Menyempurnakan "Sharing Economy"

Oleh: Firdaus Putra, HC.

Februari lalu Prof. Rhenald Kasali kembali luncurkan buku, Disruption: Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup (2017). Disruption atau disrupsi, katanya, telah membuat Blue Bird alami penurunan laba bersih dari 629,1 miliar menjadi 360,8 miliar atau 42,3% pada tahun 2016. Sedang Taksi Express rugi sampai 81,8 miliar dari tahun sebelumnya untung 11,8 miliar. Kedua perusahaan itu terdisrupsi oleh Uber, yang konyolnya, tak memiliki armada, pangkalan dan mesin argometer.

Beda Model Bisnis
Perkembangan teknologi informasi membuat model bisnis berubah. Blue Bird dan Express memiliki model bisnis yang berbeda dengan Uber meski sama-sama memiliki layanan taksi. Yang pertama sebuah perusahaan transportasi yang memiliki armada, pangkalan, bengkel dan izin operasional layanan taksi; Yang kedua perusahaan aplikasi yang menghubungkan antara orang yang memiliki mobil (supply) dengan orang yang membutuhkan layanan (demand). Yang pertama membangun asetnya secara mandiri; Yang kedua memaksimalkan kapasitas menganggur (idle capacity) dari aset berupa mobil-mobil pribadi. Model bisnis yang kedua itulah yang disebut sebagai sharing economy vis-a-vis owning economy.

Hampir setahun lalu Dr. Revrisond Baswir pernah mengulas ihwal sharing economy. Alih-alih bersetuju, ia justru menyebutnya sebagai brokerage economy; Dimana aplikasi bertugas menghubungkan (brokering) antara supply dengan demand. Kritik ekonom UGM kepada ekonom UI itu ada benarnya, karena sharing economy itu harus berbeda dengan owning economy dalam konstruksi dasarnya, bukan sekedar modus semata. 

Siapa Pemilik 
Dalam model bisnis seperti Blue Bird dan Express pemilikan perusahaanya bersifat personal oleh seseorang atau beberapa orang. Seluruh aktivitas usaha bekerja untuk mencari laba bagi si pemilik (profit oriented). Dengan mudah kita kenali model itu sebagai owning economy.

Lantas siapa pemilik Uber yang dilabeli sebagai sharing economy itu? Adakah ribuan pemilik mobil? Bukan. Pendiri dan pemiliknya adalah Travis Kalanick dan Garett Camp. Sedangkan posisi para pemilik mobil tak ubahnya seperti tenaga kerja lepas (offshore) yang secara sukarela meng-uber-kan mobilnya lewat aplikasi. 

Meski bukan pemilik Uber, dari tingkat kesejahteraan, sopir Uber bisa jadi pendapatannya lebih tinggi daripada sopir taksi konvensional. Seorang sopir Uber di Bandung, yang saya jumpai belum lama ini, mengisahkan bahwa sehari paling tidak ia bisa kantongi 500 ribu rupiah dengan minimal 13 kali perjalanan (trip). Ia pilih nguber untuk isi waktu luang daripada mobilnya nganggur. Sopir pensiunan perusahaan swasta itu kisahkan temannya yang masih 30an tahun bisa kantongi 12 juta perbulan dari hasil nguber; Tentu sebagai "pekerjaan tetap".

Sempurna dengan Membagi
Bila Uber masih dimiliki perseorangan, dapat dipastikan masuk dalam kategori owning economy. Namun di sisi lain modus "sharing economy" yang sudah berjalan seperti Uber atau Gojek terbukti dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Alih-alih menolak modus itu, kita perlu menyempurnakannya. Caranya dengan membuka kepemilikan perusahaan itu bagi pekerja (sopir/ tukang ojek) yang memanfaatkan aplikasinya. Skemanya bisa melalui Employee Share Ownership Plan (ESOP) yakni sebuah skema pemilikan saham oleh karyawannya. Cara yang lain yakni membuat perusahaan koperasi berbasis pekerja (worker co-op) dengan model bisnis sama persis yang mana dimiliki seluruh anggota pekerjanya. Baik ESOP atau koperasi pekerja kata kuncinya sama: pemilikan yang dibagi (shared) pada seluruh pekerja.

Dengan model baru itu, sharing benar-benar bermakna "berbagi" dalam model dan modusnya. Sehingga laba perusahaan bisa kembali (economic patronage refund) kepada para pemiliknya setelah dikurangi berbagai variabel biaya: sewa server, riset, pelatihan, seragam dan lain sebagainya. Yang tentu saja laba dari layanan itu sangat tinggi valuasinya, seperti Kalanick yang tercatat memiliki kekayaan 80 triliun dari bisnis Uber (2016). 

Bahkan ada satu fitur canggih yang dapat ditambah bila pekerja itu menjadi pemiliknya: ruang demokrasi untuk mengendalikan perusahaannya. Sehingga menjadi masuk akal bila tuntutan jaminan asuransi dan lainnya diberikan perusahaan. Itu akan menghindarkan para driver menjadi seorang prekariat (precarious proletariat) hasil cuci tangan dan alih resiko perusahaan kepada para pekerja lepas seperti dalam model Uber dan Gojek.   


Di era disrupsi ini model ekonomi koperasi nampaknya akan menemukan daya ungkit. Teknologi informasi bisa menjadi sarana yang menjanjikan. Seperti Koperasi Digital Indonesia Mandiri (KDIM) yang memproduksi smartphone DigiCoop; Yang dimiliki oleh ribuan anggota pemilik dan pemakainya dari berbagai kota di Indonesia. Jadi, bagaimana bila kita buat koperasi seperti Uber? []

Telah dimuat di Kompas.com klik di sini
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :