Kita dan Budaya Hujan di Indonesia

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Indonesia dikenal sebagai negeri dua musim: panas dan hujan. Bulan Desember sampai Februari musim hujan datang. Selebihnya kita akan nikmati panas khas negeri tropis. Kita mengalami dua musim itu sudah ratusan bahkan ribuan tahun lamanya. Bukan sekedar beberapa puluh tahun belakangan yang datangnya tak teramati, melainkan rutinitas tahunan yang selalu teramati.

Sebagai hal rutin yang biasa dialami, hujan melahirkan budaya. Sebutlah itu sebagai “budaya hujan”, yakni suatu modus adaptif manusia atau masyarakat mempersiapkan diri menyambut musim hujan. Eskpresi yang paling kasat mata adalah penggunaan payung di jalan-jalan. Namun sebenarnya seberapa kuat budaya hujan kita?

Momok Hujan
Sebagian besar kita mengeluh saat hujan turun. Hujan identik dengan jalanan becek, dingin, pakaian lembab dan potensi flu. Jadilah hujan menjadi momok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Alhasil, secara umum aktivitas dan produktivitas biasanya menurun. Sebagai contoh lihatlah omset pedagang, penjual makanan, toko kelontong dan lainnya jadi turun. 

Tak hanya aktivitas ekonomi, aktivitas sosial pun jadi terganggu. Acara selamatan, tahlil malam Jumat atau pengajian rutin bisa sepi saat hujan. Bahkan kegiatan seminar, pelatihan, rapat organisasi dan sejenisnya juga bisa sepi peserta bila hujan turun.

Singkat kata, pada umumnya kita menilai hujan menjadi sebuah hambatan. Itu dirasakan baik oleh masyarakat atas lebih-lebih menengah-bawah; Baik pejalan kaki maupun pemilik mobil; Baik pedagang makanan pinggir jalan maupun restoran. Semua lapisan masyarakat mengalami dampaknya meski dengan derajat yang berbeda-beda.

Tentu hal yang ironis bila hujan menjadi momok bagi masyarakat Indonesia. Ironis dengan mengingat bahwa kita hidup di dua musim sudah ribuan tahun lalu. Kita mengalami hujan bukan baru tahun kemarin, melainkan puluhan tahun sebelumnya. Sudah sedemikian lama kita hidup bersanding hujan, namun daya adaptif kita terbilang rendah.

Bila daya adaptif kita kuat, masalah sosial-ekonomi seperti di atas tak akan terjadi. Bila terjadi pun tak berpengaruh signifikan. Di beberapa kota seperti Bojonegoro, Jakarta, Kulonprogo diberitakan omset pedagang turun sampai 50% saat musim hujan. Dengan angka sebesar itu, kita tak bisa mengatakan turun sedikit, tapi anjlok alias drastis. 

Budaya Hujan
Hujan sebagai fenomena alam yang terjadi saban tahun harusnya disambut dengan budaya hujan yang kuat. Di Indonesia, pepatah “Sedia payung sebelum hujan” nampaknya kurang berlaku. Pepatah itu sebenarnya menggambarkan modus melalui persiapan dini menyambut hujan. Bentuknya bisa dengan membawa payung, sedia jas hujan, mengenakan sepatu bot dan sebagainya.

Sayangnya, sebagian besar kita enggan melengkapi diri dengan alat bantu itu. Lihatlah, berapa banyak anak sekolah yang di musim hujan ini membawa payung? Atau berapa banyak dari kita yang menyiapkan jas hujan atau sepatu bot? Relatif sedikit. 

Ada kisah menarik tentang budaya hujan di Seoul, Korea Selatan. Di sana muda-mudi, tua-muda hilir mudik menenteng payung saat berangkat kerja. Dengan tetap anggun dan penuh gaya, para eksekutif muda yang dandanannya keren itu juga menenteng payung. Saat hujan turun, warna-warni payung dengan corak artistik menghiasi jalanan. Di sana, hujan tak menjadi kendala orang beraktivitas.

Saat kita masuk ke toko swalayan, kafe, restoran, stasiun subway atau lainnya, tersedia kantong plastik untuk payung basah. Mereka sampai mempersiapkan bagaimana agar payung basah tidak mengganggu. Pemandangan yang sama muncul di Jepang dan Australia. Di tempat-tempat umum tersedia kantong plastik tertulis, “Please, bag wet umbrella here”. Masukkan ke kantong dan bawa serta payung itu ke dalam. 

Itu adalah mozaik budaya hujan di beberapa negara lain. Secara umum detail itu menyiratkan kesiapan masyarakat dengan hujan beserta dampak remeh-temehnya. Dan sayangnya di Indonesia dampak remeh-temeh itu jadi masalah besar. Becek, dingin, takut sakit membuat orang enggan, malas untuk tetap beraktivitas sehingga produktivitas menurun.

Aksi Kreatif
Meski belum pernah dilakukan survai, boleh jadi orang enggan membawa payung karena malu dan ribet. Rasa malu dan ribet yang cenderung tak terjelaskan itu sudah sejak kecil tertanam. Saat sekolah dulu, bila kita membawa payung namun tak turun hujan, kita akan merasa malu. Ditambah biasanya anak kecil membawa payung besar yang tak proporsional untuk ukurannya. Jadilah bahan olok-olok teman lainnya. Mungkin itu satu di antara banyak faktor lain yang dapat menerangkan mengapa seringkali kita enggan menenteng payung meski musim hujan. 

Melampaui itu, budaya hujan dapat menjadi peluang bagi pelaku ekonomi kreatif. Misalnya bagaimana kita harus dapat menciptakan payung yang fashionable dengan corak yang asik. Payung dan jas hujan misalnya, juga bisa didesain sesuai segmen jenis kelamin dan usia. Kekuatannya terletak pada desain yang menarik, elegan sehingga orang merasa tambah keren saat memakainya. Sebagai rujukan kita bisa lihat payung-payung Korea dengan desain yang trendi, yang berbeda dengan payung Indonesia.

Di sisi lain, kita harus membangun kesepakatan nilai baru. Misalnya kita perlu membuat “solidaritas hujan”, bahwa bila hujan turun kita justru harus hadir memenuhi undangan kegiatan tertentu. Mengapa? Karena saat itu akan lebih banyak orang malas untuk hadir. Padahal kita tahu, kegiatan bisa kurang sukses dengan sedikitnya peserta. Untuk itu kita perlu bersolidaritas bagi penyelenggara kegiatan.

Aksi lainnya misal dengan membangun kampanye melalui media sosial tentang #adaptifhujan, #sambuthujan, #hujanberkah dan sebagainya. Kita perlu memproduksi meme-meme atau pesan-pesan untuk merekonstruksi cara pandang masyarakat. Targetnya tentu merubah cara pandang umum: hujan adalah momok, bawa payung itu ribet, memakai sepatu bot itu aneh dan seterusnya.


Aksi-aksi kecil itu tentu perlu dirajut dan dirawat menjadi bagian keseharian. Rajutan detail laku keseharian itu lama-lama akan menjadi budaya hujan yang massif. Dan cara yang paling sederhana adalah: bawa payung sebelum hujan dan berikanlah anak kita payung yang pas untuk usianya. Dan perlu kita budayakan, haram menggunakan hujan sebagai alasan. Ya, karena kita memang hidup di negara dengan musim hujan. Sesederhana itu! []

Dimuat di Harian Satelit Post, 27 Januari 2015

Share on Google Plus

About el-ferda

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :