Oleh: Firdaus Putra, HC.
Saya seorang blogger karenanya saya sering menulis. Lebih
mendasar dari itu, saya memang suka menulis. Buat saya pada momen tertentu
menulis merupakan mekanisme penyembuhan diri (self healing). Saat menuliskan sesuatu, terutama yang terkait
dengan hal yang telah lampau, mau tak mau saya harus berani untuk memeriksa
ulang diri saya.
Memeriksa dalam konteks ini adalah mengingat kembali,
meneguhkan, merefleksikan dan tentu saja memaknainya kembali. Dengan cara
seperti itu, menulis memberikan sebuah cermin besar dan saya akan berdiri di
depannya. Kadang pada momen dimana saya mengalami suasana hati yang buruk, saya
akan menulis untuk menumpahkan begitu saja apa yang saya rasakan atau hayati.
Penghayatan atas situasi ini yang kadang sulit untuk
digambarkan, namun dengan menuliskannya, saya menjadi tahu bagaimana situasi
itu terjadi. Penghayatan situasi membuat saya menjadi bagian dari situasi (part in). Dengan menuliskannya, saya
akan berposisi sebagai outsider yang
mendiagnosis ulang situasi tersebut.
Boleh jadi seperti mekanisme distansiasi atawa penjarakan.
Bayangkan seperti menaruh pena tepat diujung hidung kita; Si Pena menjadi samar
terlihat. Namun saat kita jarakkan sekira 30 senti meter, pena menjadi terlihat
jelas. Menulis buat saya menjadi salah satu modus distansiasi seperti itu.
Distansiasi artinya memberi jeda, memberi ruang untuk
lahirnya pemaknaan baru. Makna baru ini misalnya: dulu kecewa atau marah, lantas
saat menuliskannya, kemudian terbetik rasa penginsyafan sehingga kekecewaan
atau kemarahan menjadi netral. Itu yang saya sebut sebagai pemaknaan baru
terhadap situasi atau peristiwa.
Mekanisme self healing
ini sampai batas tertentu juga merupakan bentuk sublimasi energi negatif
menjadi positif. Kemarahan, kejengkelan, kekecewaan dan lain sebagainya
tertransformasi menjadi energi positif: antuasiasme, analisis, refleksi diri,
kelegaan dan sejenisnya. Sublimasi energi dengan cara demikian lebih produktif
daripada misalnya: pukul pintu, banting HP, pukul keyboard dan lain sebagainya.
Sublimasi energi itu menjadi katup penyelamat sehingga
berbagai energi atau perasaan negatif menjadi tidak eksplosif dan destruktif. Tentu
saja butuh waktu sampai cukup mereda dan kemudian saya bisa membuka laptop dan
mengetik dengan lancar.
Namun yang menarik adalah, saat menulis dalam kondisi
seperti itu, memaksa otak saya untuk berpikir secara analitis. Proses itu akan membuat
jeda eskplosi emosi. Karena saat itu cerebrum
mengambil alih peran limbic system.
Buat saya yang memiliki perasaan yang lembut itu sangat membantu.
Dalam proses menulis juga terjadi proses rasionalisasi
(dalam makna positif). Artinya bagaimana saya membangun batu bata argumen yang
logis dan rasional terhadap situasi tertentu. Proses rasionalisasi itu pada
gilirannya membuat saya bisa menerima situasi secara baik dan tepat.
Pada tahun 1990an pernah ada penelitian yang menyimpulkan
bahwa menulis membuat jiwa lebih sehat. Dr. James W. Pennebaker menuliskannya
dalam buku Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions, yang pada
intinya adalah kemampuan dan kemauan kita mengekspresikan perasaan itu akan
membuat jiwa kita lebih sehat. Kita akan lebih mampu menerima realitas, trauma
dan berbagai ritme hidup lainnya.
Bahkan seorang penulis perempuan, Fatima Mernisi, mengatakan
bahwa menulis membuatnya menjadi awet muda. Boleh jadi, mekanisme yang berlaku
seperti orgasme seksual yang kemudian membuat kita menjadi lebih awet muda.
Apapun itu, saya sudah merasakan bagaimana manfaat menulis
untuk menjaga hati, perasaan dan akal saya tetap waras. []
0 comments :
Posting Komentar