Oleh: Firdaus Putra, HC.
Suatu tempo saya diundang Bappeda Banyumas menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bersama kelompok perajin gula. Lalu Pak Jaka menyilahkan saya. “Saya kembali ingat sekira satu tahun lalu ketika masuk ke Ketanda, Sumpiuh ….”. Tiba-tiba tenggorokan saya tercekat dan saya menangis. Saya berusaha melanjutkan, namun tak juga suara keluar. Lalu saya minta Mas Edy yang mengisahkan.
Suatu tempo saya diundang Bappeda Banyumas menjadi salah satu pembicara dalam diskusi bersama kelompok perajin gula. Lalu Pak Jaka menyilahkan saya. “Saya kembali ingat sekira satu tahun lalu ketika masuk ke Ketanda, Sumpiuh ….”. Tiba-tiba tenggorokan saya tercekat dan saya menangis. Saya berusaha melanjutkan, namun tak juga suara keluar. Lalu saya minta Mas Edy yang mengisahkan.
Hal serupa terjadi sekitar dua tahun lalu sepulang dari Ketanda untuk kali pertamanya. Pasca melakukan Analisis Sosial-Ekonomi bersama sekira 20 penderes di sana, saya tak bisa tidur sampai pagi hari. Pagi itu saya begitu marah dan menangis di kamar kos. Saya begitu sulit menerima kenyataan bahwa ada pekerjaan dengan resiko yang begitu besar: patah tulang atau mati ketika jatuh dari pohon kelapa. Belum lagi, penghisapan yang begitu sistematis dari para tengkulak yang terjadi puluhan tahun lamanya.
Pagi hari itu saya menulis status di Facebook mengisahkan bagaimana pengalaman pertama saya mengalami kontradiksi nyata. Ya, boleh jadi seperti Gautama yang keluar dari kerajaan dan menemukan realitas begitu rupa. Sebuah pengalaman spiritual yang membuatnya menjadi Budha.
Saya menemukan diri yang berbeda pasca pulang dari Ketanda. Boleh jadi itu pengalaman spiritual yang sampai sekarang membekas di hati saya. Keyakinan saya makin menguat saat seorang mentor pernah mengingatkan, “Don’t leave people behind us”. Kalimat singkat itu begitu padat makna dan membekas.
Saya jadi ingat salah satu materi kuliah di Sosiologi dulu kala: Teologi Pembebasan yang berkembang di Amerika Latin. Bagaimana spiritualitas transenden (berorientasi ketuhanan-vertikal) mendapat artikulasi yang imanen (berorientasi pada kemanusiaan-horizontal). Yang itu senada dengan ucapan Sukarno, “Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam digubuknya si miskin”.
Dalam tradisi lain secara simbolis itu diperlihatkan oleh Paus Fransiskus, Maret 2016. Paus saat itu membasuh dan mencium kaki seorang imigran Muslim. Begitu dalam dan menghentak maknanya. Yang bila kita ingat negeri asal Paus Fransiskus, bisa kita pahami karena spirit teologi pembebasan itu.
Sungguh apa yang saya kerjakan selama ini, di koperasi ini, adalah sebuah ruang spiritual yang imanen. Bukan sekedar bekerja, melainkan mengejawantahkan teologi pembebasan sehingga kita bisa membangun manfaat dan makna luas bagi yang lain. Bukan sekedar bekerja, namun sebuah sikap batin dan laku kreatif untuk mewujudkan surga di bumi.
Saya sampai batas tertentu meski saya pernah mondok, saya bukan seorang religius. Namun sungguh saya selalu merasa dekat dengan-Nya. Kadang ketika berkendara sendiri saya melantunkan sholawat, “Yaa robbi bil-Mustofa balligh maqooshidanaa | Waghfirlanaa maamadho yaa waasial karomi | Muhammadun sayyidul kaunaini watstsaqolaini | Wal fariiqoini min urbin wamin ajami | Maulaaya sholli wasallim daa-iman abada | Alan-Nabiyyi wa Ahlil-Baiti kullihimi”.
Dan lagi-lagi, saya menangis dibuatnya. Gusti Allah mboten sare. []
0 comments :
Posting Komentar