Oleh: Firdaus Putra, HC.
Saya punya kisah yang menarik bagaimana attitude itu benar-benar penting. Attitude atau terjemahnya adalah sikap mental atau pendirian merupakan
ekspresi dari apa yang ada di hatinya. Attitude
tak bisa dimanipulasi dan muncul dalam tingkah laku, bahasa tubuh dan
lainnya. Ia benar-benar sesuatu yang menubuh dan mendarah daging.
Saya punya kolega yang “dijauhi” oleh teman-temannya. Saat
itu saya bersimpati dan merasa kasihan atas kondisi itu. Saya pikir kenapa
komunitas ini begitu “kejam” sehingga tak memberikan “maaf” baginya. Sampai
kemudian suatu ketika saya benar-benar memahami mengapa ia “dikucilkan”. Momen
itu adalah ketika dia melakukan perbuatan tak etis pada saya. Sehingga dalam
hati saya bilang, “Owww bener kata teman-teman, memang ular ne orang”.
Cara main dia memang berbeda sekali dengan kolega saya
lainnya. Ia cenderung bermain jangka pendek (short
term) yang berorientasi keuntungan secepat mungkin. Seringkali, di banyak
kasus, dia selalu buruk dalam mengemas-mengeksekusinya dan itu terjadi berulang
kali.
Selain dia saya juga punya pengalaman yang begitu membekas
sampai sekarang mengapa attitude itu
harga mati. Dulu saya pernah mengkader seorang mahasiswa sebut saja namanya Junior.
Junior itu benar-benar sama sekali tak pernah berorganisasi. Ia hanya mahasiswa
sebagaimana teman-temannya: kuliah-pulang-main. Sampai kemudian dia tertarik
dan lantas mulai saya kader.
Proses kaderisasi berjalan sekira 2-3 tahun. Tentu saja,
kaderisasi itu bukan sekedar membekalinya dengan seperangkat pengetahuan dan
keterampilan belaka. Namun juga kita harus bisa mengayominya sedemikian rupa,
misalnya saat Si Junior menghadapi masalah tertentu. Proses itu berjalan
panjang dengan ritme yang naik-turun.
Alhamdulillah dia menjadi seorang kader yang punya berkapasitas:
bisa bicara di publik, bisa me-manage dan seterusnya. Sampai kemudian ia bekerja
di koperasi saya bekerja. Ia memperoleh jabatan dengan tingkat kesejahteraan
yang bagus untuk usianya. Namun kemudian setahun bekerja ia minta resign.
Saat itu saya minta dia bertahan satu tahun lagi, karena
saat ini koperasi sedang butuh orang dengan kapasitas yang mumpuni. Ia tetap
ngotot dan tak bisa dicegah. Jadilah ia resign.
Beberapa bulan kemudian seorang kolega menghubungi saya via
Facebook untuk minta rekomendasi terkait Junior satu itu. Saya katakan, “Dia
pekerja keras, ulet dan mau belajar keras. Kekurangannya cuma satu, seperti
anak muda lainnya, dia kurang sabaran. Kalau njenengan bisa bimbing, dia bakal
bagus”, demikian rekomendasiku.
Kurang dari setahun Junior itu resign lagi dari tempat kerjanya.
Kemudian dia main ke kantorku. Saat itu dia ceritakan. Lalu saya bilang, “Saya
tak pernah marah sama kamu sampai hari ini. Keputusan yang kamu buat tentu
punya konsekuensi. Kamu boleh terampil ini-itu, namun apa yang luput kamu
pelajari adalah bahwa semuanya butuh proses dan kesabaran”.
Tentu dia merasa menyesal. Namun semoga dia memperoleh
pelajaran yang beharga, bahwa kadang ini semua bukan soal besar-kecilnya angka
atau gaji. Ini adalah soal attitude
yang mencerminkan diri kita yang sebenarnya. Karena dalam kerja, angka atau
gaji pasti akan mengikuti sesuai prestasi dan masa kerja.
Ya, ia masih muda dan seperti anak muda lainnya: tidak
sabaran, ingin cepat dan proses instan. Dan sekarang ia sedang belajar makan
pil pahitnya. Pengalaman itu membuat saya merasa gagal dalam mengkader. Semoga
dia mengambil pelajaran bahwa attitude
itu harga mati! Dan semoga saya tak lagi-lagi gagal dalam mengkader orang. []
0 comments :
Posting Komentar