Proses Membranding Lembaga: Antara Hard Name dan Soft Name


Contoh
Nama Lembaga
Ini kisah bagaimana membuat nama sebuah lembaga. Bermula dari sebagian Alumni Unsoed ingin mendirikan lembaga think tank dalam domain kepemimpinan dan demokrasi. Kemudian moderator mempersilahkan masing-masing mengusulkan nama, sebagai berikut:

  • Indonesian Monitoring on Politic, Economy and Defence Institute (IMPED Institute)
  • Leadership and Democracy Research Center (Leader Center)
  • Indonesia Solidarity Institute (ISI)
  • Indonesian Politic, Economy and Defence Watch (IPEDW)
  • Radic Institute
  • Pusat Studi Kerakyatan (Pusaka) Soedirman
  • Strategic Thinking for Drive Independency (STDI)
  • Trias Politica Institute/ Trias Politica Research Center
  • Indonesian Politica Watch


Beberapa jam kemudian saya mengusulkan nama yang relatif berbeda “Sammita Institute | Institute for Leadership and Democracy”. Saya ambil “sammita” itu dari bahasa Sansekerta/ Sanskrit yang akan saya kisahkan proses kreatifnya di sini.

Dengan menggunakan kamus English – Sanskrit saya translasi “leadership”, hasilnya beberapa kata yang kurang enak didengar: nayakatva. Kemudian “leader” hasilnya: pramuka, nayaka, vicaraka, puroga dan seterusnya. Sebagai branding tentu kurang pas. Bagaimana dengan “democracy” hasilnya: prajatantra dan lokatantra. Sama pun, itu belum enak didengar.

Lantas saya berpikir, nilai apa yang bisa diturunkan sebagai pembentuk bangunan demokrasi serta kepemimpinan? Saya kerucutkan menjadi kesetaraan/ kesederajatan atau “equal”. Dari kata equal inilah lahir “sammita” yang berarti setara/ sederajat.  Saya kemas jadi satu dan hasilnya “Sammita Institute | Institute for Leadership and Democracy”. Saya tafsirkan demikian:

Sammita berasal dari bahasa Sansekerta berarti sederajat (equal) sebagai kata sifat (ajektif) dengan jenis kata perempuan (female).

Nilai dasar demokrasi adalah kesederajatan (equality) yang membedakannya secara kontras dengan berbagai model pemerintahan lainnya. Kesederajatan mengakui dan menggaransi bahwa setiap warga negara (citizen) mempunyai hak-kewajiban yang sama.

Sammita sebagai kata sifat “yang sederajat” merupakan model ideal yang dituju. Bahwa model apapun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik harus bisa “yang sederajat”.

Sammita sebagai kata berjenis perempuan membawa pesan bahwa kepemimpinan dan demokrasi harus dapat “merawat” keindonesiaan yang bhinneka.

Ekofeminisme membaca bahwa nalar patriarkis, hirarkis, dualistis dan opresif telah merusak tatanan masyarakat dan alam. Sehingga dibutuhkan “nalar yang merawat” untuk menyelamatkan dunia.


Dalam cara pandang seperti itu Sammita Institute bekerja untuk merawat dan mengembangkan kepemimpinan serta demokrasi di Indonesia.

Mendebat “Sammita”
Muncullah perdebatan yang saya maknai sebagai upaya men-challenge konsepsi “Sammita”. Sayangnya perdebatan justru tertuju pada keperempuanan (feminitas) sammita. Yang katanya itu akan tepat bila digunakan oleh lembaga yang concern pada isu gender.

Padahal yang saya maksud adalah spiritualitas feminin itu yang perlu menjadi basis lembaga. Ecofeminisme menerjemahkan spirit nilai-nilai feminitas seperti: menjaga, memelihara, merawat, berbagi, solidaritas, cinta kasih, kerjasama dan relasional. Sehingga nilai-nilai itu sama sekali tak akan mempengaruhi domain/ bidang kepedulian lembaga.

Di sinilah kata tak hadir sebagai sekedar kata. Namun kata merupakan representasi dari realitas. Sejauh kita menafsirkan kata tertentu, maka kita menghendaki realitas yang seperti itu. Tafsir atas kata “sammita” yang berbentuk feminine ini bisa menjadi sumber inspirasi, energi, spirit dan imajinasi lembaga. Bahwa keberadaan lembaga itu harus dapat merawat dan memelihara keindonesiaan.

Selain soal feminitas itu, debat bergeser pada brandname yang dianggap sulit diterima publik. Asumsinya brand akan mudah diterima apabila tersusun atas sesuatu yang mudah dikenal. Sebagian berpendapat bahwa sebaiknya orang langsung tahu jenis lembaga hanya dengan mendengar namanya saja. Menjawab itu saya meriset berbagai nama lembaga sebagai benchmark dari “Sammita Institute”, sebagai berikut:

Nama
Tagline
Domain
Website
The SMERU Research Institute
Toward Pro-poor Policy through Research

Riset kebijakan publik
http://www.smeru.or.id/
INSIST
Indonesian Society for Social Transformation
Pemberdayaan masyarakat
http://www.insist.or.id/en
INDEF
Institute for Development of Economics and Finance
Riset ekonomi dan keuangan
http://indef.or.id/
Core Indonesia
Center of Reform on Economic
Riset reformasi ekonomi
http://www.coreindonesia.org/
Tempo Institute
Center of Excellent Journalism
Pusat pelatihan jurnalistik
http://tempo-institute.org/
REMDEC
Resources Management and Development Consultants
Konsultan pembangunan dan tata kelola sumber daya
http://www.remdec.co.id/
Kemitraan
The Partnership for Governance Reform
Konsultan dan funding untuk reforma tata kelola
http://www.kemitraan.or.id/
The Wahid Institute
Seeding Plural and Peaceful Islam
Diseminasi pluralism
http://www.wahidinstitute.org/wi-id/
The Indonesian Institute
Center for Public Policy Research
Riset kebijakan publik
http://www.theindonesianinstitute.com/
Populi Center
Public Opinion and Policy Research
Riset opini dan kebijakan publik
http://www.populicenter.org/
Gedhe Foundation
Knowledge Management and ICT Specialist
Spesialis manajemen pengetahuan dan ICT
http://gedhe.or.id/
Kunci
Cultural Studies Center
Pusat studi budaya
http://kunci.or.id/
Desantara Foundation
No tagline
Pusat kajian dan riset multikulturalisme
http://www.desantara.or.id/
Satu Nama
Menanam Benih Keadilan
Pembangunan kapasitas lokal dan advokasi
http://satunama.org/
Akatiga
Pusat Analisis Sosial
Riset sosial
http://www.akatiga.org/
The Interseksi Foundation
For Knowledge and Humanity
Pembangunan kapasitas masyarakat sipil
http://interseksi.org/
Purusha Research Cooperative
Scientific, Experimentative & Transformative
Riset sosial
http://purusha.id/
Salihara
Komunitas
Komunitas budaya
http://www.salihara.org/
Kalyana Mitra
Pusat Informasi dan Komunikasi Perempuan
Advokasi isu gender
http://www.kalyanamitra.or.id/
Imparsial
The Indonesian Human Right Monitor
Advokasi isu HAM
http://www.imparsial.org/
Prakarsa
Welfare Initiative for Better Societies
Riset dan pengembangan kapasitas masyarakat sipil
http://theprakarsa.org/
Diolah dari berbagai sumber 

Hasilnya, tak ada nama-nama lembaga yang bisa langsung dikenali hanya dari namanya tanpa menyertakan taglinenya. Beberapa nama lembaga-lembaga unik di atas seperti: Satu Nama, Akatiga, Salihara, Kunci, Desantara, Kalyana Mitra dan lainnya adalah lembaga-lembaga besar di Indonesia. Maka “Sammita Institute” saya sebut lolos benchmark dan tetap berkelas.

Hard Name dan Soft Name
Saya sebut “Sammita” dengan istilah soft name (nama yang lunak). Sedangkan nama-nama yang dirumuskan dari singkatan-singkatan sebagaimana di atas, merupakan nama yang keras (hard name). Dan nama lunak bagi saya selalu menghasilkan nuansa mitis, imainatif dan kreatif. Nama lunak tak terpenjara kata bentukan yang keras seperti IMPED, IPEDW, Pusaka, ISI, STDI dan sebagainya.

Pemaknaan kata dari nama lunak sejauh tetap berkorelasi dengan visi dan tujuan lembaga, akan menjadi aura magis atau deep philosophy dari lembaga itu. Sammita memberi aura tentang lembaga yang penuh cinta kasih, merawat, solider dan berbagi. Bukan sebuah lembaga yang agresif, manipulator dan sejenisnya.

Sammita sebagai nama lunak juga memiliki akar keindonesiaan yang mendalam. Sammita yang berasal dari bahasa Sansekerta tentu bertaut erat dengan bangunan kebudayaan kita. Karena salah satu penyokong bahasa Indonesia adalah bahasa Sansekerta. Itu yang kemudian tak akan kita peroleh dari nama keras yang tersusun atas singkatan-singkatan.

Contoh pemakaian nama lunak selain dari Sansekerta adalah Fahmina Institute, Rahima Institute yang keduanya concern pada studi Islam dan gender. Ada juga Maarif Institute dalam bidang pendidikan dan keislaman. Kemudian ada Al Maun Institute dalam bidang islam dan perubahan sosial. The Wahid Institute dalam bidang Islam dan pluralisme. Dan masih banyak contoh nama-nama lunak lain yang diambil dari bahasa Arab dengan pemaknaan yang khas untuk menggambarkan lembaga tersebut.

Ada juga nama-nama lunak yang diserap langsung dari bahasa Indonesia. Contohnya: Rumah Perubahan yang bergerak di bidang inovasi sosial ekonomi, Indonesia Mengajar, Indonesia Menyala, Literasi Bangsa dan sebagainya. Nama-nama lunak tersebut juga enak dipakai sebagai sebuah brand name. Tentu dengan memperhatikan ruang gerak, potential audience dan seterusnya.

Kembali ke Sammita, beberapa senior (Angkatan 80an) di grup suka dengan “Sammita Institute” karena bagi mereka maknanya dalam, berkesan dan tidak berat (over estimate). Nah, biasanya memang nama-nama lunak cenderung tidak berat. Ada keinsyafan bercermin diri tentang tentang posisi, sumber daya dan berbagai kapasitas (dalam konteks ini Alumni Unsoed) yang dimiliki.

Bayangkan bila menggunakan nama-nama seperti lembaga lain: Lingkaran Survai Indonesia, Indonesia Indikator, Indonesia Barometer dan sejenisnya. Positioning nama-nama itu tentu nasional yang tentu saja sudah melihat berbagai sumber daya, posisi strategis dan hal lainnya. Sehingga “Sammita Institute” buat sebagian orang dinilai tidak over estimate.

Shakespeare bilang “What's in a name?”. Apa artinya sebuah nama?, katanya. Namun bagi saya nama itu perlu, karena ia adalah sebuah tanda bahwa kita pernah ada untuk sesuatu hal. Dan Sammita adalah tanda yang puitis serta indah. [] 

PS: Nama dan logo Sammita Institute sampai sekarang belum digunakan karena lembaga yang dimaksud belum juga berdiri. Disclaimer: contoh logo dan nama ini tidak boleh digunakan tanpa seizin penulis.
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :