Hamna, Sebuah Refleksi

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Bila ditanya apakah sedari dulu saya pernah memilih koperasi sebagai jalan hidup serius? Tidak. Pun di masa awal inisiasi idealisme di zaman kuliah. Alih-alih memilihnya, memandangnya pun dengan picingan mata.

Ya, saya sini dengan koperasi. Bahkan dulu di saat kali pertama Kopkun Grand Opening, saya sengaja duduk di luar habiskan rokok dan nikmati gorengan. Tentu maksudnya untuk hindari obrolan serius di ruang dalam. Yang saat itu ada Pak Arsad, Mas Ilham, Mas Dani, Mas Herli dan lainnya. Itupun yang saya kenal saat itu hanya Mas Ilham, karena sama-sama Sosiologi FISIP.

Awal mula saya gabung di Kopkun bukanlah sebuah pilihan serius. Saya sampaikan itu ke Pak Arsad, selaku ketua, ketika screening saya sebagai Manajer. Saya diminta menjadi Manajer Organisasi, tepat tiga bulan sebelum lulus. Saya nyatakan padanya, "Boleh jadi ketika ada beasiswa, saya akan resign, Pak". Deal!

Itu dulu September 2009. Sampai kemudian tawaran pekerjaan silih berganti dengan tingkat sallary dan peluang pengembangan diri yang beraneka rupa. Anehnya, saya tolak. Apakah karena saya kadung masuk zona nyaman?

Bayangkan, di tahun 2010, artinya baru setahun kerja, Kopkun "diusir" dari ruko depan kampus FISIP. Dalam masa yang tidak enak, tidak menentu itu, Kopkun bukan zona nyaman tentunya.

Di sisi lain, tawaran dari beberapa senior berdatangan. Ada senior yang dua kali saya tolak tawarannya. Ada juga beberapa senior Kopkun yang saya tolak juga.

*
Di tahun 2005 di Swedia ada kompetisi memilih kata terindah. Sekira 700an peserta mengirim nominasi satu kata yang menurutnya paling indah dengan penjelasannya.

Di ujung terpilihlah satu kata: hamna yang berarti "sampai pada suatu tempat tanpa direncanakan". Bagi masyarakat Swedia, begitu kata Andre Moller, itulah kata terindah yang pernah mereka punyai.

Tentu saja, kata bukan sekedar susunan huruf. Kata adalah cerminan realitas. Maka hamna bukan sekedar kosa kata yang mereka "punyai" tetapi "alami". Mereka mengalami hamna sebagai sebuah situasi atau momen paling indah.

Bayangkan saja kamu suatu tempo berjalan di trotoar Malioboro. Entah sendiri atau beramai. Yang kemudian kamu temukan kuliner atau ruang rehat yang nyaman, yang begitu saja kamu temui tanpa direncanakan. Orang kita bilang, jalan-jalan cari angin. Hanya sekedar jalan saja, tanpa tujuan jelas.

Momen itu bisa jadi dinilai sebagai yang paling indah karena memberi ruang pada: spontanitas dan alur alam. Spontanitas tentu saja lahir dari nir-perencanaan. Dan alur alam, atau yang bakunya bolehlah disebut sebagai takdir (dengan "t" kecil), bekerja pada saat itu.

Keindahan dalam spontanitas terletak pada caranya dia bekerja. Memberikan ruang bagi sisi kemanusiaan kita: ada pilihan bebas di sana. Bahkan beberapa menit untuk melakukan atau tak lakukan sesuatu.

Lalu apa yang indah dengan alur alam? Dia memberikan momen keacakan alam semesta menyajikan pilihan di depan kita A dan bukannya B. Sampai derajat tertentu alur alam itu indah karena sebagiannya di luar kehendak kita.

Paduan spontanitas kita sebagai manusia bebas dan keacakan alur alam itulah yang boleh jadi membuat hamna menjadi kata paling indah buat masyarakat Swedia; Sampai di tempat yang tidak direncanakan sebelumnya. Sebuah optimisme, bukan pesimisme sembari mengumpat, "Ah kesasar ne".

*
Kata itu menggambarkan apa yang saya alami dengan Kopkun. Pada mulanya tak ada rencana bekerja dan berjuang di ruang koperasi, namun justru sampai sekarang sudah 6 tahun saya di sini. Ada banyak pilihan saat itu, tapi tak juga saya pilih. Di antara keacakan alam semesta, Kopkun yang saya pilih.

Proses hamna  boleh jadi sedikit demi sedikit. Mulanya saya sinis, menjadi kenal dan sekarang membela koperasi. Meskipun dalam gambar besar (sebutlah alur alam), itu masih berhubungan.

Kalau saya imajinasikan (seperti cara kerja Sosiologi Imajinasi) bahwa rangkaian itu ada benang-benang halus yang memintalnya. Pertama, saya orang Pekalongan yang dibesarkan dalam keluarga wiraswasta. Tentu saja spirit entrepreneurship ada di diri saya karena hidup dalam habitus itu.

Kedua, sedari dari dulu basis pikir saya (epistemologi) adalah jalan ketiga yang menolak ekstrim kanan dan kiri. Saya bisa katakan bahwa saya Sosialis, tapi bukan Komunis. Saya bisa katakan saya seorang Sosialis, tapi bukan Neoliberal.

Ketiga, saya dibesarkan oleh tradisi Sosiologi kritis yang cenderung mencintai basis alih-alih gerakan elitisme politik. Itulah yang membuat passion saya tersalurkan di ruang koperasi, tentu koperasi yang memberdayakan.

Keempat, entah mengapa, kombinasi otak kanan dan kiri saya cukup imbang sehingga saya analitis-kritis sekaligus sintetik-kreatif. Itu menjadi klop dengan ruang koperasi yang irisan antara: gerakan dan bisnis.

Keempat poin itu yang menjadi paduan alur alam dengan spontanitas (kehendak bebas) saya di sisi lain. Jadi hamna itu terjadi tidak dengan sekonyong-konyong, namun proses yang panjang: sedikit demi sedikit seperti benang-benang tadi yang terpintal satu, dua, tiga dan menjadi sebuah kain utuh.

Hamna untuk sementara waktu bisa menggambarkan apa yang saya alami. Dan, menurut saya kata itu juga paling indah selain kata matahari. []
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :