Menjejak di Bumi

Akhir-akhir ini saya harus merefleksikan dengan sungguh-sungguh bagaimana proses menjadi. Kisahnya, seorang kader yang begitu getol mengikuti kegiatan internasional. Maklum, yang bersangkutan menjadi Pengurus di salah satu organisasi internasional. Dalam satu tahun, ia bisa ke luar negeri sampai 3-4 kali. Suatu capaian yang mengagumkan, bukan?

Saya ingatkan agar yang bersangkutan lebih menjejak di bumi, bukannya melulu melihat langit nun jauh. Sebab, seringkali kegiatan internasional itu selalu membincangkan praktika yang di lokal. Sehingga yang pertama-tama adalah bagaimana kerja keras kita untuk mengawal praktik demi praktik sehingga hasilkan karya yang pantas pajang.

Kegiatan internasional itu, sampai titiknya, seperti ruang pajang dari puluhan karya-karya di lokalnya masing-masing. Dengan begitu, saat kita hadiri atau ikuti, kita hadir dengan penuh percaya diri dan kepuasan. Bukan puas karena telah ikuti kegiatan itu, melainkan puas atas kerja keras kita di lokal dan siap tunjukkan pada yang lain. Itulah ruang dan kesempatan saling apresiasi satu sama lain.


***
Suatu tempo saya dapatkan buku/ kitab bagus di Gramedia, yaitu Al Hikam. Untaian hikmahnya sangat mendalam. Salah satunya begini, "Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap suatu yang tumbuh tetapi tidak ditanam maka hasilnya tak sempurna". Ibnu Atho'ilah As Sakandari, pengarang kitab itu, tentu benar-benar menghidupi hakikat. Judul petikan itu bagaimana menjauhkan seorang murid dari kemasyhuran atau dari keterkenalan.

Yang masyhur itu kadang menyisakan kejumawaan, yang membuat kita lupa menjejak dan mencengkeram bumi dengan kuat. Maqolah itu menggambarkan dengan baik. Bagaimana proses yang baik dibangun dari bawah. Sebab, bila sudah sampai atas, bila kadung masyhur, tiupan angin akan lebih kencang. Artinya tantangan, ujian, cobaan akan lebih besar daripada saat kita masih rendah atau kecil. Itu hukum alam. Boleh jadi, rumput dan pohon kelapa lebih paham daripada kita.

Dalam kerendahan itu kita akan belajar banyak hal. Belajar bagaimana mental siap sukses itu bukan dibangun semalam jadi. Melainkan hasil dari proses panjang dengan aneka rupa tantangan. Bila dibayangkan kesuksesan itu seperti gunung es, maka sukses hanyalah pucuknya yang menyembul ke permukaan. Namun di bagian bawahnya tersusun atas banyak hal.

Di bagian bawah gunung es kesuksesan itu isinya kerja keras, keringat, air mata, penolakan, kritikan, pukulan, hambatan, keterbatasan, ambisi, kesabaran, pengalaman, praktik berdarah-darah, ketelatenan, keuletan, pantang menyerah dan banyak detail kecil lainnya. Sampai kemudian semua teramu padu dalam myelin kita menjadi keterampilan dan sikap mental. Itulah badan dan bidan mengapa orang bisa sukses.

Namun, sebagian sukses bisa hasil percepatan. Istilah awamnya, karbitan. Saat ini mungkin belum terlihat hasil akhirnya bagaimana. Namun ketika buah itu dibuka dan dimakan, barulah terasa bedanya. Mana yang benar-benar masak alami dan mana yang karbitan.

Yang karbitan itu seperti biji atau benih yang ditanam di permukaan tanah. Akarnya tak menjangkau sampai ke dalam bumi. Akibatnya, ia tak bisa serap banyak sari pati atawa hara tanah. Akibatnya ia mudah terbawa air hujan yang mengikis tiap senti meter tanahnya. Akibatnya ia tak kuat saat angin besar menerpa. Itu analoginya.


***
Dalam konteks yang lain teman saya pernah membagi soal visi salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Dalam visinya mereka menyatakan, "Enriched by our vibrant international network but rooted in local wisdom, we develop leaders with the integrity and knowledge needed to serve society". Kata teman, visi itu berubah sekira 2-3 tahun lalu setelah lakukan refleksi panjang.

Saya baca kalimat visi di atas dan terasa suasana kebatinannya. Perhatikan penggunaan kata "but", bukannya dengan "and". Padahal dua premis "international network" dan "local wisdom" bisa saja dihubungkan dengan "and". Namun mereka justru menggunakan diksi "but" sebagai proses disclaimer. Ada disclaimer artinya ada suatu masa atau peristiwa bahwa satu dengan yang lain pernah saling menegasikan. Sehingga dengan sungguh-sungguh mereka disclaim yang dalam bahasa awamnya kurang lebih, "Kami jaya di internasional, tapi tetap fokus di lokal, lho". Kurang-lebih begitu terjemah bebasnya.

Mari kita bayangkan mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa yang internasional dan yang lokal bisa tidak padu? Dan bagaimana agar padu?

Disadari atau tidak kegiatan internasional selalu memberikan insentif yang lebih besar. Insentif itu tak harus materi. Justru yang lebih besar adalah insentif immaterialnya berupa: pengalaman lintas budaya, jalan-jalan ke negeri lain, konferensi sembari nikmati wisata negeri lain dan sejenisnya. Yang mana bagi kita, kelas menengah, akan mahal bila itu dibayar diri sendiri. Yang paling mudah dan murah adalah sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Sedikit bukan di antara kita yang secara sengaja liburan ke luar negeri? 

Boleh jadi insentif itu yang kemudian membuat orang terlena mengejar karir internasionalnya dan melupakan pengkhidmatannya di lokal. Lupa menjejak di bumi karena terlalu lama melihat langit biru. Namun bukankah mereka tetap bekerja di lokal? Ya, tentu. Namun bayangkan fisik bisa saja di lokal, bila angan-angan selalu berada di luar sana, maka ekspresinya akan berbeda dalam prioritas atau determinasi.

Misalnya, untuk kegiatan internasional mereka akan persiapkan sungguh-sungguh. Namun untuk aktivitas lokal, seperti pengabdian kepada masyarakat (ingat Tri Darma Perguruan Tinggi), mereka bikin dengan sekedarnya. Bahkan, boleh jadi sebagian dana aktivitas lokal itu mereka sisihkan untuk persiapan yang internasional. Hasilnya, kualitas turun.

Baru-baru ini salah satu teman yang kebetulan menjadi dosen menulis status di laman facebooknya. Ia bilang tahun ini belum jalan-jalan ke luar negeri. Ia boleh jadi lupa bahwa yang dimaksud adalah tahun ini belum ikut konferensi internasional. Namun boleh jadi kalimat itu adalah ekspresi tulus hatinya.


***
Saat ini saya menghadapi tantangan yang sama. Bagaimana mendorong para milenial itu tetap menjejak di bumi meski sesekali ia terbang ke langit. Saya sering analogikan itu dengan bermain trampolin. Ya, melenting-lenting dari bawah ke atas dan kembali lagi ke bawah. Lalu ke atas lagi. Dari sana, apa yang internasional akan memperkaya apa-apa yang di lokal. Namun titik pijaknya adalah yang lokal.

Lantas bagaimana caranya? Oleh karena titik pijak yang di lokal, maka pembuktian pertama-tama adalah kerja-kerja nyata di bumi. Bagaimana secara sungguh-sungguh kita membangun karya terbaik (best practice) di lokal masing-masing. Akan percuma bila kita bolak-balik ke luar negeri, ikut berbagai kegiatan seminar atau konferensi, manakala itu tidak membekas dalam perbaikan-perbaikan praktika lokal, bukan?

Anggaplah yang internasional itu sebagai sebuah ajang belajar dan saling apresiasi. Sehingga apa-apa yang dipelajari harus membawa dampak bagi praktik nyata di lokal. Salah satu kolega saya, karena jabatannya, dia bolak-balik ke luar negeri. Setahun bisa 6-8 kali. Namun saya perhatikan tak membawa dampak di praktik lokal atau nasional.

Suatu ketika ia up date status sedang berada di luar negeri. Salah satu teman facebooknya, bertanya, "Bolak-balik ke luar negeri itu apa hasilnya?" Saya perhatikan kolega saya tidak membalasnya. Namun sesunggunya saya juga bertanya hal yang sama. Salah satu Pembina di lembaga saya juga sering lempar tanya ke dia. "Apa hasilnya?" Artinya pertanyaan seperti itu adalah lumrah ditanyakan pada orang-orang yang karena jabatannya, bukannya karena uang pribadinya, ikuti berbagai kegiatan internasional.

Tentu kita mengharapkan orang-orang seperti itu akan membawa hasil yang besar. Paling sedikitnya adalah mambagi materi-materi pertemuannya dalam bentuk PDF atau PPT. Di atasnya adalah membangun kerjasama antar lembaga sehingga yang di lokal bisa menerima manfaat. Kemudian membangun jaringan strategis dan yang paling penting adalah lakukan demokratisasi akses tersebut. Itu contoh-contoh kecil yang bisa dilakukan bagaimana hubungkan yang internasional dan lokal sehingga produktif.


***

Dalam terang seperti itu keliru bila saya dianggap menolak yang internasional. Yang saya tentang adalah ketercerabutan sosial aktor-aktor lokal gegara terhubung dengan yang internasional. Ia tak lagi terlibat (engagement) dan melekat (embedded) secara sungguh-sungguh di praktika lokal. Namun seperti hanya memanfaatkan ruang lokal untuk memenuhi ambisisinya belaka yang tentu saja bias ego diri.

Bahkan Soekarno jauh-jauh telah menggariskan bahwa, "Nasionalisme tidak dapat tumbuh subur kalau tidak di atas taman sarinya internasionalisme". Yang satu sebagai titik pijak, yang satu sebagai titik dobrak. Yang internasional itu harusnya memperkaya, menyuburkan, membangun, mengembangkan apa-apa yang lokal. []





Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :