Sebagian para pengulas Batman: The Dark Knight melabeli Joker
sebagai sosok anarkis. Dalam salah satu dialog, Joker (Heath Ledger) bilang, “Introduce a little anarchy, you upset the
established order and everything becomes chaos. I’m an agent of chaos”.
Joker menyebut dirinya sebagai aktor pengacau yang akan menyuguhkan sedikit
anarkisme dan membalik segala yang mapan di kota Gotham. Jadi, adakah Joker
seorang Anarkis, dalam makna penganut faham anarkisme?
Film besutan Christopher Nolan
tahun 2008 itu benar-benar fenomenal. Selain soal keuntungan yang diraupnya
mencapai 1 milyar dollar, film ini juga banyak dikaji secara politik. Beberapa
ilmuwan politik Youngjeen Choe, Vincent M. Gaine, John Ip dan masih banyak
lainnya, mengaitkan film ini dengan kondisi dan kebijakan Amerika Serikat pasca
9/11. Ada pola yang sama antara apa yang dilakukan Batman dengan George W. Bush
dalam melawan kejahatan/ terorisme.
Tak berhenti pada pemeran
protagonis, tokoh antagonis pun memperoleh banyak sorotan. Sebutlah Profesor
asal Texas Tech University, Robert Moses Peaslee dan Robert G. Weiner selaku
Editor mengundang para ilmuwan menulis untuk terbitan “The Joker: Critical Essays on the Clown Prince of Crime” pada
tahun 2011. Masing-masing esai dipatok sepanjang 6000-8000 kata dengan
sub-topik mencapai 20 item yang merangkum mulai filsafat, sosial-budaya,
sinema, gender, ras, pendidikan dan sebagainya.
Singkat kata, dua lakon The Dark Knight yakni Batman dan Joker
sama-sama jadi ikon. Bahkan, khusus untuk Joker, kalimat pendeknya, “Why so serious?”, menjadi meme yang
menyebar melalui social media.
Meskipun para penggunanya tak tahu persis konteks kalimat yang tragis itu. “Why so serious, son?” Comes at me with the
knife . . .”Why so serious?” He sticks the blade in my mouth . . . “Let’s put a
smile on that face!”, dikisahkah Joker ketika ayahnya hendak menyayat
mulutnya.
Why So Serious
Robert Wonser dan David Boyns
mengatakan itulah penyebab Joker menjadi jahat. Ia dibesarkan dalam keluarga
yang penuh konflik dan kekerasan. Ayahnya seorang pemabuk yang kejam terhadap
ibunya. Nasib Joker tambah muram pasca mulutnya disayat, ia dianggap sebagai
sosok yang aneh (freak) dan mengalami
penolakan masyarakat. Alhasil Joker menjadi pribadi yang anti-sosial dan
mendendam pada masyarakat yang senantiasa mengucilkan dan melabelinya. Joker
menjadi pribadi yang patologis dan lebih dekat ke arah psikopatik.
Kekecewaan itu membuatnya
beranggapan bahwa struktur nilai, norma dan aturan masyarakat sangat bias.
Hanya orang-orang “normal” saja yang diterima dan menyisihkan orang-orang
“aneh” seperti dirinya. Dalam dialognya kepada Batman ia mengatakan, “Their morals, their code… it’s a bad joke”.
Baginya standar moral, kode/ aturan hanyalah lelucon yang buruk. Ia
melanjutkan, “When the chips are down,
these ‘civilised’ people, they’ll eat each other”. Standar moral/ aturan
itu hanya mungkin berlaku karena ditopang kekuasaan koersif polisi (negara).
Sampai titiknya ketika penopang itu hancur, maka manusia—yang katanya beradab
itu—akan saling memangsa.
Joker nampaknya menerima
pengandaian Thomas Hobbes yang membaca karakter dasar manusia bersifat inferno
(chaos). Dalam adagium terkenalnya
Hobbes melihat potret manusia secara pesimistik sebagai homo homini lupus, manusia akan menjadi serigala bagi yang lain.
Dari sanalah kemudian Hobbes membangun argumennya tentang perlunya otoritas
(raja) untuk mengatur segala hal ihwal agar tercipta keteraturan.
Homo Homini Lupus
Joker tentu melihat karakter
dasar itu dengan baik. Ia menguji bangunan moralitas itu dengan eksperimennya
menaruh bom pada dua kapal penuh penumpang. Penumpang kapal itu diberi
detonator peledak kapal lain. Tentu saja, siapa cepat memencet detonator, akan
selamat. Dalam film itu dikisahkan bagaimana para penumpang menghadapi dilema
moral yang sungguh berat: meledakkan atau diledakkan.
Situasi dilematis seperti itu
mirip dalam film The Hunger Games
(2012). Film itu mengisahkan bagaimana setiap orang harus mempertahankan diri
dalam pertarungan semua melawan semua. Pilihan hanya ada dua: membunuh atau
dibunuh. Sampai ujungnya dari puluhan orang hanya tersisa dua: Katniss Everdeen
dan Peeta Mellark. Masalahnya, pemenang hanya satu orang. Pasangan kekasih itu
harus memilih siapa yang harus mati. Peeta, karena cintanya pada Katniss,
merelakan diri. Namun Katniss kemudian berpikir lain: bunuh diri bersama.
Lantas bagaimana dengan nasib
penumpang dua kapal? Joker, gagal. Katarina Isaksson (2013) yang meneliti
tentang pandangan moral Joker mengatakan, “Dia gagal membuktikan bahwa
paradigma moral masyarakat cacat”. Terbukti, penumpang kapal pertama dan kedua
sama-sama tidak memencet detonator, jadilah mereka selamat semua.
Dalam sudut pandangnya, bila
tiada lagi aturan maka masyarakat akan chaos
dan satu sama lain akan saling membunuh sesuai adagium homo homini lupus itu. Namun ternyata, meleset. Pada titik
nadirnya, masing-masing orang/ kelompok kembali pada akal budi primitifnya.
Yang mana Immanuel Kant dengan baik menjelaskan akal budi primitif itu sebagai
kewajiban moral yang sudah terpatri begitu saja (build in) pada setiap manusia.
Kewajiban moral yang terpatri itu
menyeru: dilarang membunuh sesama manusia. Maka konsekuensinya, mereka
mengorbankan diri bagi (penumpang kapal) yang lain. Sama seperti nasib Katniss
dan Peeta yang karena tak ingin bunuh satu sama lain, bertekad bunuh diri (suicide) bersama-sama. Meskipun kemudian
dicegah oleh Dewan Penyelenggara Pertarungan itu dan keduanya dianggap sebagai
pemenang.
Seorang Anarkis?
Alih-alih sebagai seorang
anarkis, Joker adalah seorang psikopat nihilis. Anarkisme sebagaimana yang
disuarakan para penganjurnya: Proudhon, Kropotkin, Webb, Tolstoy dan
seterusnya, tidak akan membuat eksperimen bom-kapal. Bahkan anarkisme dari
garis insureksionis yang bersetuju dengan cara-cara pemberontakan pun tak akan
melakukan itu. Pemberontakan, bila mana terjadi, dipahami sebagai salah satu
taktik untuk meruntuhkan negara-kapitalis. Sedang apa yang dilakukan Joker,
meminjam kalimat lengkap Alfred kepada Wayne, “Because he thought it was good sport. Because some men aren’t looking
for anything logical, like money. They can’t be bought, bullied, reasoned or
negotiated with. Some men just want to watch the world burn”.
Joker hanya ingin membuat
masyarakat atau dunia hancur tanpa memiliki rencana pasca itu. Ia bilang, “Do I really look like a guy with a plan,
Harvey? . . . I hate plans. Yours, theirs, everyone’s”. Ia hanya ingin
membalas dendam atas kekecewaannya pada masyarakat. Pada titik ini saya berbeda
pandangan dengan Katarina Isaksson, peneliti asal Jerman itu, yang mengatakan
bahwa tujuan besar Joker bersifat ideologis: membuka segala kebusukan, perilaku
korup masyarakat Gotham.
Namun apa yang dia lakukan,
antara motif dan modusnya bertolak belakang. Bila ia memiliki tujuan besar, ia
harusnya fokus pada penghancuran struktur kekuasaan: polisi, aparat pemerintah,
kejaksaan, penjara dan seterusnya. Bukan dengan melancarkan eksperimen
bom-kapal yang penumpangnya masyarakat biasa. Tentu hal ini berbeda dengan
tujuan, modus dan target operasi dari, katakanlah, pemberontakan para anarkis
insureksionis sekalipun.
Sebagai pembanding tengoklah
tokoh antagonis lainnya: Bane dan Miranda Tate dalam Batman: The Dark Knight Rises (2012). Mereka melancarkan
pemberontakan dengan target: pasar saham dan valas, kejaksaan, penjaran,
kepolisian dan lainnya sembari “memberikan” kekuasaan kepada masyarakat bawah.
Meskipun tentu perlu kajian yang mencukupi untuk menyematkan apakah Ra’s al
Ghul adalah kelompok anarkis.
Dengan kesimpulan Joker sebagai
sosok psikopat nihilis itu, bila ditanya apakah Batman harus membunuh Joker?
Saya bukan penganut deontologinya Immanuel Kant yang akan membiarkan Joker.
Saya lebih sreg dengan pandangan utilitarianisme J. Bentham dan JS. Mill, ya
Joker harus dibunuh. Sayangnya Batman memilih melepaskannya sembari berkata, “I don’t want to become that which I hate”. Ya, seperti gaya kebanyakan film Hollywood
(Amerika), yang sering kali sesaat setelah itu mereka tetap membunuhnya karena
Si Musuh menyerangnya kembali dari belakang. Begitulah. []
0 comments :
Posting Komentar