Homo Cooperativus: Bangun Sosial Ekonomi yang Bermasa Depan

Oleh: Firdaus Putra, HC.

(Penulis adalah Manajer Organisasi Koperasi Konsumen Kopkun dan Pengurus HIPMI Kab. Banyumas Kompartemen Kewirausahaan Sosial)

Yang Bermasa Depan
Model usaha apa yang mempunyai daya tahan jangka panjang dan bermasa depan? Di tengah zaman yang penuh turbulence dan ketakpastian pertanyaan itu adalah jenius untuk merumuskan resep jitu. Dan pertanyaan itu dijawab dengan baik oleh Claudia Sanchez Bajo, PhD. Dalam bukunya Capital and the Debt Trap (2011) ia menjawab bahwa perusahaan koperasi cenderung dapat bertahan lebih lama dibanding perusahan swasta. Ia mengatakan, setelah tiga tahun beroperasi daya tahan koperasi rata-rata mencapai 75% sedangkan perusahaan swasta hanya 48%. Setelah 10 tahun, daya tahan koperasi mencapai 44% dan perusahaan menjadi 20%.

Daya tahan koperasi tercipta berkat arah usahanya yang tak sekedar mengejar keuntungan, namun juga berorientasi pada keberlanjutan sosial dan lingkungan. Karakter itulah yang tak dimiliki perusahaan swasta yang alasan adanya hanya untuk memenuhi pundi-pundi laba. Koperasi yang berbasis pada orang (people based) menjadikannya lebih mawas diri. Berbeda dengan itu, perusahaan swasta yang berbasis modal (capital based) cenderung bertindak rakus (greedy). Kerakusan itulah yang membuat daya tahannya rendah.

Rakus dalam arti bahwa dalam rangka mengejar laba sebesar-besarnya, perusahaan swasta dapat berlaku sewenang-wenang. Misalnya saja mereka pelit dalam menggaji karyawan dibanding dengan laba yang dihasilkan. Jadinya rasa pemilikan karyawan terhadap perusahaan dan kinerjanya rendah. Itu berbeda dengan koperasi (koperasi pekerja) yang kebijakan gajinya ditentukan oleh para pekerjanya sendiri. Hal itu terjadi karena pekerja adalah pemilik perusahaan tersebut.

Model-model Lain
Selain koperasi, sebenarnya ada beberapa model lain dengan karakter yang sama. Sebutlah model kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) yang dimotori oleh Bill Drayton. Kewirausahaan sosial adalah bagaimana memecahkan masalah sosial dengan cara entrepreneurial. Caranya dimulai dengan mengorganisir modal sosial dalam komunitas dan kemudian memobilisasi sumber daya mereka.

Di Indonesia kita kenal Gamal Albinsaid yang memperoleh penghargaan dari Pangeran Charles Inggris. Di Malang, Jawa Timur, ia membangun klinik asuransi berbasis sampah. Masyarakat membayar layanan dokter Gamal dengan sampah rumah tangga mereka. Sedikitnya ada tiga manfaat klinik asuransi tersebut: 1). Kesehatan masyarakat terjaga meski mereka tak secara langsung mempunyai uang; 2). Sampah-sampah mereka terkelola dengan baik dan memberi nilai tambah ekonomi; dan 3). Dokter Gamal tetap memperoleh jasa dari layanan kesehatan yang diselenggarakannya.

Kemudian ada juga model lain yang meski berbeda polanya tapi sering disamakan, yakni bisnis sosial (social business) yang dimotori Muhammad Yunus. Motifnya sama dengan kewirausahaan sosial yakni untuk menyelesaikan masalah sosial. Bedanya terletak pada mobilisasi sumberdayanya berasal dari pihak lain, sebutlah investor (perorangan atau lembaga). Modal investor akan dikelola secara profesional dalam bentuk bisnis. Sampai batas waktu tertentu investasi akan dikembalikan seluruhnya, namun tanpa diberi deviden atau balas jasa. Sebaliknya, laba yang terkumpul akan digunakan untuk membesarkan bisnis tersebut dan/ atau membangun bisnis sosial yang lain.

Banglades memiliki best practice model bisnis sosial ini misalnya dalam kasus air bersih. Apa yang dilakukan Muhammad Yunus adalah memobilisasi investasi dari perusahaan Danone. Kemudian ia mendirikan perusahaan air bersih dan masyarakat membelinya dengan harga terjangkau. Manfaat nyata model itu seperti: 1). Masalah kebutuhan air bersih tercukupi dengan biaya murah; 2). Investor mendapatkan kembali modal investasinya; 3). Perusahaan air bersih menyerap tenaga kerja dan menggajinya dengan layak; 4). Keuntungan bisnis digunakan untuk meluaskan dampak sosial lainnya.

Prinsip Double/ Triple Bottom Line
Ketiga model itu: koperasi, kewirausahaan sosial dan bisnis sosial dapat juga kita sebut sebagai perusahaan sosial (social enterprise). Mereka berdaya tahan tinggi karena menghitung keuntungan (bottom line) bukan sekedar finansial. Mereka menganut prinsip double/ triple bottom line, dimana keuntungan harus mencakup: finansial, sosial dan lingkungan. Slogannya adalah “Profit and People” atau “Profit, People and Planet”. Bahkan yang bombastik, “People Before Profit!”, konkretnya bayarlah gaji layak para karyawan sebelum menghitung laba perusahaan.

Dalam arah, tata kelola dan kebijakannya, perusahaan sosial senantiasa berbasis pada nilai-nilai etis. Hal itulah yang membuatnya menjadi demikian mawas dan tidak nggragas. Meski kemudian dari sudut pandang bisnis kebijakan itu tidak populis atau berpotensi mengurangi laba. Misalnya bila perusahaan itu berupa bank, mereka tak akan membiayai usaha yang mempekerjakan anak, mengeksploitasi karyawan atau merusak alam. Bila mereka pabrik yang memproduksi makanan, mereka akan mengurangi zat-zat pengawet, pewarna dan tambahan lainnya yang cenderung merusak kesehatan.

Berbeda dengan itu, perusahaan swasta cenderung menganut single bottom line, dimana keuntungan hanya berupa finansial. Ralph Estes dalam bukunya Tyranny of the Bottom Line: Why Corporations Make Good People Do Bad Things (1996), memblejeti satu persatu praktik buruk dan kesewenang-wenangan perusahaan swasta. Yang mana kesewenang-wenangan mereka dapat saja mengorbankan: 1). Karyawan, misalnya gaji rendah dengan target menggunung; 2). Konsumen, misalnya barang atau jasa yang mereka produksi berkualitas rendah yang beresiko bagi kesehatan atau keselamatan; dan 3). Lingkungan hidup, misalnya mengeksploitasi sumber daya alam tanpa tanggungjawab mereklamasinya.

Mengejar ketertinggalan itu, perusahaan swasta kemudian mengeluarkan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Meskipun di beberapa kasus dana CSR lebih sering bersifat santunan sekali waktu (charity) yang kurang memberdayakan. Atau misalnya dengan cara mengumpulkan sumbangan masyarakat dan melabelinya, “Sumbangan Konsumen Akumart” dan semacamnya.
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja kita dapat menjadi pelopor untuk membangun model-model itu di lingkungan masing-masing. Makin banyak jumlah model itu di masyarakat, makin luas manfaat yang diberikan. Dan yang menarik, keuntungannya bukan sekedar untuk masyarakat, juga untuk diri sendiri.

Itulah model yang tepat untuk orang-orang yang gemar bersinergi, gemar memberdayakan dan bekerjasama. Untuk orang-orang yang dapat kita sebut sebagai Homo Cooperativus; Yang bukan sekedar mengejar happiness, melainkan super-happiness; Bukan untuk single, tapi double/ triple bottom line. Andakah homo cooperativus itu? []

Bagian selanjutnya:
Homo Cooperativus (Bagian III): Melampaui Negara dan Pasar, Menyongsong Era Komunitas

Telah diterbitkan di Harian Satelit Post, 19 November 2014, Hal. 7
Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :