Oleh: Firdaus Putra, HC.
Awalnya saya begitu tak percaya, “Saya
itu kadang sama sekali tidak megang uang lho. Dan itu sudah biasa saja. Jadi
kadang saya geli bila ada orang ngeluh”, kata salah satu mentor saya. “Serius?”,
tanyaku. “Serius. Demi Allah”. Apa yang membuat saya takjub adalah bagaimana ia
melalui hari tiap hari dengan tenang.
Dulu saya bayangkan paling tidak seluruh
biaya-biaya untuk dirinya dan rumah tangganya sudah tercukupi dari kerjaan
tetapnya. Belum lagi ditambah aktivitas lain yang secara langsung atau tidak, mendatangkan
pemasukan. Namun ternyata persepsi saya keliru selama ini. Bagaimana tidak, dengan
kapasitasnya dan jabatan top management
di perusahaannya, hal itu harusnya tidak terjadi.
Lantas ia kembali mengingatkan, “Dulu
saya pernah cerita kan bagaimana tiap bulan saya harus menutup hutang puluhan
rupiah gegara bisnis saya hancur. Dan mengangsur itu masih saya lakukan sampai
sekarang. Jadi sudah biasa saja kadang saya tak megang uang sama sekali”.
Mendengar kisah itu, sungguh saya
tak habis pikir bahwa begitu rupa dinamika dan keyakinannya menyongsong hidup.
Ia selalu nampak tenang, tak pernah mengeluh dan selalu produktif. Belum lagi sering
menjadi tempat berkeluh kesah banyak orang. Sungguh saya angkat topi padanya!
Lantas kolega saya yang lain
berseloroh, “Itulah kenapa kita membenci orang-orang oportunis! Karena mereka
tak pernah mengalami bagaimana cara agar hidup tetap bermartabat di saat kita
sendiri masih dalam proses berjuang”. Ya, orang-orang oportunis hanya melihat dan mencari gain (keuntungan) yang ada di depan mata
dan sering kali menghindari pain (penderitaan)
untuk meraihnya.
Orang-orang oportunis tak akan
memahami bahwa proses itu sampai batas tertentu penuh peluh dan darah. Ia hanya
menghendaki apa-apa yang mendatangkan gain
dan menolak sejauh mungkin pain.
Padahal pain memberikan pengalaman
batin yang mendarah daging sehingga bila gain itu datang, kita benar-benar siap
menerimanya.
Dalam kisah itu tak ada yang
namanya instan atawa karbitan. Kematangan dan pencapaian berjalan selaras
dengan kedalaman proses yang dilakukan. Hukumnya: makin “menderita” dalam
proses, makin besar pencapaiannya. Sebuah pencapaian yang benar-benar otentik,
bukan bikin-bikinan apalagi pencitraan.
Orang boleh saja mencitrakan
pencapaian dirinya semeyakinkan mungkin. Namun suatu tempo ia benar-benar akan
diuji apakah kualitasnya sinambung dengan citra dirinya atau keropos. Bayangkan
seperti balon yang mengembang besar namun kosong bagian dalamnya.
Tentu saja kuncinya adalah
mengisi balon itu dengan jutaan biji pasir agar padat berisi. Jutaan biji pasir
itu adalah berbagai praktika yang dijalani seseorang dengan pikiran, tangan dan
energinya. Tentu saja, butuh waktu dan melelahkan.
Ya, salah satu iklan di teve
meringkasnya dengan bagus, “No Pain, No
Gain!”. Yang dalam pameo Indonesia analog dengan “Bersakit-sakit dahulu,
bersenang-senang kemudian”. Tiap anak tangga itu memang harus dilalui satu per
satu hingga sampai puncaknya. Sayangnya, kadang orang oportunis punya alibi lain,
“Kan ada lift”. Sampai titik itu, ini adalah soal keyakinan dan pilihan. Apakah
kita akan hidup penuh martabat atau seolah-olah bermartabat! []
0 comments :
Posting Komentar