Oleh: Firdaus Putra, HC.
Jangkar Historis
Cikal bakal koperasi di Indonesia bermula dari Purwokerto, Banyumas. Tepatnya dulu pada 1896 di masa Hindia Belanda. Kisah itu bermula dari Raden Aria Wiriaatmadja yang menginisiasi Bank Priyayi bermodalkan kas masjid. Tujuannya untuk melepaskan kalangan priyayi dari jerat rentenir. Bank Priyayi itu didukung penuh oleh Asisten Residen Belanda, E. Sieburgh.
Selisih tahun berikutnya, de Wolf van Westerrode menggantikan Sieburgh. Sepulang dari Jerman, de Wolf bersemangat kembangkan model koperasi pertanian ala Reiffeissen. Lalu sejarah mencatat, Bank Priyayi Wiriaatmadja itu direorganisasi oleh de Wolf menjadi Bank Petani mengadaptasi model Reiffeissen. de Wolf saat itu memperoleh mandat langsung dari Menteri Kolonial Cramer: memerangi lintah darat yang menyengsarakan masyarakat (Furnivall, 2009).
Kronik sejarah itu menggambarkan tiga hal: Pertama, sedari dulu rentenir atau lintah darat selalu menjadi musuh pemerintah dan masyarakat; Yang kedua pola pengembangan koperasi yang bersifat terbuka dan meluas (dari kalangan priyayi ke petani/masyarakat luas); Dan yang ketiga, para sejarawan ekonomi, melihat koperasi masa perdana itu rapuh karena kurangnya daya berdikari (self-help) masyarakat (Jan Luiten, 2012). Alhasil, niat awal de Wolf yang alih-alih kembangkan koperasi, justru lahirkan Volksbank (Bank Rakyat) yang menjadi dua bentuk: Bank Rakyat Indonesia dan Badan Kredit Desa.
Jejak historis itu tercatat di semua pustaka akademik, koperasi Indonesia bermula dari Bumi Satria ini. Sehingga “Purwokerto Kota Koperasi” bukan gagasan sekonyong-konyong turun dari langit. Namun sebaliknya, memiliki historical standing yang sangat mencukupi.
Seorang filosof mengajarkan pada kita, “Yang tak mau belajar dari sejarah, akan dihukum untuk mengulanginya”, kata George Santayana. Paling tidak tiga hal di atas dapat menjadi titik-titik kunci bagaimana mengembangkan koperasi di masa depan.
Kota Koperasi
Mendefinisikan sebuah kota/kabupaten menjadi kota koperasi tentu tak mudah karena belum ada indikator bakunya. Namun marilah coba definisikan ihwal itu senyampang pikiran kita. Secara kuantitatif misalnya dapat dilihat dari jumlah koperasi yang aktif di kota itu. Data menyebut pada 2016 di Banyumas paling tidak ada 457 koperasi dan 125 unit di antaranya dikategorikan tidak aktif.
Jumlah seluruh anggota koperasi di Banyumas per 2016 mencapai 416.690 orang. Sebelumnya di tahun 2013 tercatat 92.156 orang yang tersebar di 391 koperasi yang aktif. Ada peningkatan empat kali lipat yang boleh jadi disebabkan adanya migrasi besar-besaran dari nasabah (calon anggota) menjadi anggota. Hal itu terjadi pascadisahkannya UU No. 17 Tahun 2012 yang sudah di-judicial review.
Momen itu bersisi ganda; Satu sisi terjadinya pertumbuhan jumlah anggota koperasi di Banyumas. Di sisi lain “para anggota dadakan” tersebut perlu diuji keanggotaannya. Artinya sejauh apa koperasi memberikan hak dan kewajiban kepada para anggotanya sehingga bukan sekadar di atas kertas, namun sebenar-benarnya; Anggota-anggota sebagai pemilik koperasinya dan merasakan layanan serta manfaat koperasinya.
Di sisi lain, indikator kualitatif perlu juga kita terapkan, yakni koperasi-koperasi yang berkembang atau dikembangkan adalah koperasi sejati (genuine co-op). Bukan rahasia bahwa citra koperasi di masyarakat cukup minor, koperasi sama dengan rentenir. Maka, koperasi yang tumbuh dan berkembang harus taat pada jati diri koperasi yang membedakan dengan koperasi abal-abal.
Tantangan itu selaras dengan kebijakan Pemerintah Pusat yang sedang gencar melakukan pengawasan ketat terhadap koperasi. Akan efektif bila menjadi agenda serius bagi Pemda Banyumas (Dinakerkop dan UKM Banyumas). Bukan sekadar pengawasan, penindakan terhadap koperasi abal-abal harus menjadi agenda strategis agar koperasi kembali ke fitrahnya: memerangi para perente uang.
Dua aspek, kuantitatif dan kualitatif itu, dapat menjadi indikator Purwokerto Kota Koperasi yang bila mungkin kita capai bersama di 2022. Tentu saja langkah panjang itu sama sekali tak mudah karena “Purwokerto Kota Koperasi” bukan sekadar branding; Sebaliknya, sebuah laku kolektif lintas pihak: pemerintah, gerakan koperasi, kampus, organisasi kemasyarakatan, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Tentu dengan target besar: bahwa yang akan bahagia adalah warga Banyumas tanpa bedakan golongan dan latar belakang.
Mengapa Perlu
Lantas mengapa agenda besar itu perlu disengkuyung multi pihak? Dengan berkembangnya koperasi-koperasi genuine, otomatis akan bersambut dengan sektor usaha mikro kecil yang jumlahnya sekira 60 ribu usaha. Belum lagi sektor pertanian di Banyumas yang krusial dengan 78.696 petani dengan luasan sawah 132.758 hektare; Tentu akan klop dengan mengintegrasikan kelompok-kelompok tani (Poktan) dalam sebuah perusahaan sosial berbadan hukum koperasi.
Kisah Banyumas sebagai eksportir gula merah terbesar nomor dua di dunia, akan sempurna dengan membangun koperasi genuine di sektor itu; Yang dapat menjadi daya dukung nyata bagi para perajin gula sehingga memiliki posisi tawar dalam rantai pasok. Dari sektor itu saja, ada sekira 27 ribu keluarga perajin yang dapat terberdayakan. Maka, akan mengurangi angka kemiskinan di Banyumas yang tahun lalu mencapai 17,56 persen; Artinya ada sekitar 2 orang miskin dari setiap 10 warga Banyumas.
Di sektor konsumsi, agenda ini dapat menjadi jawaban dari berkembangnya ritel moderen yang selalu dianggap meresahkan. Kita dapat kembangkan model-model koperasi pasar yang genuine dan koperasi konsumen yang terpadu dengan warung-warung rakyat. Maka, agenda ini bisa menjadi langkah lanjutan setelah Pemda mengeluarkan moratorium izin ritel moderen di Banyumas tahun 2014 lalu.
Melampaui sekat sektoral itu, solidaritas lintas batas bisa dipupuk dengan menyatukan modalitas sosial yang ada di masyarakat. Tentu, lagi-lagi bukan pekerjaan mudah dan cepat. Namun hasilnya akan lebih berkelanjutan dan bermasa depan. Misalnya saja membangun rantai pasok solidaritas ekonomi desa-kota di tengah tumbuh-kembangnya BUMDes di pelosok-pelosok desa. Koperasi produsen dan konsumen bisa menjadi jawaban untuk mengefisienkan rantai pasok dari desa ke kota dan sebaliknya.
Tiga Kunci
Belajar dari sejarah di awal, maka ada tiga kunci untuk meletakkan arah agenda Purwokerto Kota Koperasi. Pertama: mengembalikan modus dan model koperasi sebagai ejawantah suara kemanusiaan yang menolak bentuk-bentuk penghisapan: rentenir, sistem ijon, tengkulak, dan sebagainya. Maka, model koperasi yang dibangun haruslah berjenis genuine co-op dengan serta merta menolak model koperasi abal-abal.
Kedua: pengembangan koperasi bisa dari koperasi-koperasi yang sudah ada (misalnya KPRI, Koperasi Karyawan, Koperasi Pegawai, dan Koperasi Wanita) dengan membuka keanggotaannya kepada masyarakat luas. Kita bisa menyontoh reorganisasi dari Bank Priyayi menjadi Bank Petani yang dilakukan de Wolf; Yang pada intinya adalah membuka akses keanggotaan seluas mungkin sehingga memiliki skala ekonomi-sosial yang tinggi. Sehingga ke depan targetnya bukan memperbanyak Badan Hukum (BH) koperasi, namun memperbanyak jumlah anggotanya.
Ketiga: mengembalikan daya berdikari warga masyarakat dan koperasi. Pengorganisasian sumber daya mandiri menjadi penting misalnya dengan membangun gerakan nabung berdaya di setiap kelompok usia. Gerakan itu bahkan bisa dimulai dari anak-anak sampai orang dewasa dengan konsolidasi pada koperasi-koperasi keuangan.
Tiga orientasi itu dapat menjadi kerangka awal untuk memulai langkah besar menuju Purwokerto Kota Koperasi 2022. Bila kita mulai di tahun 2017 ini, maka lima tahun berikutnya kita harus temukan bahwa statistik koperasi di Banyumas berubah: jumlah anggota, tingkat kesejahteraan, integrasi sektoral, dan seterusnya. Lagi-lagi, bukan pekerjaan mudah. Namun bukankah sudah puluhan tahun kita bertindak dengan cara yang sama?
Einstein bilang, adalah konyol mengharapkan hasil yang berbeda dengan cara kerja yang sama. Marilah kita mulai tahun ini dengan cara yang berbeda!
Sumber: http://kopkuninstitute.org/2017/01/26/menyongsong-purwokerto-kota-koperasi-2022/
0 comments :
Posting Komentar