemimpin partai.
|
Logika
|
Deduksi, berangkat dari doktrin tentang masyarakat yang
adil dan makmur. Sehingga mereka disebut sebagai kaum utopian/ khayalan.
|
Induksi, berangkat dari analisis faktual terhadap moda
produksi masyarakat. Logika utuhnya pada dialektika material dan dialektika
historis.
|
Pendekatan
|
Dogmatisme etis, melalui pengajaran, penyebarluasan.
Sehingga tidak heran jika sejak Rochdale berdiri memuat prinsip pendidikan.
|
Analisis kritis terhadap kondisi obyektif masyarakat kemudian
membangun antitesa dari masalah yang ada. Ujungnya karya-karya Marx seperti
Das Kapital I, II dan III sangat rinci memotret masyarakat.
|
Analisis kelas
|
Kapitalisme membuat kelas terbelah menjadi
borjuis-proletar. Pada prinsipnya manusia adalah setara.
|
Antagonisme kelas antara borjuis-proletar yang bersifat
saling meniadakan.
|
Aktor utama
|
Tokoh/ figur dan komunitas/ masyarakat sipil.
|
Aktor utama partai, yang akan merumuskan dan mengawal
cetak biru tersebut.
|
Domain utama
|
Sosio-ekonomi
|
Ekonomi-politik
|
Pengaruh
|
Nilai Revolusi Perancis seperti kebebasan, kesetaraan
dan persaudaraan.
|
Fundamen filsafat Jerman yakni hukum dialektika gerak
sejarah.
|
Dalam konteks metode, eskperimen melalui komunitas kecil yang
dilakukan Owen dan lainnya, mempunyai kelebihan karena dilakukan dengan cara damai.
Berbeda dengan revolusi proletar yang tidak menutup kemungkinan menggunakan
kekerasan. Eskperimen juga membuka peluang lahirnya proses perbaikan secara
berkesinambungan hanya saja dibutuhkan waktu yang lama (evolutif). Meski
demikian, perubahan cepat dan mengakar (revolusi) bisa jadi tidak menyelesaikan
masalah (baru sekedar ramalan/ hipotesis). Padahal biaya sosialnya besar, misal
jika terjadi kekerasan antar sesama manusia. Seperti tesis Karl Popper yang
menyangsikan siapa yang menjamin bahwa pasca revolusi proletar, tidak terbentu
kelas baru di antara mereka.
Logika deduksi yang mewujud pada bentuk dogmatisme etis
mempunyai kelemahan karena cenderung imperatif/ memaksa agar realitas sesuai
dengan cetak biru/ doktrin tertentu. Berbeda dengan logika induksi yang bisa
menemukan akar masalah dan bisa membangun antitesa masalah tersebut. Karakter
logika deduktif tidak hadap masalah. Sebaliknya mudah terjebak pada
pelanggengan status quo. Dan pada titik ini, pendekatan Marxian lebih handal
dibanding pendekatan dogmatis.
Masing-masing kubu sepakat bahwa kapitalisme membelah
masyarakat dalam dua kelas: borjuis dan proletar, yang berbeda adalah cara
menyelesaikannya. Bagi Marx relasi borjuis-proletar adalah saling meniadakan.
Analisis kelas ini yang memberi pendasaran pada peluang terjadinya kekerasan
proletar terhadap borjuis saat terjadi revolusi. Yang perlu diingat borjuis dan
proletar sebagai bentukan sistem keduanya sama-sama korban. Di sisi lain, Marx nampaknya
melihat manusia sekedar manusia-ekonomi (homo
economicus) semata. Padahal teori-teori mutakhir, seperti teori modal
sosial a la Fukuyama, Putnam, melihat
efektifnya modal sosial bekerja dalam bentuk nilai, norma, kerjasama dan
sebagainya. Teori itu tentu memverifikasi sisi lain manusia sebagai
manusia-sosial (homo socious). Yang
mana sangat mungkin sekali mengajarkan nilai sosial semacam itu khususnya kepada
borjuis untuk merubah kesadarannya.
Di antara tegangan kreatif itulah kita perlu
merekonstruksi ideologi Sosialisme Utopis agar lebih kritis terhadap desain
besar kapitalisme. Dan kemudian lahirlah
Sosialisme Demokratis yang akarnya masih berkesinambungan dengan tradisi
Owenian dan Marxis. Muncullah Eduard Bernstein, pemikir sosialisme demokratis.
Alirannya juga dikenal sebagai sosialisme evolusionis, yang tentu saja membawa
tradisi Owenian.
Bernstein mendambakan sosialisme dibangun tidak dengan
cara revolusi kekerasan, melainkan dibangun secara evolutif berangkat dari
komunitas kecil dan kemudian volumenya membesar. Berbeda dengan Marx dan Trotsky
yang menggunakan negara sebagai kepemimpinan diktator proletariat, Bernstein
menyetujui bahwa negara harus dijalankan dengan cara-cara demokratis. Dalam hal
ini, ia meyakini bahwa seluruh warga negara mempunyai kesetaraan dalam hak dan
kewajiban. Sehingga demokrasi adalah sarana yang dapat merealisasikan hal itu.
Di sisi lain, Bernstein yang dijuluki sebagai revisionis,
tidak anti-Marxis. Hal ini dipertegas oleh Thomas Meyer dalam 36 Tesis Sosialisme Demokrasi, bahwa
sosialisme demokrat tidak anti terhadap pemikiran Marxis. Namun kritis dan
mengantisipasi kencenderungan Marxis yang bisa menghambat pencapaian cita-cita
sosialisme yang damai. Sehingga analisis sosial terhadap sistem kapitalisme a la Marxis masih relevan digunakan
sebagai pisau bedah untuk mengimbangi efek dogmatis dari tradisi Sosialisme
Utopis. Alhasil, logika deduksi dan induksi dapat bekerja secara dialogis dan
saling mengumpan balik: teori-praktik, praktik-teori dan seterusnya.
Dalam konteks relasi kelas, sosialisme demokrat memandang
bahwa kelas akan menghilang dengan sendirinya ketika alat-alat produksi
dimiliki secara kolektif. Pemilikan alat produksi secara kolektif tidak
dilakukan dengan perampasan atau pengambilalihan sepihak, melainkan dengan cara
membangun sedari awal mode produksi koperasi. Berbeda dengan itu, Sosialisme
Marxis akan menggunakan diktator proletariat untuk merebut alat-alat produksi
yang sebelumnya dimiliki borjuis.
Pada segi aktor, Sosialisme Demokrat melihat adanya tiga
aktor yang harus bekerja berbarengan: partai sosialis, gerakan buruh dan
gerakan koperasi. Dalam konteks ini, Meyer melihat bahwa pembangunan usaha
koperasi disegerakan untuk mecukupi kebutuhan hidup yang mendesak. Juga
menyiapkan masyarakat dengan cara-cara kerja sosialis melalui pemilikan dan
pengendalian alat produksi secara kolektif. Hal ini berbeda dengan kalangan
Marxis yang kurang menyiapkan moda produksi koperasi untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang mendesak. Sebaliknya seringkali berkutat pada perkaderan partai guna
menyiapkan revolusi.
Dengan rekonstruksi di atas, maka kita menemukan payung
ideologi koperasi yang sesuai dengan cita-cita awal Owen tanpa mengesampingkan
bahwa perjuangan melawan kapitalisme harus dilandasi dengan analisis yang
lengkap seperti Marxis. Sosialisme Demokrat memberikan pancaran ideologi jalan
tengah di antara dua kubu tersebut. Bukan jalan tengah di antara kapitalisme
dan sosialisme, melainkan di antara Sosialisme Utopis yang dipengaruhi nilai
kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan dari semangat Revolusi Perancis; Di sisi
lain dialektika gerak sejarah yang menempatkan manusia sebagai aktor-aktor
aktif untuk mewujudkannya, sebagai pengaruh dari filsafat Jerman.
Dengan bersepakat pada gagasan Sosialisme Demokrat, maka
kita mempunyai kerangka kerja lintas sektor yang melibatkan: partai sosialis,
gerakan buruh dan gerakan koperasi. Dalam kerangka yang seperti ini, maka
syarat utama yang harus dipenuhi bahwa gerakan koperasi di Indonesia harus membuka
diri dengan aktor-aktor lainnya. Gerakan koperasi harus pro-aktif
mengonsolidasikan kekuatan dalam transformasi sosialisme-demokrasi tatanan
masyarakat. Yang ujungnya, bahwa
perjuangan melawan sistem kapitalisme bukan agenda gerakan koperasi semata,
melainkan banyak pihak. Dan di sanalah ideologi memberikan titik temu. Ya, seharusnya!
[]
0 comments :
Posting Komentar