Oleh: Firdaus Putra, HC.
Saya pernah bilang ke seseorang, “Kedirian kita yang
sesungguhnya baru akan terlihat bila berbagai insentif itu tak ada. Di sisi
lain, saat kemudian kita menerima disinsentif yang tentu saja tak menyenangkan”.
Namun itulah ujian terbesar dari apa yang kita sebut sebagai idealisme.
Secara psikologis orang akan mudah melakukan sesuatu bila
menerima insentif tertentu. Dalam Sosiologi ini diterangkan dalam Teori
Pertukaran Sosial. Insentif ini bisa apapun bentuknya: pujian, fasilitas, honor
dan berbagai hal bisa material atau immaterial. Dalam konteks dunia kerja
profesional, insentif adalah mekanisme yang biasa dilakukan. Sebaliknya, bila
melakukan suatu kesalahan maka ia akan menerima disinsetif atau sanksi.
Namun dalam konteks perjuangan-kaderisasi-pergerakan sosial,
insentif dan disinsentif relevansinya menjadi rendah. Karena dalam konteks
seperti itu yang menjadi hakim sebenarnya diri kita sendiri. Kita sebut sebagai
kecenderungan untuk bersikap baik (altruis). Dalam hal itu terkandung moral obligation dimana kita sungguh tak
bisa berbohong pada hati kita sendiri.
Insentif dan disinsentif bekerja dalam mekanisme pertukaran
sosial. Sedangkan altruisme dan kewajiban moral tak perlu meng-ada dalam relasi
semacam itu. Hubungannya—meminjam istilah dalam psikoanalisis—adalah Ego dan
Superegonya; Dirinya sendiri menjadi hakim sekaligus terdakwanya.
Meski demikian sampai batas tertentu insentif tetap muncul
dengan sendirinya. Bentuknya bisa dalam pengakuan, fasilitas, dukungan dana,
jaringan, nama, reputasi dan lain sebagainya. Yang baik diharapkan atau tidak,
akan diterimanya karena peran yang dilakukannya. Dalam konteks semacam itu maka
apa yang bisa diwajibkan kepadanya adalah mekanisme payback atawa bayar balik.
Payback yang
dimaksud tentu bukan dalam makna mengeluarkan uang untuk membayar apa yang
telah diterimanya selama ini. Namun memberikan kontribusi yang setimpal atas
berbagai insentif yang telah diterimanya. Kontribusi ini bisa berupa: pikiran,
energi, antusiasme, kerja keras dan berbagai bentuk immaterial lainnya.
Hukumnya: penerima insentif terbesar idealnya memberikan
kontribusi terbesar bagi organisasinya. Dalam kerangka teori moral kita sebut
sebagai Altruisme Resiprokal yang berbasis pada model pertukaran tadi. Dengan
cara begitu maka apa yang namanya individualitas akan selalu selaras dengan
kolektivitas.
Individu akan memperoleh daya dukung besar bagi pengembangan
individualitasnya. Selaras dengan itu, payback
memberikan mekanisme dimana yang bersangkutan memberikan kontribusi terbaiknya
bagi kolektifnya. Maka dengan sendirinya kolektivitas mengembang dan membesar
dan begitu seterusnya.
Cara kerja insentif dan payback
ini bisa menghindari nalar totaliter yang menundukkan individu di bawah kontrol
kolektif sehingga individualitas seorang individu tak berkembang. Itulah yang kita
sebut sebagai keselarasan visi organisasi dan individu. Titik selaras itu akan
menghasilkan daya dongkrak dan daya dukung bagi keduanya.
Mengingat berbasis Altruisme Resiprokal, tentu lebih baik
ketika tak perlu organisasi meminta pada individu untuk bayar balik. Cukup
dalam relung hati yang paling dalam kita menginsyafi betul bahwa capaian kita
saat ini bukan semata karena dirinya, namun karena adanya daya dukung organisasi,
baik langsung maupun tidak.
Hati kita tak bisa berbohong, jadi cukuplah kita bertanya
pada hati masing-masing, “Apakah kita sudah cukup bayar balik atau belum?” Dan
bila berlebih membayarnya, ikhlaskan saja, karena lagi-lagi sebenarnya yang
paling mendasar mekanisme ini tak bekerja dalam kerangka pertukaran sosial.[]
1 comments :
Musti di ikhlaskan y boss
Posting Komentar