Kepemimpinan Nasional: Historisitas dan Konfigurasi Kontemporer

Pengantar

Analogi sederhana pemimpin adalah nahkoda kapal. Ia memberikan arah kemana kapal menuju. Pemimpin nasional artinya pemimpin yang mengarahkan seperti apa bangsa harus tumbuh-berkembang. Karenanya, pemimpin selalu punya visi. Visi adalah arah, tujuan, cita-cita.

Indonesia telah melalui berbagai fase sejarah. Bila kita buat pembabakan sejarah, bisa kita sebut: zaman Pergerakan, Perjuangan, Kemerdekaan, Pembangunan, Reformasi dan Pasca Reformasi (Kontemporer). Masing-masing zaman tersebut tentu melahirkan anak zamannya sendiri. Mari kita bedah satu per satu babak sejarah tersebut.

v  Pergerakan
Zaman ini merupakan zaman inisiasi atau pembiakan kesadaran tentang siapa dan harus bagaimana pribumi. Inisiasi kesadaran tentang nilai-nilai kemanusiaan, kemartabatan, keberadaban dan seterusnya. Nama-nama yang perlu kita sebut seperti: Ki Hadjar Dewantara, dr. Cipto Mangunkusumo, dr. Soetomo, K.H. Achmad Dahlan, H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim, Muhammad, Husni Thamrin, R.A. Kartini dan H. Samanhudi.

Tokoh-tokoh tersebut membangun kesadaran pribumi agar hidup lebih maju. Ruang semainya sesuai dengan masing-masing bidang mereka: pendidikan, keagamaan, intelektual, politik dan seterusnya. Modus umumnya adalah menyebarluaskan gagasan tentang kemanusiaan yang bermartabat.

Gagasan kemanusiaan itu mereka peroleh mula-mula dari persinggungan dengan kolonial Belanda dalam taraf diskursif. Lantas menginspirasi untuk memperjuangannya bagi pribumi. Kurang-lebih tetralogi Pulau Buru Pram bisa menggambarkan hal tersebut. Dimana gagasan tentang humanisme universal sangat mengemuka menjadi tema sentral zaman itu.

Pada fase ini, cita-cita Indonesia dan kemerdekaannya belum tergambar jelas. Sudah ada visi (umum) tentang kemanusiaan yang harusnya tak tercederai. Namun belum ada visi (konkret) bagaimana agar nilai itu mewujud. Politik pada zaman ini bermakna pengabdian dan pergerakan sosial.

v  Perjuangan
Pada zaman ini visi tentang Indonesia Merdeka mulai terbentuk. Bahwa kemanusiaan yang beradab itu hanya bisa tercapai bila kolonial hengkang dari bumi nusantara. Maka zaman perjuangan adalah jaman penuh darah. Zaman ini merupakan kelanjutan dari fase inisiasi atau pembiakan kesadaran di atas.

Soekarno, Hatta, Sjahrir, Aidit, Tan Malaka dan lainnya adalah tokoh-tokoh kunci. Dan sebagiannya adalah kader langsung dari HOS Cokroaminoto. Oleh Cokro, kesadaran mereka digembleng, politik mereka dilatih.

Bila pada fase inisiasi aneka warna ideologi belum kentara, pada aneka perdebatan ideologi mengemuka. Visi tentang Indonesia yang akan datang dan bagaimana mencapainya menjadi debat sengit antar aktor. Itulah yang namanya politik pada zaman perjuangan. Terasa sekali aura politik dalam makna luhurnya: kebijakan (policy) atau kebajikan umum (common virtue).

Apa yang perlu kita perhatikan pada zaman Perjuangan adalah kemudaan para aktornya. Dibesarkan langsung oleh kontradiksi kolonialisme, di usia muda (20 tahunan) visi kepemimpinan mereka telah membaja. Bolehlah kita kutip adagium klasik, “Keadaan menentukan kesadaran”. Keadaan revolusioner, membuat kesadaran revolusioner.

Yang kedua adalah serap pengetahuan serta pergaulan antar peradaban yang mereka miliki imbas dari Politik Etis Belanda. Mereka belajar dan memahami betul teori-teori besar (grand theory) seperti yang sekarang sering kita kutip: Marxisme, sosialisme, kapitalisme dan sebagainya.

v  Kemerdekaan
Tentu saja fase kemerdekaan adalah hasil konkret dari visi zaman Perjuangan: Indonesia Merdeka. Catatan penting fase ini adalah debat kebangsaan yang magnitude-nya terasa sampai sekarang. Indonesia Merdeka itu akan dibangun di atas filosofi seperti apa (grondslag)? Lalu apa bentuknya? Dan seterusnya.

Pada fase kemerdekaan duet Soekarno-Hatta adalah yang paling dikenang sejarah. Orang mencatat Soekarno sebagai Orator ulung, sedangkan Hatta adalah Manajer handal. Paduan itu sulit dicari padanannya. Soekarno dengan visi ambisiusnya: Persatuan Indonesia. Hatta dengan visi Demokrasi dan Kesejahterannya.

Sekali lagi, fase itu politik nasional beraura positif. Debat politik adalah debat ideologi dan debat kebijakan. Simaklah pidato-pidato Soekarno-Hatta dengan muatan nilai yang kental dan direksi kebijakan yang kuat.

v  Pembangunan
Soeharto tampil menggantikan Soekarno. Visi utamanya adalah Membangun Indonesia. Maka apa yang dilakukan Soeharto pertama-tama adalah mencari modal untuk membangun. Lahirlah UU PMA No. 1 Tahun 1966. Dia paham betul bahwa untuk membangun dibutuhkan para ekonom dan engineer, ditariklah para sarjana Indonesia yang belajar di Amerika (yang kita kenal dengan Mafia Berkeley).

Para ekonomi dan engineer membangun wajah Indonesia pasca merdeka dengan pendekatan teknokratis dan top-down. Perencanaan dibuat dengan bagus lewat REPELITA dan PELITA. Rencana strategis 25 tahun dibuat dengan evaluasi per lima tahun.

Untuk menyokong visi pembangunan itu, harga yang dibayar cukup mahal. Soeharto harus menyetabilkan politik. Suara kritis dibungkam dan demokrasi menjadi prosedural. Orang bilang Orde Baru adalah Orde Otoriter.

Politik pada zaman ini cenderung berisi tentang “debat” kebijakan pembangunan dan program mengisi kemerdekaan. Ya, karena ideologi telah dituntaskan Soeharto menjadi mono-ideologi dan mono-loyalitas: Pancasila. Pendekatannya disokong oleh banyak aparatus: ABRI, Golkar, ICMI, KB, KUD, TVRI, P4, Babinsa, Litsus, sekolah, film, buku, sastra, RRI dan berbagai macam lembaga atau ormas lainnya.

Untuk menjaga efektivitas mono-ideologi, maka “hantu komunisme” harus selalu dirawat. Daniel Dakhidae bilang modusnya lewat religiofication insecurity.

v  Reformasi
Zaman Reformasi adalah babak yang sama sekali berbeda dan boleh disebut sebagai diskontinyuitas sejarah. Diskontinyuitas bukan dalam arti tak ada kesinambungan dengan sejarah sebelumnya, melainkan sebuah fase retakan atau anomali. Orde Baru tumbang. Soeharto turun. Kran demokrasi mulai terbuka.

Sebutlah nama-nama yang mewarnai fase ini seperti: BJ Habbibie, Gus Dur, Megawati Amien Rais, Akbar Tanjung dan lainnya. Di luar pemerintahan banyak lainnya: Cak Nur, Cak Nun, Cosmas Batubara dan beberapa nama yang hari ini tenar: Fadjroel Rahman, Budiman Sujatmiko dan sebagainya.

Sebagai fase anomali, Indonesia mengalami set back. Pergerakan bangsa menjadi sedikit mundur ke belakang untuk menyelesaikan berbagai PR: demokratisasi, KKN, kejahatan HAM 1965, amandemen konstitusi dan berbagai tuntutan sistemik lainnya.

Semangat anti Orde Baru sangat kuat pada fase ini. Maka GBHN, REPELITA-PELITA dibuang. Golkar dibubarkan berubah menjadi Partai Golkar. ABRI ditarik ke barak dan berubah menjadi TNI. P4 dihapuskan. Dan kebijakan/ program lain yang disinyalir sangat berwarna Orde Baru.

Reformasi merupakan babak penting bagi Indonesia karena banyak perubahan mendasar terjadi terutama pada tananan bernegara. Hal itu ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga negara baru lahir: MK, KY, MA dan lembaga negara bantu: KPK, KPI, KPAI, Komnas HAM dan seterusnya. Di parlemen juga terjadi perubahan mendasar: DPR menjadi kuat posisinya. Meskipun multi partai diterapkan.

Pada fase ini, aktivis-aktivis (hasil kaderisasi ormas mahasiswa: GMNI, HMI, IMM, PMII, KAMMI, PMKRI, dll) banyak terlibat dalam pemerintahan (eksekutif atau legislatif). Mereka pikir adalah cara terbaik untuk merubah keadaan adalah dengan terlibat aktif di dalamnya. Sedangkan sebagian yang lain memilih jalur non-governmental organization, maka lahirlah banyak LSM di tanah air dengan beragam isu dan sektor.

Makna politik adalah demokratisasi, hak azasi manusia dan melawan korupsi. Bila digambarkan dalam garis ordinat, maka fase reformasi adalah fase dimana Indonesia berada di titik minus satu (-1) dan agenda-agenda reformasi adalah mengembalikannya ke titik normal (nol). Sedangkan fase berikutnya adalah menuju titik positif satu.

v  Pasca Reformasi
Sistem politik mulai tertata. Isu demokratisasi mulai terlembaga dan melembaga. Berbagai PR sudah cukup terselesaikan di fase reformasi. Maka agenda kepemimpinan nasional di fase ini adalah kembali membangun yang terserak.

SBY tampil sebagai nahkoda. Ekonomi relatif stabil dan pertumbuhan tinggi (sampai 6%). Indonesia keluar dari kategori negara berkembang menjadi negara maju (secara kapita). Berbagai paket investasi (asing) berdatangan. Otonomi daerah diberlakukan. Kelas menengah Indonesia tumbuh. Seiring dengan itu, demokrasi begitu bebas. Ditambah dengan social media yang merubah lanskap demokrasi itu sendiri.

Di sisi lain, korupsi meningkat. Trust masyarakat terhadap birokrasi rendah apalagi kepada elit politik. Kepemimpinan nasional berkubang lumpur korupsi, gratifikasi dan sejenisnya. Muasalnya adalah biaya politik yang tinggi karena pemimpin tak lagi seperti pada zaman sebelumnya: lahir dari tengah masyarakat dengan visi perubahan, melainkan lahir dari besutan citra.

Apatisme politik meningkat ditandai dengan angka Golput yang tinggi baik di Pemilu atau Pilkada. Pada zaman ini makna politik benar-benar berada di titik nadir. Politik sekedar kepentingan partai politik yang hanyalah sekedar memperoleh kursi. Debat ideologi, visi, program relatif mandul yang menandai juga kemandulan kaderisasi dalam partai politik.

Aktivis-aktivis yang sebelumnya ramai di pemerintahan mulai tergantikan sosok-sosok baru: profesional dan 63% adalah pengusaha. Semangat zaman (zeitgeist) era ini adalah ekonomi sebagai panglima dengan virus kewirausahaan yang mewabah dimana-mana.

Ironisnya, disparitas sosial-ekonomi tinggi (Gini Index: 0,42). Itu menandakan bahwa pembangunan Indonesia saat ini berpusat pada pertumbuhan dan kurang merata. Isu pembangunan yang Jawa-sentris muncul. Jawa yang serba ada berbanding dengan luar Jawa yang kurang ada.

Analisis Aktor-Faktor
Bila kita petakan aktor-aktor dalam beberapa babak sejarah tersebut, maka bisa kita simak dalam tabulasi berikut:

Dimensi
Pergerakan
Perjuangan
Kemerdekaan
Pembangunan
Reformasi
Pasca-Ref.
Babak
Perdana
Kedua
Ketiga
Aktor
Aktivis sosial kemanusiaan
Agamawan
Profesional
Aktivis politik

Aktivis politik
Militer
Birokrat
Teknokrat

Aktivis sosial
Aktivis politik
Militer
Profesional
Entrepreneur
Fase
Inisiasi
Konfrontasi
Aktualisasi
Aksi
Evaluasi
Aksi
Orientasi
Kemanusiaan
Liberasi
Anti Nekolim
Developmen-talisme
Demokrasi
Konstitusi
Liberalisme
Citra Politik
Positif
Positif
Positif
Stagnan
Positif
Negatif
Semangat
Perubahan
Perubahan
Perubahan
Kemapanan
Koreksi
Perubahan
Fokus
Sosial-Komunal
Politik
Politik
Ekonomi
Politik
Ekonomi


Konfigurasi Kontemporer: Menakar Kepemimpinan Jokowi
Era Jokowi boleh dibilang fase Reformasi Jilid II. SBY yang memimpin selama 10 tahun ternyata mengalami kelembaman (inersia) meski tak seakut Orde Baru. Apatisme politik yang tinggi, liberalisasi ekonomi yang kuat serta kesenjangan sosial-ekonomi yang besar membuat capaian SBY cukup minor (selain pertumbuhan ekonomi).
v  Tesis I: Orang Baru untuk Menyelesaikan Masalah
Sebagai pribadi, Jokowi lahir sebagai anomali. Meskipun boleh jadi hal ini merupakan dampak dari Obama-Syndrome yang mematahkan fatsun klasik kepemimpinan Amerika “White, Anglo-Saxon, Protestant” (WASP). Anomali-anomali itu seperti:
  • Orang Biasa, bukan keturunan “tokoh besar” dari dinasti politik manapun. Ini menggerakkan harapan baru bagi masyarakat umum. Analisis Bourdiuean akan dengan mudah mengenali habitus “orang biasa” Jokowi lewat lingkaran habitus kehidupan keluarganya (misal: pernikahan anaknya dengan orang biasa yang secara ekonomi miskin). Ini keluar dari fatsun politik orang Jawa (kekuatan raja terletak pada: keris dan penis).
  • Merangkak dari Bawah, pengusaha mebeler, wali kota, gubernur dan presiden.
  • Dukungan Relawan, merupakan penanda baru politik Indonesia kontemporer yang tak pernah ada di zaman sebelumnya.
  • Keras Tekad, ingat kasus Papa Minta Saham dimana ia disebut koppig (keras kepala). Terbukti pada kasus eksekusi mati terpidana Narkoba.
  • Profesional, profil ini berbeda dengan beberapa pemimpin fase sebelumnya yang cenderung masih berbau intelektual. SBY sekalipun meski militer adalah seorang Doktor. Jokowi murni profesional.


v  Tesis II: Cara Baru untuk Menyelesaikan Masalah
Jokowi menawarkan harapan baru yang nampaknya sebagai koreksi terhadap era SBY. Ada beberapa kebaruan dalam isu dan pendekatan:

  • Poros Maritim, yang semenjak dulu pemerintahan tak pernah menggubris sumber daya laut, hari ini mulai digarap.
  • Revolusi Mental, merupakan strategi kebudayaan untuk membangun masyarakat dan terutama birokrasi agar lebih melayani.
  • Membangun dari Pinggiran, untuk menjawab ketimpangan pembangunan yang Jawasentris.
  • Pembangunan Infrastuktur, dengan prioritas: luar Jawa, transportasi publik, sarana vital (bendungan) dan lainnya.
  • Blusukan, model go and see management gaya Jepang cukup efektif menggerakkan masyarakat.
  • Aliansi China, ini merubah dinamika politik internasional Indonesia yang biasanya berkiblat ke Barat (Amerika) berubah ke Timur (China).
  • Naik-Turun BBM, secara obyektif semua Presiden selalu tersandera dengan isu BBM. Namun Jokowi bisa lepas dengan pola menaikkan dan menurunkan sehingga tak lagi menjadi isu yang menakutkan dan membuat instabilitas politik.
  • Dana Desa, guliran dana tak lagi di pusat namun ke desa-desa. Ini akan menggerakkan sektor riil dan produksi di masyarakat.


v  Tesis III: Kepemimpinan Cenderung Lemah
Sebagai figur Jokowi memberi harapan baru bagi masyarakat. Makna politik mulai pulih menjadi: kerja, kerja, kerja. Ia menyuntikkan gairah baru: perubahan. Namun ada beberapa celah yang bisa menghambat:

  • Bukan Pemimpin Partai, hanya kader PDI Perjuangan. Bukan pemimpin atau pendiri partai, disbanding misalnya dengan SBY.
  • Sedikit Sumber Daya, dia tak punya bisnis ekstraktif seperti ARB, JK, Surya Paloh dan sebagainya.
  • Kualitas Menteri Rendah, banyak analis mengatakan kualitas para menterinya di Grade 2.
  • Tersandera Kepentingan, partai pengusung beserta koalisi dan organisasi-organisasi relawan.


v  Tesis IV: Dukungan Publik yang Besar

  • Media Darling, terlepas tulus atau pencitraan segala ihwal Jokowi itu menjadi sangat menjual. Erat kaitannya dengan komunikasi politik.
  • Internasional, dukungan negara-negara lain juga besar. Bahkan selalu menjadi topik di beberapa media luar negeri.
  • Kolaborasi, misalnya dengan para relawan: Hachkachton dan diikuti di beberapa Kementerian/ LN lainnya cenderung lebih terbuka untuk melibatkan elemen masyarakat sipil.
  
Jadi, dengan melihat beberapa premis di atas, tahun kedua kepemimpinan Jokowi relatif masih aman. Konflik hanya terjadi di lingkaran elit karena lemahnya kepemimpinan politik Jokowi. Namun secara umum Jokowi masih kuat sebagai pemimpin nasional.

Konfigurasi dan Isu Umum Kepemimpinan Nasional

  •  Kekuasaan (dalam makna Foucauldian) tersebar di banyak lembaga. Baik di dalam zona state, market dan community. Misalnya, berbagai organisasi masyarakat sipil dan tokoh/ figur (budayawan, agamawan, akademisi, intelektual publik, dll). Lembaga-lembaga think tank menjamur. Tidak ada figur/ tokoh sentral dalam kepemimpinan nasional.
  • Demokratisasi terjadi, ruang permainan terbuka lebar maka panggung bisa diisi siapapun; Aktivis tak lagi menguasai ruang politik. Justru mulai tergantikan oleh para profesional dan pengusaha.
  • Biaya politik masih tetap tinggi. Maka KKN masih akan menjadi isu kuat 10-15 tahun mendatang. Reformasi partai politik harusnya menjadi salah satu agenda strategis pemimpin-pemimpin nasional kita.
  • Kaderisasi berjalan secara terbuka, maka partai politik harus membangun signifikansinya kembali dalam sistem politik dan kepolitikan tanah air.
  • Social media membawa pengaruh besar. Ahok, Ridwan Kamil, Tri Risma, Ganjar, Bupati Batang dibesarkan oleh social media. Pemimpin dan kepemimpinan nasional harus memanfaatkannya sebaik mungkin sebagai ruang publik yang demokratis (citizen menjadi netizen).
  • SARA tak lagi menjadi masalah berarti bagi keindonesiaan. Akar rumput bisa menerima perbedaan. Isu SARA hanya komoditas politik (Sunni-Syiah, Ahmadiyah, dll).
  • Isu-isu global seperti terorisme sebenarnya tak akan terlalu berpengaruh di Indonesia. Yang justru berpengaruh adalah pakta-pakta dan perjanjian perdagangan bebas baik dalam tingkat regional maupun antar benua. Restriksi, proteksi dibutuhkan untuk menjaga kedaulatan ekonomi Indonesia.
  • Masalah kesenjangan sosial-ekonomi akan menjadi isu yang menguat seiring dengan kesenjangan sosial-ekonomi global.


Penutup
Analisis singkat di atas merupakan analisis historis-sosiologis bagaimana kepemimpinan nasional dari masa ke masa. Analisis itu memperlihatkan kecenderungan/ pola umum yang muncul dengan berbagai variasi-variasi aktor dan faktor yang berbeda.  []

Pengantar diskusi Leadership Training Center II BEM UMP, 30 Januari 2016, Purwokerto 
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :