Oleh: Firdaus Putra, HC.*
Permendesa No. 4/ 2015
menyebut Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes dapat menjalankan bisnis sosial
(Pasal 19). Istilah bisnis sosial ini merupakan kata kunci untuk memahami modus
operandi BUMDes yang saat ini ramai didirikan di desa-desa. Tentu saja istilah
bisnis sosial harus kita pahami sebagai paradigma umum yang mengkerangkai model
usaha BUMDes.
Istilah bisnis sosial pada
mulanya diperkenalkan Muhammad Yunus pendiri Grameen Bank, Bangladesh.
Praktiknya, bermitra dengan beberapa perusahaan besar Yunus menggunakan
investasi mereka untuk membuat perusahaan sosial. Alhasil lahirlah perusahaan
air minum, susu fermentasi, ponsel dan lainnya dengan tujuan menciptakan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam bisnis sosialnya, Yunus
selalu mengembalikan investasi perusahaan mitra pada waktu yang disepakati.
Bedanya dengan investasi konvensional, Yunus tidak memberikan deviden terhadap
investasi dalam bisnis itu. Misalnya, perjanjian menyebut pokok investasi akan
dikembalikan pada tahun kelima tanpa deviden sepeserpun. Dalam lima tahun,
Yunus mengelola dana investasi itu dalam berbagai bisnis yang sosial.
Bisnis yang Alamiah
Model bisnis sosial Yunus di
Bangladesh berkembang bukan semata karena investasi perusahaan. Investasi
sekedar pemantik awal. Sistemlah yang membuat bisnis tetap berjalan, berkembang
dan berkelanjutan. Meski bertujuan sosial, sistem harus bekerja sebagaimana
bisnis profesional. Berbagai biaya, margin keuntungan dan lainnya dihitung dengan
benar. Sehingga model bisnis sosial yang dikembangkannya mencapai—apa yang saya
sebut sebagai—momen “bisnis yang alamiah” (nature
of business).
Momen “bisnis yang alamiah” itu
harus tercapai agar investasi dapat dikembalikan. Tentu hal itu karena sedari awal
dana yang digelontorkan oleh perusahaan bukan dana sosial (CSR) melainkan dana
investasi. Sebagai “bisnis yang alamiah” sistem harus bekerja agar bisnis dapat
membiayai dirinya sendiri dan tak bergantung pada suntikan investasi baru.
Sebaliknya, investasi awal itu
menghasilkan pemupukan modal yang digulirkan kembali menjadi bisnis sosial
lainnya. Misalnya berawal dari perusahaan air minum, kemudian beranak menjadi
usaha susu fermentasi. Dalam model seperti itulah BUMDes harus beroperasi.
Meskipun UU No. 6/ 2014 mengamanatkan adanya Dana Desa, jangan sampai BUMDes
tergantung terus-menerus kepada dana tersebut.
Bila ketergantungan terhadap
Dana Desa terjadi itu menggambarkan sistem bisnis tidak bekerja dengan baik.
Boleh jadi capaiannya dari luar nampak besar, tapi sesungguhnya kamuflase
belaka. Ketergantungan terhadap gelontoran dana dari Pusat justru akan
berbanding terbalik dengan semangat UU Desa: kemandirian lokal.
Manajemen Profesional
Momentum nature of business itu bisa tercapai salah satunya dengan
pengelolaan BUMDes secara profesional. BUMDes harus dikelola orang kompeten
yang minimalnya memiliki dua kecakapan dasar: kewirausahaan dan keterampilan
manajemen. Bila tak ditemukan orang kompeten dalam desa tersebut, sebagaimana
Pasal 14 Permendesa, maka harus ada diskresi khusus sebagai solusinya.
Adagium lama mengingatkan,
“Investasi sebesar apapun akan hancur bila kelembagaanya buruk”. Salah satu
aspek kelembagaan ini adalah adanya dukungan orang kompeten tadi. Bila
pembentukan BUMDes sarat dengan kolusi dan nepotisme, besar kemungkinan sulit
menemukan orang yang dimaksud. Solusinya, sedari awal pembentukan serta
pengangkatan pengelola BUMDes harus transparan.
Kemudian pengelola yang terpilih
harus bisa memberikan studi kelayakan bisnis yang menyeluruh sampai hitungan break event point-nya. Dari sana pengurus
dapat membuat pentahapan pada tahun ke berapa suatu unit bisnis mandiri. Hal
itu harus menjadi salah satu indikator keberhasilan Pengurus dan Pengelola
untuk memacu kinerjanya. Ironis tentunya bila gelontoran Dana Desa sebagiannya
selalu digunakan untuk menutup kerugian.
Asas Subsidiaritas
Yunus mengembangkan bisnis
sosial di Bangladesh dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Yang mana
layanan tersebut belum diselenggarakan anggota masyarakat lainnya. Ini
menyiratkan bahwa Yunus menggunakan asas subsidiaritas dalam pengembangan
bisnis sosialnya. Asas ini mengatur: apa yang tak bisa diselenggarakan
masyarakat, itulah yang diselenggarakan bisnis sosial. Dan apa yang bisa
diselenggarakan masyarakat, itulah yang didukung dengan bisnis sosial.
Asas itu bertujuan agar jangan
sampai bisnis sosial justru mematikan bisnis-bisnis milik anggota masyarakat.
Sebaliknya, keberadaan bisnis sosial harus mewujud sebagai lembaga penyangga (buffer institution) bangunan
sosial-ekonomi masyarakat setempat. Dalam konteks ini, Pengurus dan Pengelola BUMDes
harus jeli membaca peluang bisnis di masyarakatnya.
Bila sebagian besar masyarakat
mempunyai warung/ toko maka BUMDes tak boleh mendirikan supermarket. Yang harus
ada justru pusat kulakan untuk menyuplai warung/ toko masyarakat tersebut. Bila
di desa potensi produksinya tinggi, BUMDes harus fokus bagaimana memasarkan
produknya. Dan bila di desa banyak kendaraan bermotor tapi tak ada bengkel,
akan bagus bila BUMDes membuka bengkel dan toko suku cadangnya. Jenis-jenis
usaha lain bisa dikembangkan tetap dengan memperhatikan asas subsidiaritas
tersebut.
Hasil riset Dodi Yudiardi
(2015) tentang BUMDes di Kab. Garut memperlihatkan bahwa dari 157 BUMDes, 39 di
antaranya berupa layanan simpan pinjam, 51 berupa pasar desa, 24 di sektor
perdagangan, 23 adalah jasa layanan dan 20 lainnya berupa penyediaan air
bersih. Bisa kita lihat sektor yang paling banyak adalah layanan simpan-pinjam
dan pasar desa. Hal itu menyiratkan BUMDes mewujud sebagai lembaga penyangga masyarakat.
Orientasi Non Profit
Yunus mendirikan beberapa
perusahaan sosial di Bangladesh dengan tujuan melayani kebutuhan masyarakat.
Bila tercipta akumulasi modal, maka digunakan kembali dalam investasi sosial
lainnya. Tujuan dasar ini membuat perusahaannya bersifat non-profit. Sehingga
bisnis sosial Yunus bekerja secara operational
at cost: dihitung berdasar biaya
pokok untuk menghasilkan produk/ jasa. Margin keuntungan ditetapkan bukan dalam
konteks profit oriented, melainkan
untuk pengembalian investasi dan pemupukan modal.
BUMDes perlu menggariskan hal
tersebut agar berbagai layanan dapat diakses masyarakat dengan biaya/ harga
terjangkau. Motif profit misalnya untuk Pendapatan Asli Desa (PADes) perlu
diperkecil karena akan menjadi beban masyarakat. Sebaliknya, dengan memberikan
layanan berbiaya murah dalam produk/ jasa, masyarakat akan memperoleh berbagai
macam insentif ekonomi lainnya.
Pertama, efisiensi biaya
produksi. Misalnya BUMDes menjual sarana produk pertanian dengan harga
termurah. Dampaknya produksi masyarakat akan meningkat. Kedua, efisiensi
pengeluaran rumah tangga. Misalnya BUMDes menyelenggarakan bengkel dan cuci
motor/ mobil berikut suku cadangnya. Ketiga, efisiensi dalam PPN. Misalnya
BUMDes menjadi supplier bagi warung/
toko masyarakat yang membebankan PPN per unit produk dari keuntungan BUMDes.
Keempat, efisiensi biaya bunga. Dalam kasus BUMDes menyelenggarakan
simpan-pinjam murah untuk masyarakat.
Dengan mengadaptasi model
bisnis sosial sebagai kerangka BUMDes, harapannya masyarakat desa akan
sejahtera. Berbanding terbalik dengan itu, PADes yang tinggi akan percuma bila
berbagai layanan masyarakat diselenggarakan dengan berbiaya mahal. Pembangunan
(infrastruktur) desa harus dari sumber berbeda sehingga BUMDes tidak mengalami
beban ganda (double burden). Terobosan
yang perlu ada, bila mana BUMDes sudah mandiri, investasi awal desa dapat
dikembalikan dan dialokasikan sebagai sumber dana pembangunan.
Belajar dari Muhammad Yunus
kita memperoleh gambar besar bahwa BUMDes seyogyanya harus berkarakter dan
berperilaku sebagai perusahaan sosial. Tujuan utama dan pertama adalah melayani
masyarakat. Efek domino dari layanan-layanan BUMDes itulah yang akan
menyejahterakan masyarakat desa. []
_______________
*
Penulis adalah Direktur Kopkun Institute, Institut Sosial Ekonomi dan Koperasi
(www.kopkuninstitute.org). Tulisan sebelumnya telah diterbitkan pada Harian Satelit Post, 1 Februari 2016 Hal. 7 Kolom Public Service.
1 comments :
terima kasih atas artikel anda yang menarik dan bermanfaat ini. semoga memberikan manfaat bagi pembacanya. saya memiliki artikel sejenis yang bisa anda kunjungi di sini EKONOMI
Posting Komentar