Oleh: Firdaus Putra,
HC.
***
Penulis adalah Koordinator Banyumas Inspirasi, Pengurus HIPMI Kompartemen Kewirausahaan Sosial BPC Banyumas.
Sekedar Logo dan Moto?
Bicara soal city branding persolannya tak sesederhana logo dan moto. City branding adalah proses
berkelanjutan bagaimana membangun citra kota melalui beragam instrumen.
Instrumen itu bisa melalui sarana pra sarana kota, masyarakat, ekspresi
kebudayaan, transportasi, destinasi wisata bahkan soal pidato pemimpin
daerahnya. Alhasil city branding
adalah kerja padu dari semua unsur: pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat.
Kompleksitas kerja itu membuat
pembangunan city branding bukan mimpi
semalam. Di kota-kota lain, misalnya Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan lainnya,
proses city branding makan waktu satu
tahun lamanya. Proses city branding
biasanya diawali dengan riset yang mendalam. Targetnya memetakan potensi kota
baik yang nampak atau tak nampak, posisi kota di antara kota lain, akar sejarah
kota, ekspresi kebudayaan masyarakatnya dan seterusnya. Hasilnya menjadi suatu
ramuan, yang andaikan parfum hanya dengan mencium aromanya saja kita sudah tahu
siapa dia. Dalam kerja kompleks seperti itu lantas bagaimana seyogyanya city branding Purwokerto atau Banyumas
dibangun?
Proses Kudu Bottom Up
Proses rebranding Yogyakarta memberi pelajaran berharga, bahwa masyarakat
harus dilibatkan. Rebranding logo
Jogja yang nampak seperti Togua mendapat kecaman dari banyak pihak. Tak ayal
komunitas kreatif Jogja membuat gerakan “Jogja Darurat Logo”. Kemudian pada
tengah November 2014 lalu Pemda Yogyakarta membuat forum Urun Rembug Rebranding
Yogyakarta. Hikmahnya masyarakat jadi terlibat membincangkan dan membuatnya.
Partisipasi masyarakat dalam city branding bukan sekedar prosedur
demokrasi semata. Mengingat target city
branding adalah terbentuknya citizen
branding. Mari kita bayangkan city
branding seperti baju, boleh jadi kita berambisi menghadiahkan baju
terbagus untuk seseorang. Dengan sembunyi-sembunyi kita pesan baju itu. Namun
setelah baju jadi, ternyata tak muat atau tak nyaman dipakai. Nah, masyarakat
sebagai subyek puncak harus mengetahui bahkan harus terlibat menciptakan (co-create) branding itu. Seperti baju itu, tujuannya agar masyarakat nyaman dan
enak memakainya.
Proses bottom up bisa dilakukan dalam dua gelombang. Pertama adalah dengan
membangun kesalingbutuh dan saling pemahaman antar stakeholder. Pada tahap ini Pemerintah Daerah perlu membentuk suatu
tim yang berisi: budayawan, akademisi, tokoh masyarakat, pelaku usaha, pemimpin
adat, kepala desa, dan tokoh-tokoh lain yang relevan. Saling pemahaman antar stakeholder akan membuat daya ledak yang
besar. Hasilnya proses bisa lebih cepat karena semua pihak sudah paham apa dan
bagaimana city branding itu.
Kedua Pemerintah Daerah juga
perlu membangun ruang serap aspirasi dan tukar pandang dengan
komunitas-komunitas dan masyarakat luas. Serap aspirasi dan tukar pandang bisa
dalam bentuk seminar, gendu-gendu rasa,
diskusi publik, lomba desain logo dan moto, festival dan sebagainya. Tujuannya
agar semua lapisan masyarakat dan komunitas merasa terlibat dalam wacana besar city branding.
Banyumas atau Purwokerto?
Adakah Banyumas kota (city) sehingga perlu city branding? Sebenarnya istilah city branding tak terbatas hanya pada
kota madya, kabupaten pun masuk di dalamnya. Sebutlah Kab. Kulon Progo dengan The Jewel of Java sebagai brand-nya. Atau Kab. Sumenep yang
mengangkat citra The Soul of Madura.
Jadi istilah city branding sekedar
istilah teknis yang mengacu pada kota madya dan kabupaten.
Terlepas dari isu pemekaran, Kab.
Banyumas tetap perlu membangun city
branding. Tujuannya agar Banyumas menjadi makin tumbuh dan dinamis. Di sisi
lain, bila Purwokerto lebih dikenal di luar daripada Banyumas, maka itu hanya
persoalan strategi saja. Andaikan saja Purwokerto sebagai pintu masuk sebuah
rumah besar yang bernama Banyumas. Tentu orang tak akan mau berdiri lama di
depan pintu, bukan? Ia akan masuk ke dalam rumah dan melihat berbagai
pernak-pernik di dalamnya.
Sebagai pintu Purwokerto menjadi
cukup relevan. Minimalnya sarana transportasi antar kota antar provinsi
terletak di wilayah ini. Juga adanya berbagai layanan administrasi yang
diselenggarakan makin mendukung Purwokerto sebagai “Pintunya Banyumas”.
Destinasi besarnya adalah Banyumas, atau sebutlah Banyumas Raya.
Konsekuensinya, arah pengembangan Banyumas harus menyebar ke Banyumas Raya.
Hanya fokus mengembangkan Purwokerto dan menganaktirikan yang lain, akan
membuat daya magnet city branding
menjadi lemah.
Melacak Akar Banyumas
Kita harus memahami Banyumas
dengan akar sejarahnya yang khas. Kekhasannya terletak pada paemo “Adoh ratu cedhek watu” yang artinya
jauh dari ratu, dekat ke batu. Maksudnya sejarah Banyumas tak masuk dalam
lingkaran inti kerajaan Mataram. Banyumas hanya berada pada lingkaran luar pusat
kekuasaan dulu kala. Karena jauh dari pusat kekuasaan, maka Banyumas cedhek watu, menjadi orang-orang biasa
atau wong cilik.
Kebudayaan orang Banyumas adalah
kebudayaan masyarakat luas, bukan kebudayaan negarigung atau keratonan seperti
Solo atau Yogyakarta. Alhasil orang Banyumas cenderung egaliter dalam bergaul.
Dalam berkomunikasi pun cenderung terbuka, cablaka.
Karena bukan orang negarigung, orang Banyumas jadi bebas bereskpresi, sebutlah
ekspresi panjorangan dan semblothongan dalam becanda.
Orang Banyumas juga dikenal
sebagai orang yang bebas. Bahkan dengan pemimpinnya, mereka tak mindhik-mindhik. Sehingga sebagian
catatan sejarah dan riset sejarah menggambarkan orang Banyumas itu cenderung
kritis pada penguasa.
Kejawaan Banyumas ternyata lebih
tua dibanding priyayi Solo. Sebutlah bahasa ngapak
yang berakar pada bahasa Jawadipa yang sudah ada sebelum Ajisaka datang ke
tanah Jawa pada 78 Masehi. Bahasa ngapak
atau kramantara atau ngoko lugu itu merupakan ekspresi sejati
masyarakat. Kita bisa kenali orang Banyumas saat ia bicara dengan ngapak-nya yang mblaketaket.
Di sisi lain, Banyumas juga
berdekatan dengan pusat kerajaan Pajajaran. Sehingga Banyumas bagian barat
misalnya punya dialek yang agak Sunda. Dulu di zaman Kadipaten Pasir Luhur
mereka dipengaruhi kerajaan Pajajaran yang terlihat dari babad Kamandaka. Beda
dialek ini bisa dibagi dalam wilayah yang sering disebut: Wetan Kali Serayu
dengan dialek yang mendekati Jawa dan Kulon Kali Serayu yang cenderung Sunda.
The Different of Java
Dari Jawa dan Sunda, marilah kita
ke tengok ke timur bagian Jawa, Malang. Ada kebiasaan bagus yang menjadi branding khas masyarakat Malang, yakni boso walikan yang dibudayakan oleh para Kera Ngalam (Arek Malang). Boso walikan ini menjadi penanda khas
yang bagi masyarakat luar Malang pun bisa mengenalinya.
Bila kita gunakan bahasa sebagai
penanda yang paling awal dan sederhana, lantas bagaimana dengan ngapak? Ada kencenderungan di anak muda
Banyumas, khususnya Purwokerto, malu atau enggan untuk mengekspresikan
kengapakannya. Ditambah di Purwokerto mereka bergaul dengan lintas daerah
akhirnya lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa bandhekan. Ini berbeda dengan orang
Sunda yang penuh percaya diri dengan bahasanya.
Bila Purwokerto kita posisikan
sebagai “Pintunya Banyumas”, penanda paling sederhana itu harus muncul. Ngapak
yang oleh masyarakat lain kadang diketawain karena terdengar lucu dan/ atau
kasar, justru perlu dibudayakan agar menjadi pembeda. Di sanalah kekhasan orang
Banyumas yang berbeda (different)
dengan orang Jawa lainnya (Solo, Yogyakarta, Semarang, dst.) dan berbeda dengan
Sunda (Tasikmalaya, Ciamis, dll).
Orang Banyumas mempunyai kekhasan
sebagai Jawa yang bukan JAWA, sebagai Sunda yang bukan SUNDA. Namun unsur Jawa
dan Sunda secara relatif mewarnai kejawaannya. Banyumas adalah The Different of Java atau The Other of Java. Dia adalah Jawa yang
Berbeda atau Jawa yang Lain.
Boleh jadi itulah yang bisa kita
ekspresikan dari Banyumas di antara kota/ kabupaten lain di Jawa Tengah. Tentu
ekspresi kekhasan Banyumas perlu digali sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya
agar klaim different atau other tidak mengada-ada. Dan kekhasan
itu perlu dieskspresikan dalam berbagai dimensi bahkan sampai soal makanan.
Sebutlah mendoan, yang mana JAWA
mengenalnya dengan tempe goreng (kering). Namun Banyumas punya yang berbeda.
Meski city branding bukan sekedar logo dan moto, namun logo dan moto
merupakan cara komunikasi paling cepat dan ringkas. Dalam logo dan moto semua
hal ihwal dimampatkan jadi satu. The
Different of Java boleh jadi sudah meringkas hal ihwal Banyumas yang unik
itu. []
0 comments :
Posting Komentar