Oleh:
Firdaus Putra, HC.
***
(Penulis adalah Manajer Organisasi Koperasi
Konsumen Kopkun dan Pengurus HIPMI Kab. Banyumas Kompartemen
Kewirausahaan Sosial)
Aktor Masa Depan
Siapa aktor
utama penggerak sosial ekonomi masa mendatang? Ini adalah pertanyaan kunci Abad
21 dimana kita hidup hari ini. Sejarah manusia telah melewati beberapa babak
sejarah: pada Abad 15 dunia mulai mengenal embrio negara-bangsa (nation state). Pada abad itu
penjelajahan antar samudera dimulai. Kemudian pada Abad 19 mulailah abad
industri. Pada abad ini penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan pasar. Sebutlah mesin uap,
pesawat, radio dan penemuan-penemuan lainnya.
Elinor
Ostrom, penerima Nobel dalam bidang ekonomi tahun 2009, memberi isyarat bahwa
komunitas adalah aktor masa depan. Dalam bukunya The Future of the Commons: Beyond Market Failure and Government
Regulation (2012) ia menggambarkan bagaimana negara dan pasar telah gagal dalam mengelola sumber
daya. Negara yang birokratis seperti yang kita lihat, cenderung tak efisien dan
lamban. Di sisi lain, pasar yang terlalu
agresif dan rakus justru telah menghambur-hamburkan sumber daya yang ada.
Sebaliknya,
dalam penelitiannya Ostrom menemukan tata kelola berbasis komunitas justru
dapat bekerja secara efektif. Efektif dalam arti bahwa sumber daya yang ada
dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Ia memberi contoh
pengelolaan hutan, laut, tanah, sistem irigasi dan lainnya, yang dikerjakan
berbasis komunitas bisa berjalan efektif dan manfaati.
Sinyal Kuat Era Komunitas
Selain Ostrom
yang percaya bahwa aktor masa depan adalah komunitas, berbagai sektor lian juga
menunjukkan sinyal yang sama. Sebagai contoh dalam kajian dan praktik
Administrasi Publik, kita sudah mulai mengarah pada pendekatan tata kelola
kolaboratif (collaborative governance). Negara tak lagi menjadi pusat segalanya,
sebaliknya inisiasi dan partisipasi masyarakat/ komunitas lokal adalah tulang
punggungnya. Tata kelola berbasis desentralisasi daerah dan otonomi menjadi
mantra sakti saat ini.
Di Indonesia
kita bisa melihat praktik Gerakan Desa Membangun (GDM) yang berpusat di
Banyumas. Gerakan itu memberi daya dukung bagi pemerintahan desa untuk berdaya
melalui proses belajar antar desa. Dalam gerakan itu “komunitas perangkat desa”
adalah soko guru perubahan di desanya masing-masing. Mereka tak lagi
mengandalkan dan menunggu negara untuk menyelesaikan masalah, misalnya layanan
administrasi; Mereka justru membangun sistem berbasis teknologi internet yang
bisa memberikan layanan administrasi secara cepat.
Di dunia
bisnis sinyal itu juga menguat. Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba
mendekati, membangun dan merawat komunitasnya. Mereka paham betul di tengah
kompetitor yang bejibun, kekuatan perusahaan tak lagi pada produknya, melainkan
komunitas pengguna produknya. Mulailah mereka masuk era pemasaran sosial (social marketing). Ratusan juta hingga
miliaran rupiah mereka keluarkan untuk mengelola komunitas tersebut dengan
berbagai kegiatan.
Dalam dunia
otomotif itu terlihat misalnya dengan adanya klub-klub motor. Selain
menyelenggarakan kegiatan gathering
atau touring, mereka juga sering
mengadakan santunan sosial, penggalangan dana untuk bencana, kampanye safety riding, membagi helm cuma-cuma
dan seterusnya. Pola umumnya saat ini semua perusahaan atau usaha membuat member card dengan berbagai tawaran
manfaat.
Sinyal
lainnya, pada konteks gaya hidup dan teknologi kita akrab dengan apa yang
disebut media sosial (social media).
Melalui facebook, twitter, path, youtube, linkedin kita jadi tersambung satu
dengan yang lain. Bukan sekedar tersambung seperti SMS dan telepon, media
sosial memberi ruang untuk saling berbagi pengalaman. Puncaknya para pengguna
internet (netizen) dapat membangun
solidaritas bersama pada isu tertentu.
Masih segar
di ingatan bagaimana Koin Peduli Prita lahir dari media sosial. Berbondong-bondong
netizen membangun solidaritas untuk
menolong Prita Mulyasari. Sebut juga gerakan spontan Cicak vs Buaya yang mampu
menyelamatkan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari penggembosan.
Bahkan Umbrella Revolution di
Hongkong mendapat dukungan masyarakat lintas negara berkat media sosial.
Pada domain
politik, Pilpres kemarin juga memberi sinyal yang sama. Pasca Pilpres, politik
Indonesia mengenal istilah baru: relawan. Yang mana kita ketahui dua kandidat
kemarin didukung relawannya masing-masing. Relawan, tentu seperti namanya,
adalah orang yang secara sukarela terlibat untuk mendukung kandidatnya. Dan
yang menarik, sebagian besar relawan bukan berasal dari kader partai politik.
Relawan dalam
Pilpres kemarin memberi arti penting tentang adanya komunitas politik
non-partai. Secara sukarela mereka meluangkan waktu, membagi sumber daya,
memberi pemikiran dengan cuma-cuma. Hal ini adalah fenomena baru dalam politik
Indonesia pasca Reformasi.
Jaringan adalah Kuncinya
Komunitas
pada intinya adalah kumpulan orang-orang. Sehingga kekuatan komunitas terletak
pada jejaring antar orang-orang di dalam dan di luarnya. Jejaring antar orang
tersebut kemudian dapat menggerakkan berbagai sumber daya: gagasan,
energi-waktu, finansial dan daya dukung lainnya baik material maupun
immaterial.
Orang-orang
itu bersatu dan seringkali secara sukarela karena adanya cita-cita tentang
kebaikan bersama (common good).
Orang-orang yang berhimpun di komunitas itu adalah para altruis yang percaya
pada nilai-nilai etis. Mereka adalah para homo
cooperativus yang gemar bersinergi, kerjasama dan saling memberdayakan.
Dengan pola
seperti itu, bila kita bandingkan dengan negara, tentu komunitas akan lebih
efisien dan efektif. Partisipasi orang-orang di dalam komunitas dengan berbagai
kontribusinya akan menurunkan berbagai biaya, ini yang kita sebut efisien dan
efektif. Pepatah bilang ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Apalagi bila
dibanding dengan pasar yang berdiri di atas logika insentif, komunitas jauh
lebih efisien dan efektif.
Orang-orang
di komunitas mengerjakan segala ihwal dengan suka cita, penuh gairah dan
antusiasme. Ya tentu, karena apa yang dikerjakan langsung berhubungan dengan
aspirasi dan kebutuhan mereka. Tata kelola berbasis komunitas membuat mereka
sebagai pemilik sekaligus pengelolanya; Sebagai pemilik yang akan menerima
manfaat langsung dan sebagai pengelola yang terlibat merumuskan keputusan.
Ciri mendasar
itulah yang boleh jadi tak dipunyai negara dan pasar. Negara dan pasar
sama-sama telah memisahkan antara siapa pemilik, pengelola dan pengguna sumber
daya. Dalam komunitas, peran-peran itu menyatu dengan padu. Dan di sanalah
letak keindahannya. []
Bagian sebelumnya:
Telah diterbitkan di Harian Satelit Post, 20 November 2014, Hal. 7
0 comments :
Posting Komentar