“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer or the baker
that we expect our dinner, but from their regard to their own interest” –
Adam Smith.
Nalar Fundamen
Bangunan ekonomi kita selama ini
selalu terilhami pernyataan Adam Smith di atas. Yang dapat kita terjemahkan, “Bukan
karena kebaikan hati tukang hati, bir atau tukang roti yang kita harap
menyediakan makan malam kita, tetapi karena kepedulian mereka pada kepentingan
dirinya sendiri”. Dalam bukunya The
Wealth of Nations, Smith mengungkapkan bahwa motif mengejar keuntungan
pribadi itulah yang menggerakkan ekonomi. Bukan sebaliknya, motif untuk berbuat
baik kepada orang lain.
Pada tahap pertama, Smith tidak
salah, pernyataannya itu hanya sekedar refleksi terhadap kondisi masyarakat.
Sedang pada tahap kedua, pernyataan itu lambat-laun menjadi doktrin yang nampak
menjadi pembenar bahwa segala ihwal adalah melulu kepentingan pribadi (self interest). Alhasil, dunia ini
dipenuhi orang yang rakus (greedy)
mengejar keuntungan.
Di atas nalar fundamen seperti
itu bangunan ekonomi berjalan. Menariknya, nalar itu acapkali diragukan saat
krisis ekonomi muncul; Mulai Depresi Besar 1929, krisis moneter dan ekonomi
1997, sampai yang terdekat krisis moneter 2008. Lambat laun beberapa pemikir
meragukan dengan serius nalar itu. Sebutlah Joseph Stiglitz, Amartya Sen dan
paling populer, Muhammad Yunus, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Chittagong,
Bangladesh. Pada pemikir yang ketiga itu, saya akan meminjam gagasannya untuk
dielaborasi lebih jauh.
Muhammad Yunus, penerima Nobel
Perdamaian, kebetulan pada 13 September 2014 lalu singgah di Cibubur, Indonesia.
Di depan ratusan anak muda: siswa, mahasiswa dan pemuda, ia bagi pengalamannya
berkecimpung bersama masyarakat Bangladesh. Ia tampil dengan pakaian khas
Indianya. Tidak berlebihan dan tidak kurang. Ia bilang, “Keyakinan bahwa kita
harus melulu mengejar laba adalah akar masalah ekonomi dewasa ini”. Tentu pernyataan
bukan sekedar jargon dalam kapasitasnya sebagai seorang akademisi.
Ia lanjutkan, “Doktrin ekonomi
selalu bicara kejarlah keuntungan dan kamu akan bahagia. Mengapa bukan,
kejarlah keuntungan dan tolonglah orang dan kamu akan bahagia?” Posisinya jelas
dan tegas, mengkritik model homo
economicus si pengejar keuntungan belaka. Berangkat dari kritik mendasar
itu ia bangun dan kembangkan gagasannya: social
business atau bisnis sosial.
Inti sari dari gagasannya adalah
bagaimana kita membangun usaha yang selain tetap memperoleh keuntungan, namun
juga menolong orang yang membutuhkan. Gagasan fundamental itu melahirkan apa
yang kemudian tenar, Grameen Bank. Grameen Bank yang artinya “bank-nya orang
miskin”.
Sebagai akademisi yang terjun di
masyarakat, ia lihat langsung pengalaman masyarakat miskin Bangladesh.
Bagaimana orang miskin mengalami kesusahan untuk mengakses bank karena tak
punya agunan (collateral). Ia balik
logika bank konvensional: menunggu klien datang; Dengan mendatangi orang-orang
yang membutuhkan dan memberikan mereka pinjaman. Logika konvensional
mengatakan, “Mereka tak bankable,
bahaya, kredit macet nanti meningkat”. Namun pengalaman Yunus mengajarkan hal
yang berbeda, “Ternyata orang miskin bisa mengembalikan pinjamannya. Cukup kita
beri mereka kepercayaan”.
Naluri dan Nurani
Naluri atau insting kita ternyata
cenderung egois dan rasional. Ambillah contoh, dalam doktrin ekonomi kita
diajarkan, “Mengeluarkan sedikit mungkin untuk memperoleh sebanyak-banyaknya”.
Insting itu muncul dalam keseharian, misalnya kita akan tawar harga serendah
mungkin untuk suatu produk tertentu. Atau doktrin yang lain, “Belanja banyak
akan lebih efisien dibanding eceran”. Alhasil di awal bulan kita akan belanja
ke supermarket besar dengan membayangkan nilai efisiensi dibanding belanja di
warung sebelah.
Sebaliknya, nurani kita cenderung
altruis (berorientasi pada kebaikan) dan non-rasional. Agamawan mengajarkan,
“Bersedekahlah dengan memberi semampu kita”. Secara ekonomis sedekah tentu
non-rasional karena bertentangan dengan doktrin di atas tadi. Sedekah, meminjam
istilah Immanuel Kant, adalah sebentuk imperatif kategoris yang adanya karena
semata keharusan etis atau moral. Tentu ini berbeda dengan sebagian etikawan
yang mendasarkan padangannya berbasis etika konsekuensial. Bahwa untuk berbuat
baik kepada yang lain, kita tak perlu harus menerima atau mengharapkannya
secara timbal-balik (konsekuensi).
Nah, alih-alih mempertentangkan dua hal itu:
naluri yang egois dan rasional dengan nurani yang altruis dan non-rasional, Muhammad
Yunus mendamaikannya dalam model bisnis sosial. Satu sisi ia menolong orang
dengan bisnisnya: Grameen Bank, Phone Lady, Solar Cell, Yoghurt for Kids,
Danone Clean Water dan sebagainya; Di sisi lain, secara sadar bisnis-bisnis
itu ia tujukan juga untuk menyelesaikan masalah sosial: akses modal untuk orang
miskin, keterbelakangan informasi, kurang gizi, listrik dan air bersih untuk masyarakat
dan seterusnya.
Dengan model semacam itu bisnis
sosial ternyata tetap dapat mencetak laba. Jadi bukan sekedar program amal (charity). Laba kotor setelah dikurangi
berbagai biaya operasional menjadi laba bersih yang digunakan untuk investasi
pada bisnis sosial lainnya. Jadilah rantai kebaikan itu meluas, membesar dan
yang paling menarik: berdaya lanjut (sustainable).
Ini tentu berbeda dengan model amal sekali waktu yang tak berkelanjutan.
Elaborasi Gagasan: Konsumsi Sosial
Meminjam model bisnis sosial
Muhammad Yunus, saya akan mengelaborasi gagasan yang kemudian saya sebut
sebagai “Konsumsi Sosial”. Istilah ini saya definisikan sebagai pilihan sadar
untuk membelanjakan uang guna memperoleh barang/ jasa dengan mempertimbangkan
juga dampak sosialnya. Nalar utamanya adalah mendamaikan antara naluri yang
berorientasi pada pemenuhan barang/ jasa untuk kepentingan pribadi (egoistic motive); Dengan nurani yang
menimbang imbas dari proses konsumsi tersebut secara sosial (altruistic motive).
Ilustrasi konsumsi sosial yang
saya maksud seperti: memilih membeli sabun, odol, rokok, gula, kopi, mie instan
di warung kecil daripada di toko waralaba besar. Satu sisi kebutuhan kita akan
barang-barang tadi tercukupi, di sisi lain bahwa dengan belanja di warung kecil
kita sedang mendukung kehidupan orang-orang kecil. Ini tentu berbeda bila kita
belanja di toko waralaba besar yang hanya akan memperoleh barang-barang
tersebut tanpa memberi imbas sosial positif. Dan bahkan, seringkali dampak
negatif yang muncul: makin tergerusnya warung-warung kecil oleh toko waralaba
besar itu. Saya katakan, secara etis boleh jadi kita secara tidak langsung ikut
bertanggungjawab.
Berdasar data AC Nielsen Asia
Pasifik Retail and Shopper Trend 2005 menyebut bahwa di negara-negara Asia
Pasifik (kecuali Jepang), pada tahun 1999–2004 rasio keinginan masyarakat
berbelanja di pasar tradisional menurun, sedangkan keinginan mayarakat
berbelanja di pasar modern meningkat dengan tingkat penurunan/ kenaikan 2% per
tahun. Boleh jadi tren tersebut relevan juga dalam konteks keinginan belanja di
warung kecil (tradisional) dengan toko waralaba (moderen).
Bila kita lakukan hitung-hitungan
secara ekonomistik, boleh jadi sebenarnya kita mengalami ilusi tingginya
efisiensi berbanding lurus dengan rendahnya imbas sosial. Mari kita bayangkan.
Dalam rangka mengejar efisiensi (hemat) kita cenderung akan membeli 5 buah
sabun seharga Rp. 3.000/ buah di supermarket besar atau toko waralaba. Kemudian
membeli satu pak sampo saset Rp. 9.000/ 24 saset, 10 bungkus mie instan seharga
Rp. 2.500/ bungkus dan satu pak kopi Rp. 12.000/ 12 bungkus. Totalnya kita akan
mengeluarkan Rp. 61.000 dan kita anggap itu sudah efisien/ hemat.
Bandingkan bila kita membeli
barang dan jumlah yang sama di warung kecil selama satu bulan. Sabun yang kita
beli seharga Rp. 3.500/ buah, sampo Rp. 500/ saset, mie instan Rp. 2.700/
bungkus dan kopi Rp. 1.200/ bungkus. Maka total semuanya adalah Rp. 70.900. Dan
bila dibandingkan selisih antara belanja sekaligus dengan eceran selama satu
bulan kita “sudah menghemat” Rp. 9.900/ bulan.
Bila uang bulanan kita sebesar
Rp. 700.000 maka Rp. 9.900 hanya 1,4% saja dari semuanya. Andaikan kita
bersepakat dengan ajaran sedekah, maka angka itu belum mencapai standar umum
yakni 2,5% dari penghasilan dalam tradisi agama Islam, misalnya. Bisa kita
katakan, dalam rangka menghemat Rp. 9.900 kita menjadi kurang etis sehingga
meninggalkan bentuk kebajikan tertentu: berbuat baik bagi orang lain, bahkan di
bawah standar umum (under standard). Dengan
membelanjakan seluruhnya di supermarket atau toko waralaba, maka kita sedang
menggunakan potensi penghematan Rp. 9.000 itu untuk diri sendiri, namun
bukankah itu wujud kecil dari sikap rakus?
Fase Latihan: Kuota Belanja
Bila kita bersetuju dengan
argumentasi “Konsumsi Sosial” di atas, maka perlulah bagi kita untuk merubah
kebiasaan. Tahap awalnya adalah dengan membuat kuota belanja: berapa persen
akan dibelanjakan di supermarket atau toko waralaba (karena ketersediaan barang
tertentu) dan berapa persen yang akan dibelanjakan di warung kecil. Sebagai
ilustrasi sebagai berikut:
Kuota
Belanja (%)
|
Toko
Waralaba
|
Warung
Kecil
|
Bulan Pertama Latihan
|
80%
|
20%
|
Bulan Pertama Latihan
|
70%
|
30%
|
Bulan Ketiga Latihan
|
60%
|
40%
|
Kuota tersebut tentu dapat kita
modifikasi sesuai komitmen sosial kita masing-masing. Namun bila ikuti pola
itu, maka warung kecil akan mengalami peningkatan omset bulanan yang
signifikan. Dengan makin meningkatnya omset bulanan, mereka akan mampu untuk menambah
jumlah stok barang dengan beragam variasi produk, merek dan jenis. Efek
lanjutannya, frekuensi belanja di warung tersebut meningkat karena
barang-barang yang dijual sesuai dengan selera kita.
Bila bisnis (sosial) dengan motif
untuk menolong orang lain adalah realistis, maka konsumsi (sosial) untuk
menolong orang lain juga sama realistisnya. Dengan menginsyafi pernyataan Adam
Smith di awal tulisan, maka apa yang dibutuhkan adalah sekedar merubah motif
dan kebiasaan kita. Gagasan sudah ada, tinggal kita praktikkan! []
0 comments :
Posting Komentar