Oleh: Firdaus Putra, HC.
Bagaimanapun modus hidup generasi milenial saat ini masih hipotetis. Generasi ini dikenal cerdas, kreatif,multi tasking, techno savvy dan segudang kecakapan non-konvensional lainnya. Berbagai kecapakan itu ia peroleh dari zaman yang berlimpah ruah atau abundance ini. Di sisi lain, milenials punya kerentanan justru karena ia hidup dan dibesarkan di zaman itu. Sebuah ironi.
Era abundance ini memberikan berbagai fasilitas dengan mudah, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi pendahulunya, X, nikmati fasilitas dengan proses panjang, contohnya dalam karirnya. X beradaptasi dalam keterbatasan sampai kemudian masuk ke era abundance. Sebaliknya, milenials langsung masuk dalam pusaran abundance tadi tanpa lewati masa keterbatasan.
Milenials dapat akses berbagai informasi, jejaring sosial, event-event bergengsi lewat internet. Internet membuat sekat, batas dan jarak menjadi tak lagi relevan. Dengan cara begitu milenials dapat merengkuh berbagai modalitas dengan itu mudah. Ditambah lalu lintas barang dan jasa makin murah membuat semua hal menjadi lebih mudah diakses.
Namun boleh jadi, kemudahan itu tak selaras dengan bangunan sikap mentalnya. Sikap mental ini adalah proses yang embedded atau menubuh dalam dirinya. Sebuah kondisi batin seseorang bagaimana ia merespon, meyakini, menilai, menghayati suatu hal. Milenials boleh jadi tak sempat bangun sikap mentalnya dengan kokoh ketika koneksi begitu tinggi.
Misalnya milenials sulit untuk konsentrasi mengerjakan suatu hal. Karena bosan, ia langsung berpindah ke gawainya. Lambat laun pekerjaan terbengkalai. Ia bolak-balik off dan on ke media sosialnya agar tak merasa kudet. Itu juga menandakan tingkat durabilitas yang rendah. Sedikit bosan/ suntuk, langsung exit ke aktivitas lain.
Sombong Sebelum Waktunya
Sehari-hari saya menghadapi dan bercengkerama dengan mereka. Beberapa kasus yang saya lihat biasanya soal molor deadline. Hal yang lain seperti ego yang kelewat tinggi. Dengan becanda saya bilang, “Sombong sebelum waktunya”. Mereka ingin sekali eksis dengan cara instan dan karenanya tak selaras dengan kapasitas atau kualitas dirinya.
Mereka sulit mengerjakan sesuatu dengan detail. Padahal, the evil is in detail. Bila tak detail, hasilnya pasti centang perenang dan tentulah medioker. Sulitnya mereka bekerja dalam detail karena mitos kerja multi tasking. Seolah mereka bisa kerjakan banyak hal di satu waktu. Yang sebenarnya hanya tangguhkan satu pekerjaan untuk lakukan yang lain. Hasilnya, sekedar celup sana, celup sini dan mentah semua. Tidak tuntas.
Obrolan soal generasi milenial ini santer diangkat dimana-mana. Banyak yang menaruh optimisme, tak sedikit yang pesimis. Namun sebagian besar nadanya cenderung optimistik. Hasilnya, glorifikasi pada generasi ini. Mereka dieluk-elukkan menjadi juru selamat di masa mendatang di saat dunia masuk Revolusi Industri 4.0.
Alih-alih membangun glorifikasi, kita perlu membangun cara pandang yang lebih realistik. Franklin D. Roosevelt bilang, “A smooth sea never made a skilled sailor”. Saya kira sampai milenia mendatang pun, pepatah itu akan benar adanya. Sebab, inti sari pepatah itu adalah hukum dialektika material. Yakni suatu proses hadap masalah antara subyek dengan konteks ruang-waktunya.
Dialektika yang berkualitas terjadi bila tantangan atau hambatan itu besar. Sebaliknya, bila tantangan itu rendah, kualitas dialektikanya menjadi kecil. Makin besar ombak, makin piawailah pelaut, juga sebaliknya. Saban generasi alami hal itu. Sebuatlah epos gerakan muda Indonesia pada 1908, 1928, 1945, 1966 dan 1998. Pemuda-pemudi di zaman itu lahir dari kawah candradimuka yang panas.
Berbeda dengan itu, era abundance nampak seperti kawah candradimuka yang hangat-hangat kuku. Seperti bukit yang landai atau jalan tol bebas hambatan. Milenials yang karena lahir dari konteks ruang-waktu seperti itu boleh jadi bukan pelaut yang tangguh. Ditambah glorifikasi, itu seperti mengatakan pada sopir amatir bahwa dia sangat ahli. Tentu berbahaya membuat seseorang gede rumongso (GR), bukan?
Generasi sebelumnya masih memiliki fatsun naik anak tangga setahap demi setahap. Milenials bisa lompati beberapa anak tangga sekaligus. Proses itu mereka mampatkan seolah sedang berlari untuk mengejar sesuatu. Yang sayangnya, apa yang mereka kejar sebenarnya dibentuk dari media sosial. Ia bandingkan dirinya dengan yang lain sehingga ia inginkan hal itu. Milenials haus eksistensi diri.
Kehausan eksistensi diri ini seperti perlombaan membangun citra diri agar tampil begitu memukau di media sosialnya. Agar nampak keren, agar nampak kreatif, agar nampak canggih dan nampak-nampak lainnya. Padahal, apa yang “nampak” belum tentu esensinya.
Nampak atau penampakan (appearance) adalah kulit atau permukaan. Milenials cenderung bekerja dalam spektrum yang artifisial itu. Kadang yang penting adalah nampak keren dan lupakan substansi. Yang penting terlihat wow, tanpa perhatikan pokok masalahnya. Jadilah milenials generasi artifisial.
Perlu Gagal
Era abundance juga membuat milenials jarang rasakan kegagalan. Kegagalan biasanya dimulai dari kondisi keterbatasan. Karena keterbatasan itu makin sedikit di zaman abundance, jadilah kegagalan makin sedikit mereka rasakan. Padahal, seperti seorang anak yang belajar naik sepeda, ia perlu rasakan jatuh dan sakit.
Milenials perlu rasakan kegagalan demi kegagalan. Itu adalah cara hidup yang realistik. Bila kegagalan itu sulit dialami, karena kondisi memang serba mudah, milenials perlu lakukan olah mental dengan sikap prihatin. Prihatin ini adalah kosa kata asing bagi mereka. Generasi sebelumnya sudah terbiasa menjalaninya.
Milenials perlu membangun cara hidup prihatin dengan mengerem atau mengekang beberapa keinginannya. Tak semua keinginan harus dilakukan atau wujudkan. Parameternya adalah apakah keinginan itu sekedar untuk kepentingan dirinya atau yang lain. Dengan cara itu milenials bisa kurangi apa-apa yang selalu berorientasi pada kepentingan dirinya (ego sentris). Sekali lagi, dikurangi, bukan dihilangkan. Sebaliknya, menambah list apa-apa yang harus dikerjakan untuk kepentingan yang lain: orang lain, organisasi, komunitas dan lainnya.
Agak terdengar moralis, memang. Namun era abundance membuat kuota kegagalan alamiah menjadi lebih sedikit. Oleh karenanya, prihatin diri yang disengaja adalah cara untuk membangun mentalitas yang kokoh. Bila tidak, ia sukses sebelum dirinya siap, ia besar dengan rongga yang menganga.
Seorang milenials pernah bilang ke saya bagaimana ia bisa tak terasa habiskan tiga jam waktunya bermedia sosial, Sebaliknya, ia harus bolak-balik dengan berhenti-lanjut lakukan pekerjaan tertentu. Lagi-lagi, ia hidup di tengah distraksi atau gangguan yang bejibun.
Kekhawatiran tertinggal informasi, membuat dirinya tergerojok lautan informasi. Alhasil, ia terganggu, sayangnya tanpa disadari. Banjir informasi pada gilirannya membuat cara berpikirnya melompat kemana-mana dan tak sistematis. Saat berpikir A, ia bisa lompat berpikir C. Ia mengecap dan memamah informasi sedikit di sini dan sedikit di sana. Jadilah ia hanya peselancar informasi.
Belajar Etis
Informasi-informasi itu tak menjadi pengetahuan yang membuatnya kaya secara mental. Hanya membuatnya nampak kaya secara intelektual. Milenials yang demikian perlu banyak lakukan refleksi diri. Refleksi atau perenungan diri adalah fitur untuk kembangkan kemawasdirian. Ia perlusesering mungkin lakukan dialog batiniah dengan pertanyaan, “Apakah pantas atau tepat saya lakukan ini?”. Pantas atau tepat itu melampaui benar atau salah.
Yang benar belum tentu pantas/ tepat. Generasi sebelumnya hidup dalam spektrum nilai yang kaya. Tak hanya benar-salah, melainkan pantas atau tidak. Paemo Jawa bilang, “Sing bener durung mesti pener”. Artinya yang benar, belum tentu pantas. Kepantasan ini adalah soal etika.
Soal etika pastilah berhubungan dengan relasi sosial. Relasi sosial ini menyaratkan kesalingpengertian antara satu dengan yang lain. Karenanya, milenials perlu mengembangkan pertanyaan etis, “Apakah pantas saya lakukan hal ini?” sembari membayangkan orang di sekitarnya. Lama-lama sikap etisnya akan terbangun dengan sendirinya. Tentu saja syaratnya ia harus jujur dan tulus pada dirinya sendiri.
Tanpa glorifikasi generasi milenial harus buktikan dirinya mampu. Termasuk tak bisa melulu berlindung dibalik berbagai hasil riset yang nyatakan milenials punya karakter ini dan itu. Contohnya, milenials itu suka lompat tembok, ia akan mudah masuk ke luar pekerjaan sejauh ia sukai. Bila hal begitu ia amini begitu saja, tanpa mau ngrumongso, bagi lembaga atau perusahaan menjadi sangat costly pekerjakan mereka.
Para mentor, lembaga atau perusahaan tentu penuh sabar menghadapi generasi ini dengan aneka cara. Namun bagi milenials hendaknya juga perlu bersabar menghadapi para mentor, lembaga dan perusahaan di mana mereka berkarir atau berkarya. Bahwa makan siang yang enak itu harus diupayakan dengan keringat, bukan sekedar nebeng makan siang di meja yang lain.
Glorifikasi pada generasi ini harus dijauhi agar mereka dewasa, kokoh mental, kaya nilai, padat pengalaman secara alamiah. Glorifikasi hanya akan membuat milenials miliki justifikasi pembenar bila ia bersikap yang tak diharapkan komunitasnya. Ia harus tumbuh, jatuh-bangun dengan kaki dan tangannya. []
Sudah dimuat sebelumnya di: https://lifestyle.kompas.com/read/2018/08/23/073100420/bahaya-glorifikasi-generasi-milenial
0 comments :
Posting Komentar