Masa Depan Kemanusiaan
Bagaimana
membayangkan masa depan kemanusiaan di tengah zaman yang kapitalistik ini?
Zaman kapitalistik merujuk pada era dimana hasrat berkompetisi, memperkaya
diri, mengejar keuntungan sebesar-besarnya adalah segalanya. Pertanyaan
filosofis itu boleh jadi tak akan tuntas kita jawab.
Menyitir
Charles Darwin sebagian orang menjawab, “Survival
of the fittest”. Kita harus menjadi yang terkuat agar bisa bertahan (survive). Bila demikian bukankah masa
depan kemanusiaan kita bakal lebih muram? Yang ada justru dominasi orang
terhadap yang lain, eksploitasi satu individu pada yang lain.
Atau orang
lupa pada karya Darwin yang lain, The
Descent Man (1871). Dalam bukunya, pakar evolusi itu menyimpulkan bahwa
faktor yang membuat spesies dapat bertahan (survive)
adalah perilaku pro-sosial, sinergi dan kerjasama. Kesimpulannya, menjadi yang
terkuat sendirian tak akan dapat menandingi mode sinergi dan kerjasama antar
spesies. Lantas bagaimana potret spesies (baca: manusia) tersebut?
Homo
Cooperativus
Istilah homo cooperativus mulai diperkenalkan
Georg Draheim, seorang pemikir berkebangsaan Jerman sejak 1950an. Istilah ini
tersusun atas “homo” yang berarti “manusia” dan “cooperativus” yang berarti
“bekerjasama”. Secara luwes dapat kita terjemahkan sebagai manusia yang gemar bekerjasama.
Draheim
menggambarkan Homo Cooperativus
sebagai orang yang mempunyai kepentingan pribadi (self-interest), namun dia sadar bahwa untuk mencapai beberapa
kepentingannya itu dia harus bekerjasama dengan orang lain. Bila sekedar kerjasama,
bagaimana kita menjelaskan fenomena kerjasama yang dilakukan para koruptor,
misalnya. Adakah para koruptor itu termasuk Homo
Cooperativus?
Dalam
tulisannya, Die Genossenschaft als
Unternehmungstyp (1955), Draheim
menjelaskan bahwa kerjasama tersebut terikat pada nilai: empati (empathie) dan kasih sayang (liebe). Yang mana empati merupakan sikap
biso ngrumongso terhadap situasi atau
perasaan orang lain. Sedangkan kasih sayang adalah kemampuan kita sebagai
manusia untuk mengasihi/ menyayangi orang lain.
Baik nilai
empati dan kasih sayang keduanya ditujukan bagi kebaikan orang lain. Sehingga
kerjasama yang berimbas merugikan orang lain atau masyarakat luas tak termasuk
dalam potret homo cooperativus. Modus
homo cooperativus tentu berbeda jauh
dengan kongkalikong para garong.
Apa yang
menarik dari uraian Draheim bahwa ia meletakkan potret homo cooperativus dalam bingkai manusia yang nyata. Yakni manusia
yang memiliki kepentingan pribadi di satu sisi dan memiliki insting pro-sosial
di sisi lain. Hal ini yang membedakan dengan potret homo oeconomicus: yang semata mengejar keuntungan (material)
pribadi.
Homo cooperativus menginsyafi bahwa
manusia memiliki sisi individualitas dan sosialitas sekaligus. Individualitas
berasal dari keunikan tiap individu: minat, bakat, keyakinan, jenis kelamin dan
seterusnya. Dan sosialitas berasal dari kemampuan individu untuk hidup bersama
atau berkelompok, menghargai dan membantu yang lain dan seterusnya.
Oleh
karenanya, homo cooperativus tak menafikan
aspirasi atau kepentingan pribadi. Sebaliknya, tidak mencederai bangunan
kehidupan bersama. Homo cooperativus
adalah potret manusia yang manusiawi. Bukan manusia yang bak “malaikat”: hidup
demi orang lain. Sebaliknya, bukan juga
manusia yang bak “setan”: hidup demi dirinya sendiri.
Dalam ruang sosial,
cara yang ditempuh homo cooperativus juga
sangat manusiawi. Yakni bagaimana membuat manusia lain berdaya, bukan
ketergantungan. Yang dibangun adalah solidaritas jangka panjang melalui
pemberdayaan, bukan karitas jangka pendek yang sporadis.
Sedang dalam ruang
ekonomi, homo cooperativus berdiri di
atas etika: tidak mengeksploitasi karyawan atau buruh. Memperlakukan karyawan
sebagai mitra dalam kerja dan kawan dalam pergaulan sosial. Mengutamakan
keuntungan jangka panjang dengan cara: melayani konsumen/ pelanggan dengan hati
dan kejujuran.
Homo cooperativus tentu tak bisa
dikotakkan sebagai potret orang desa atau kota. Ia bisa mewujud baik di desa
maupun kota. Secara potensial homo
cooperativus akan banyak dijumpai di masyarakat desa karena kuatnya
nilai-nilai kebersamaan/ gotong royong. Namun peluang di masyarakat kota juga
besar mengingat makin jenuhnya masyarakat kota pada kehidupan yang atomistik
(menyendiri) dan dukungan social media.
Mencapai Super-Happiness
Bila orang
bertanya siapa contohnya Homo
Cooperativus, terlebih dalam ruang sosial ekonomi? Dari sekian banyak
tokoh, kita bisa sebut: Muhammad Yunus, Penerima Nobel Perdamaian. Ia adalah
seorang Dekan Fakultas Ekonomi Univeristas Chittagong, Banglades. Penggagas dan
pendiri Grameen Bank yang sudah terbukti menyejahterakan orang-orang miskin di
Banglades. Ia punya prinsip, “Making
money is happiness. And that’s a great incentive. Making other people happy, is
a super-happiness”. Katanya, mengejar keuntungan (uang) itu hal yang
membahagiakan. Namun, membuat orang lain bahagia, itu adalah kebahagiaan yang
luar biasa.
Ada lagi
Robert Owen (1858), Bapak Gerakan Koperasi dan Serikat Buruh. Ia adalah bangsawan
Inggris pemilik pabrik. Berkat dia, waktu kerja menjadi delapan jam. Padahal
sebelumnya buruh pabrik Inggris bekerja selama 12 sampai 16 jam per hari. Ia
menolak cara kerja yang eksploitatif semacam itu. Dan seruannya mempengaruhi
dunia kerja hingga sekarang, “Eight hours
labour, eight hours recreation, eight hours rest”. Delapan jam untuk kerja,
delapan jam untuk rekreasi dan delapan jam untuk istirahat, teriaknya.
Di Indonesia kita
bisa menyebut misalnya Masril Koto, pendiri Bank Tani di Sumatera Barat. Petani
yang tak tamat SD ini awalnya mengalami kesulitan modal untuk mengembangkan
pertaniannya. Ia ditolak banyak bank karena dianggap tak bankable. Sampai akhirnya dengan tekad besar ia belajar otodidak
dan mendirikan bank untuk para petani. Sekarang cabangnya mencapai 580 unit
dengan aset 100an miliar rupiah.
Itulah
sedikit potret para Homo Cooperativus,
apa yang hendak mereka capai bukan sekedar happiness.
Melainkan super-happiness dengan
jalan membangun sinergi, kerjasama dan memberdayakan orang lain. Mereka
senantiasa membangun daya dukung bersama agar menjadi berdaya bersama. Mereka
tak mengkotakkan mana bisnis, mana sosial; Karena dalam bisnis bisa terkandung
motif sosial. Dan mereka selalu mendasarkan diri pada i’tikad mulya sesarengan, bukan mulya piyambakan. Mari kita ikhtiarkan! []
Telah diterbitkan pada Harian Satelit Post, 18 November 2014, Hal. 7.
Bagian selanjutnya:
Homo
Cooperativus (Bagian II): Bangun Sosial Ekonomi yang Bermasa Depan
Homo
Cooperativus (Bagian III): Melampaui Negara dan Pasar, Menyongsong Era Komunitas
0 comments :
Posting Komentar