Iri atau Benci?

Saya pernah merasa tidak suka terhadap tindakan seseorang. Saat itu saya sampaikan bahwa saya iri pada apa yang telah dicapainya. Namun hal itu tetap membekas dan sulit untuk merelakannya. Sampai kemudian saya telaah betul perasaan saya. Ternyata, saya bukan sedang iri padanya, melainkan membenci tindakannya.

Boleh jadi kadang kita keliru definisikan antara perasaan iri dan benci seperti yang saya alami itu. Iri atau kaprahnya disebut iri hati merupakan perasaan tidak suka pada apa-apa yang dicapai seseorang. Tidak sekedar itu, iri hati dibarengi dengan perasaan keterampasan, "Mengapa dia dan bukannya saya". Atau, "Harusnya saya, bukannya dia".

Iri hati menghendaki penukaran subyek dari "dia" menjadi "saya". Artinya masalah iri hati bersumber pada ketakmampuan subyek atau "saya" untuk menerima kenyataan. Betapapun, kenyataan itu dianggap tidak adil oleh subyek.

Sebaliknya, berbeda dengan iri hati, semesta perasaan benci tak terletak pada subyek "saya" atau "dia". Melainkan pada "tindakan" yang dilakukan oleh "dia". Benci lebih bersifat, kalau boleh dipakai istilah ini, obyektif. Sebabnya, perasaan benci tertuju pada "obyek tindakan" yang dilakukan "subyek" tertentu.

Pada titik itu, benci bisa tertuju pada diri sendiri. Kondisi itu kaprah kita dengar bagaimana subyek membenci "apa" yang telah dilakukannya. Semacam pelanggaran terhadap komitmen, janji atau hal-hal yang dia yakini.

***
Dalam kasus yang pernah saya alami, ternyata apa yang saya rasakan adalah perasaan benci terhadap tindakan subyek lain. Begini kasusnya.

Suatu ketika subyek A mencapai posisi tangga nomor tiga. Dimana kamu memahami betul bahwa dengan kemampuannya (ability), subyek A tak mungkin mencapai posisi tangga tersebut. Harusnya ia melalui tangga pertama kemudian kedua dan barulah sampai ketiga.

Hal itu yang di kehidupan (pekerjaan), kita kenal sebagai merit system. Yakni suatu sistem yang mengganjar seseorang, berupa promosi atau penghargaan, karena kemampuan yang bersangkutan. Ganjaran itu bukan sebab karena usia (senior/ junior), kuota (laki-laki/ perempuan) atau patronase (kedekatan).

Merit system benar-benar meletakkan kerangka penilaian hanya berdasar pada kemampuannya. Bila mampu, maka ia pantas mencapai anak tangga ketiga. Bila tidak, maka cukup di anak tangga kedua.

Kasus yang saya alami dan kemudian membuat perasaan saya benci adalah karena terlanggarnya merit system itu. Bagaimana seorang subyek yang mencapai anak tangga ketiga bukan karena kemampuannya, melainkan lebih karena patronase serta peluang afirmasi (kuota).

Bayangkan saja bila kita sedang mengikuti tes dan secara obyektif nilai kita di atas Si A, namun justru Si A lah yang menang. Tentu kita akan merasakan kebencian yang begitu rupa. Bila ternyata Si A melakukan kecurangan, maka kita akan membenci praktik kecurangan tersebut. Bila sistem ternyata error, maka kita akan membenci sistem itu. Dan berbagai sebab lainnya.

***
Apakah perasaan benci akan diikuti dengan perasaan iri? Tidak juga. Misalnya dalam kasus kita pasti membenci tindakan korupsi, dengan berbagai macam bentuk atau modusnya. Namun apakah kita iri hati untuk melakukan hal tersebut? Tentu, tidak!

Kita benci pada orang yang suka telat ketika rapat. Apakah kita iri hati untuk bisa telat rapat? Tidak!

Kita benci pada orang yang tak bisa dipegang kata-katanya. Apakah kemudian itu membuat kita iri hati untuk bersikap begitu? Tidak.

Kita tak akan merasa iri hati pada hal-hal di atas, melainkan membencinya. Meskipun hal-hal yang tak tepat itu mendatangkan insentif bagi pelakunya. Korupsi mendatangkan insentif material berupa kekayaan; Telat rapat memberi insentif waktu luang; Ingkar janji mendatangkan insentif kelonggaran-kelonggaran buatnya. Meski ada insentif-insentif tersebut tak lalu membuat kita iri hati untuk merasakannya.

***
Menariknya, selepas saya dapat definisikan dengan tepat perasaan yang saya alami itu, bahwa benci bukan iri hati, saya menjadi lebih tenang. Mengapa? Bahwa problemnya ternyata bukan diri saya yang sedang iri, melainkan orang yang tak tepat bertindak.

Sehingga bila memang tindakan orang yang keliru, mengapa saya yang harus "menghukum" diri sendiri (dengan iri hati). Sebaliknya justru yang saya lakukan (membencinya) merupakan bentuk hukuman kepadanya.

Jadi, karena kita manusia biasa, suatu tempo kita harus pahami betul apakah kita sedang iri hati atau benci. Salah tafsir akan membuat diri kita terbakar rasa cemburu (iri hati) yang tak bertepi. Namun benci, seperti dalam kasus-kasus di atas, adalah ekspresi wajar dari kemanusiaan kita yang tak suka pada hal-hal yang keluar dari pakem, misalnya merit system seperti contoh di atas. []
Share on Google Plus

About Firdaus Putra

Saya mulai blogging sejak November 2007. Dulu awalnya iseng sekedar mengarsip tulisan atau foto. Lama kelamaan saya mulai suka menulis. Selain blogging, saya juga suka membaca, nonton film dan diskusi ini itu. Sekarang di tengah-tengah kesibukan bekerja dan lain sebagainya, saya sempatkan sekali dua kali posting tulisan. Tentang saya selengkapnya di sini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :